Emrus Sihombing

Ormas di Indonesia Wajib Taati UUD 45 dan Pancasila

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Indonesia adalah negara yang menghormati dan menjamin kebebasan bersyarikat dan berkumpul. Namun, Indonesia harus juga penting memastikan apakah perkumpulan, organisasi dan syarikat sesuai dengan ideologi dan konstitusi bangsa. Artinya, mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi dan syarikat menjadi penting agar tidak ada perkumpulan atau organisasi masyarakat (ormas) yang menolak atau bahkan memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

“Jadi semua ormas tanpa kecuali sepanjang itu di Indonesia harus taat konstitusi kita yaitu UUD 45, dan juga harus berbasis pada ideologi kita, Pancasila,” kata pakar komunikasi politik Dr Emrus Sihombing di Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Karena itu, Emrus sepakat dengan keberadan Undang-Undang Ormas dengan peraturan turunan yang mendukung UU tersebut. Menurutnya UU itu harus ditaati seluruh ormas, sebaliknya bila ada ormas yang menolak persyaratan itu, tentu itu menjadi wewenang pemerintah untuk tidak memberikan izin.

“Jadi jangan diartikan bahwa pembuatan aturan yang harus ditaati sebuah ormas dianggap sebagai seuatu yang melanggar konstitusi. Itu tidak. Oleh karena itu turunan dari UUD 45 dibuat UU Ormas. Dengan demikian persyaratan seperti tertuang di UU itu harus dipenuhi seluruh ormas,” terang pendiri dan direktur eksekutif Lembaga Emrus Corner ini.

Emrus menambahkan bahwa Pancasila dan UUD 45 dirumuskan para pendiri bangsa dengan pertimbangan sangat dalam dan matang. Para pendiri bangsa itu terdiri dari orang-orang hebat yang tidak boleh dinafikan oleh seluruh bangsa Indonesia.

Ia juga mengaku, sejauh ini ia belum menemukan adanya ormas terutama ormas agama yang melenceng dari ketentuan di atas. Namun ia kembali menegaskan bahwa ormas agama apapun di Indonesia juga tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

“Jangan diartikan ideologi itu seolah-olah diatas agama, jangan sampai diartikan ke sana. Menurut saya, ideologi dan agama itu harus inline atau sSatu garis yang tidak bertentangan,” jelas Emrus.

Dalam amatannya, pemerintah harus tetap hati-hati saat membuat keputusan memberi izin atau menolak permohonan dari ormas tertentu. Pasalnya itu akan jadi catatan sejarah dalam perjalanan rezim tertentu. Ia juga yakin, kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sangat hati-hati dan perfect dalam menjalankan aturan tersebut.

“Bernegara harus ada ideologi, bernegara harus ada konstitusi, harus ada aturan. Coba bayangkan kalau tidak ada ideologi, apa yang menjadi dasar kita berpijak dalam berbangsa dan bernegara?  Coba bayangkan tanpa konstitusi, apa yang menjadi bangunan dari pondasai bangsa ini?” tanya Emrus.

Sementara itu, terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 tentang penanganan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), Emrus mengajak semua pihak untuk melihat secara objektif dan proporsional. Dalam pandangannya SKB tersebut hanya untuk mencegah ASN menyebarkan paham radikal

“Bila didalami makna yang tertera pada 11 poin yang ada di dalam SKB tersebut sangat bagus dan produktif. Dari segi isi, saya belum menemukan narasi yang membatasi kreativitas ASN dalam melaksanakan tugasnya  serta tidak ada satu kata atau kalimat yang bisa menjadi legalisasi menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal,” terang Emrus.

Artinya, lanjutnya, dengan SKB ini, kreativitas dan daya kritis dari seorang ASN yang terkait dengan tugas-tugasnya dipastikan tidak terhalang oleh SKB ini. Ia mencontohkan kreativitas ASN dalam melakasanakan tugasnya, sekalipun SKB ini diterbitkan, baru-baru ini Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) meluncurkan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM), tempat masyarakat bisa cetak sendiri KTP, KK, hingga Akta Kelahiran. Menurutnya, ini contoh kreativitas ASN yang profesional dan sekaligus melakukan fungsi pendidikan bagi masyarakat dalam melaksanakan tugasnya.

Kemudian dari sudut kritis, kata Emrus, dengan SKB ini justru setiap ASN dalam suatu instansi pemerintah menjadi lebih kritis. Misalnya, sesama anggota ASN dapat menilai secara kritis perilaku ASN yang lain membentuk kelompok eksklusif. Mereka yang homogen dari sudut kepercayaan tertentu yang militan membentuk in-grup tersendiri, sementara ASN yang lain, sebagai out-group mereka.

“Padahal salah satu fungsi sosial ASN adalah perekat bangsa, menjungjung tinggi keberagaman, perilaku pluralis, mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam bangunan rumah bersama bernama NKRI,” tandas Emrus Sihombing.