PONTIANAK (Independensi.com) – Divisi Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Aju, mengatakan, bakar hutan, adalah pelanggaran terhadap doktrin religi Suku Dayak, karena hutan sebagai sumber dan simbol peradaban Suku Dayak, dimanapun berada.
Ironisnya, ketika masalah kabut asap muncul, hegemoni publik mengarah kepada Masyarakat Adat Dayak yang mengelola alam dengan sebutan ladang berpindah. Masih banyak pandangan-pandangan negatif terhadap pengelolaan sumberdaya alam Masyarakat Adat Dayak.
Sampai sekarang, misalnya, menurut Aju, perambah hutan, selalu dituding sebagai penyebab kabut asap, pemalas, tidak produktif, primitif, mengaku-ngaku tanah, wilayah kelolanya illegal karena tidak jelas (tidak bersertifikat), membiarkan lahan tidur, dan banyak lagi stigma yang menyudutkan sistem pengelolaan sumber daya alam Mayarakat Adat Dayak.
“Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan secara internasional. Hutan, bumi, sungai dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup itu sendiri. Ini sudah ditegaskan Bupati Sanggau, Paolus Hadi dalam Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019,” ujar Aju di Pontianak, Sabtu (14/9).
Hal itu dikemukakan Aju, menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Wiranto, bahwa peladang biang kerok kabut asap selama musim kemarau, Agustus – September 2019, karena masih buka lahan dengan sistem bakar.
Sebelum mengambil sesuatu dari alam, ujar Aju, insan Dayak selalu memberitahu terlebih dahulu. Sebagai contoh, apabila ingin membuka lahan baru, terutama dengan menggarap hutan yang masih perawan, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.
Pendapat ini kontras dengan beberapa stigma yang menyudutkan di atas. Banyak penilaian muncul, karena sekedar beropinisi dan belum mengalami bagaimana hidup sebagai orang Dayak yang masih memegang teguh prinsip kearifan lokal.
Apalagi Masyarakat Adat Dayak sudah ribuan tahun berladang, mengelola alam, tanpa pernah melakukan perusakan, lebih-lebih menyebabkan kabut asap dan sebagiainya.
Secara logika, ungkap Aju, dengan sistem mata pencaharian hidup yang sangat tergantung dengan alam seperti pemenuhan kebutuhan untuk sayuran, madu dan obat-obatan maka, jika terbakar maka secara otomatis menghancurkan sumber penghidupannya sendiri.
Suku Dayak sebagai bagian integral Suku Bangsa di Benua Asia, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, dan hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud sangat berperan membentuk karaktedr, identitas, dan jatidiri Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, kemudian berdamai dan serasi dengan sesama dan negara.
Faktor pembentuk karakter manusia Suku Dayak beradat, tertuang di dalam sistem religi Suku Dayak dengan sumber doktrin, yaitu legenda Suci Dayak, mitos Suku Dayak, adat istiadat Suku Dayak dan hukum adat Suku Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.
“Mustahil orang Dayak membakar hutan untuk kepentingan pragmatis, karena berladang, seluruh tahapannya seluruh syarat dengan aspek ritual. Ini harus dipahami. Suku Dayak bakar hutan sembarangan berarti, pelanggaran terhadap doktrin sistem religinya,” ujar Aju.
Aju mengatakan, dalam membuka ladang Masyarakat Adat Dayak selalu mengedepankan prinsip kearifan lokalnya, mulai dari menentukan tempat berladang, dengan meminta restu dari yang Maha Kuasa (Jubata, Petara, Penompa, Duataq) sampai proses pemanenan, semuanya mengikuti proses yang dilakukan.
“Sistem perladangan Masyarakat Adat Dayak bukan ladang berpindah atau peladang liar seperti yang selama ini selalu digaungkan. Sistem perladangan yang dijalankan Masyarakat Adat Dayak sejak ribuan tahun silam adalah sistem perladangan rotasi atau gilir balik,” ungkap Aju.