Sungai Petikah (dok Aju)

Hantu Romusha di Sungai Petikah

Loading

PUTUSSIBAU (Independensi.com) – Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, mengakui ada suara manusia berupa teriakan, rintihan dan berbagai bunyi penyiksaan fisik yang disebut hantu romusha di Sungai Petikah, Dusun Petikah, Desa Nanga Dua, Kecamatan Bunut Hulu.

Dalam buku: “Fakta Kekejaman Jepang di Petikah”, mengisahkan tindak kejahatan kemanusiaan militer Jepang kepada 2.500 – 3.000 romusha (pekerja paksa) dan jugun ianfu (budak seks) di pertambangan batu cinnabar atau batu tungau di Sungai Petikah, sebagai bahan baku detonator peledak bom, 1942 – 1945.

Tidak kurang dari 1.000 orang romusha dan jugun ianfu dari seluruh Indonesia meninggal dunia dan dikuburkan secara massal di Sungai Petikah, 1942 – 1945, akibat tindak kekerasan militer Jepang, serangan berbagai penyakit, perkelahian antar sesama, sanitasi lingkungan buruk, kurangnya pasokan makanan.

Silvester Romi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Camat Embaloh Hulu di Banua Martinus, kelahiran Nanga Sungai (Kabupaten Kapuas Hulu), 25 Nopember 1975, mengaku pernah secara khusus bermalam di Petikah, pada Desember 2015.

“Kalau sudah dalam keadaan sepi pada malam hari, suara teriakan, rintihan dan bentuk bunyi lainnya berkaitan aktifitas manusia di alam nyata, mudah sekali didengar. Orang Dayak di Desa Nanga Dua dan Desa Nanga Payang, menyebutnya sebagai hantu romusha.”

“Suara-suara itu jangan ditakuti. Karena pada dasarnya arwah manusia yang bersemanyam di Petikah I, ingin berkomunikasi dan atau ingin meminta bantuan manusia di alam nyata.”

“Kalau kita mampu memahami sistem religi Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban, dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, akan bisa memaknai kondisi yang terjadi sekarang sebagai dampak dari tindak kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Sungai Petikah, 1942 hingga awal 1946,” kata Silvester Romi di Putussibau, Selasa siang, 12 Nopember 2019.

Menurut Silvester Romi, “Berangkat dari berbagai bentuk suara manusia pada malam hari, sekarang, ini, maka arwah manusia yang pernah menjadi korban kekerasan fisik militer Jepang dan atau arwah orang Jepang yang pernah menjadi korban balas dendam para romusha di Petikah, 1942 – 1945, sebetulnya menginginkan seluruh kawasan itu, terbebaskan dari berbagai bentuk kegiatan ekonomi nonkonservasi (seperti pertambangan, perkebunan, dan berbagai bentuk kegiatan tradisional masyarakat yang dengan sengaja melecehkan prinsip dasar dari sistem religi Dayak).”

“Jika sampai kawasan Sungai Petikah dipaksa menjadi kegiatan ekonomi nonkonservasi, arwah manusia alam gaib akan murka, dengan berbagai implikasinya.”

“Ini harus dipahami para pemegang kebijakan strategis pembangunan di Desa Nanga Dua, Desa Nanga Payang, Kecamatan Bunut Hulu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kapuas Hulu, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, maupun DPRD Provinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.”

Silvester Romi, berlatar belakang pendidikan sarjana Filsafat Agama Katolik dan pernah menjadi Guru Agama Katolik di berbagai sekolah negeri di Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, mengatakan, melihat permasalahan di Petikah, dalam kondisi sekarang, hanya bisa dilakukan apabila kita mampu memahami sistem religi Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku bagi orang Dayak.

Karena di negara manapun di dunia, karakter, identitas dan jatidirinya, selalu bersumber dari sistem religinya yang berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.

Bagi Gereja Katolik, menurut Silvester Romi, masalah prinsip sumber keyakinan iman, sudah tuntas sejak munculnya teori filsafat dari Pastor Thomas Aquinas (1224 – 1274), dengan teologi adikodarati atau teologi naturalis alamiah, yaitu seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Itu berarti, menurut Silvester Romi, masyarakat kalangan Suku Dayak yang masih mampu memahami sistem religinya sebagai filosofi etika berperilaku (legenda suci, mitos suci, adat istiadat an hukum adat), otomatis pula memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Era Jepang, 1.000 Romusha dan Jugun Ianfu Tewas di Kapuas Hulu

Dalam pergulatan selama 8 abad kemudian, ajaran Pastor Thomas Aquinas diadopsi di dalam Konsili Vatikan II, 1965, dengan menegaskan di luar Gereja tetap ada keselamatan.

Kemudian pada tahun 1979, Gereja Katolik melakukan inkultutasi dengan kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia, termasuk di antaranya inkulturasi Gereja Katolik di dalam Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Kalimantan.

“Karena itulah, sudut pandang sumber keyakinan iman atau agama seseorang, sama sekali tidak bisa dipaksakan untuk memaknai berbagai suara aneh di Sungai Petikah di tengah kesunyian malam hari, karena tetap akan menjadi perdebatan panjang yang tidak akan ada hasilnya.”

“Jadi, antara sumber keyakinan iman (agama) seseorang dengan sistem religi Suku Dayak di dalam melihat kondisi yang terjadi di Sungai Petikah, sekarang, harus dimaknai di dalam konteks yang berbeda, agar tidak mudah dituding mencampur-adukkan ajaran agama,” ungkap Silvester Romi.

“Karena tidak mungkin seorang Suku Dayak yang sudah memeluk agama Katolik, misalnya, semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran ajaran Gereja Katolik berurat-berakat dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah.”

“Sementara status kedayakan orang Dayak, tetap akan melekat di dalam diri orang Dayak, sampai akhir hanyat. Tidak peduli apa agamanya atau apa sumber keyakinan iman dari orang Dayak yang bersangkutan,” ujar Silvester Romi.

“Sehubungan dengan itu,” ujar Silvester Romi, “Dibutuhkan sebuah kerendahan hati, untuk bisa memahami filsafat budaya secara lebih sederhana.”

“Jika kita mendefinisikan budaya secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa budaya ialah produk dan kreasi kehidupan sosial manusia. Oleh sebab itu dalam budaya dapat kita temukan seni, bahasa, mitos, agama, pengetahuan, etika, dan tradisi.”

“Unsur-unsur budaya tersebut yang merupakan produk sebuah komunitas masyarakat manusia, dapat menjadi objek-objek pembahasan dalam filsafat budaya.”

Keunikan filsafat budaya karena beberapa unsur pembahasannya terkait dengan bidang studi lainnya, seperti filsafat sejarah, filsafat manusia atau antropologi, sosiologi, psikologi, dan bahkan biologi.

Masing-masing dari bidang studi tersebut dapat dijadikan sebagai penopang dalam menjelaskan filsafat budaya. Telah banyak filsuf dan ilmuan yang telah memberikan sumbangsih pemikiran dalam memaparkan filsafat budaya.

“Salah satu faktor mengapa filsafat budaya semakin diminati, oleh karena banyaknya kejadian besar yang telah terjadi di dunia ini, yang selanjutnya memberikan andil dalam perubahan pola kehidupan manusia,” kata Silvester Romi. (Aju)