Menteri BUMN Erick Tohir

Erick Tohir dan Ari Askhara

Loading

Independensi.com – Dua orang tokoh bernama Erick Tohir, Menteri BUMN dan Dirut PT Garuda Indonesia (non aktif) topik pemberitaan saat ini dalam posisi yang berbeda di tengah masyarakat.

Erick Tohir sebagai Menteri BUMN yang bertanggungjawab untuk kemajuan BUMN dan perusahaan anak-cucunya. Sedangkan I Gusti Ngurah Askhara alias Ari Askhara, Dirut PT Garuda Indonesia, yang terkena sanksi oleh para Komisaris perusahaan itu karena dianggap melanggar norma-norma kepatutan dan peraturan perundang-undangan, yang kemudian diberhentikan Menteri Erick Tohir.

Keduanya dalam posisi berbeda antara Erik Tohir dan Ari Askhara, karena semua elemen masyarakat kelihatannya mendukung kebijakan Erick Tohir, sebaliknya mencela perilaku dan tindakan Ari Askhara.

Mungkin kebijakan Menteri di Republik ini yang memecat atau memberhentikan seorang Dirut BUMN yang tidak dikomentari masyarakat, sebaliknya mungkin seorang Dirut BUMN yang diberhentikan tanpa protes apalagi dibela oleh siapapun.

Erick Tohir sebagai pengusaha tahu bagaimana membangun suatu usaha yang baik dan benar untuk mampu bersaing dan mencapai tujuan, harus dengan akhlak baik dan tidak menjadi “raja kecil”.

Keunggulan Erick Tohir kelihatannya adalah dengan mendahulukan etika dan moral dari seorang pemimpin perusahaan terbukti dari pertanyaannya “akhlaknya mana?” ketika konperensi pers. Atas dasar itu dia dengan ‘keukeuh’ mengambil keputusan dengan pertimbangan tata kelola perusahaan yang baik dan benar, yang tidak tidak ditemukan dalam pemimpin PT Garuda Indonesia. Keputusan itu diambil Erick Tohir untuk menyelamatkan harta milik negara.

Atas dasar itu, Erick Tohir dengan tegas langsung memberhentikan Dirut dan empat Direktur Garuda Indonesia. Sampai sekarang tidak ada yang protes mau gugat ke pengadilan atau karyawan unjuk rasa.

Sejumlah karyawan, pramugari, pilot, pengusaha hotel, travel, cathering seolah bersyukur atas tindakan Menteri BUMN itu. Padahal pemicunya adalah hanya karena memasukkan sepeda motor bongsor Harley Davidson dan 2 sepeda Brompton secara illegal, dan para pemimpin perusahaan itu pergi ke luar negeri tanpa ijin Menteri BUMN.

Artinya, kelakuan para “raja-raja” itu sudah lama tidak disenangi banyak pihak sebagai mitra kerjanya. Pertanyaannya, mengapa didiamkan selama ini? Mengapa kita baru sadar sekarang, termasuk membuka aib “mucikari” terhadap pramugari Garuda?

Berita Erick Tohir – Ari Askhara masih akan berlanjut, sebab masalah “penyelundupan” Harley Davidson belum selesai, apakah tindak pidana atau hanya pelanggaran UU Kepabeanan, hanya bayar denda, atau barang itu disita.

Pertanyaan berikutnya, mengapa bangsa ini seolah “kebakaran jenggot” dengan adanya 142 BUMN dan 800 perusahaan anak dan cucunya. Sudah sejak dulu, sah-sah saja, walau setiap tahun ada saja menjerit karena merugi dan ditanggulangi pemerintah dengan berbagai cara seperti penyertaan modal berbagai cara menyelamatkannya.

Ketika Elia Massa Manik dilantik menjadi Dirut PT Pertamina (Persero) di depan DPR ia sudah menyatakan keheranannya karena PT Pertamina memiliki 22 anak perusahaan dan 132 cucu, tidak ada yang mendukung dia termasuk DPR. Elia Massa Manik saja “bingung” mau mengapakan, belum setahun ia dicopot.

Mungkin apa yang dilakukan Pertamina dan Garuda sekarang bermula dari awal Orde Baru Ketika Dirut Pertamina Ibnu Sutowo dan Dirut Garuda Wiweko Soepono. Kedua tokoh fenomenal itu sangat dikagumi pada jamannya, sehingga apapun yang dimintanya dari mitra luar negeri, konon kabarnya, dipenuhi.

Sebab keduanya penuh dedikasi dan dapat dipercaya. Untuk memenuhi kebutuhan secara nasional, keduanya membangun diversifikasi usaha, sebagai upaya mengatasi keadaan darurat.

Tetapi kalau diversifikasi usaha dilanjutkan sekarang rasanya tidak tepat lagi, jangan-jangan itu bagian dari KKN atau ATM pihak tertentu. Karenanya, gagasan untuk mensinergikan bidang-bidang usaha sejenis sudah suatu kebijakan cerdas.

Erick Tohir kelihatannya memiliki resep khusus membersihkan BUMN dari rongrongan “tangan-tangan dan pikiran-pikiran kotor”. Yaitu dengan cara penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan, etika dan moral. Sehingga kinerja pengelola BUMN itulah yang menjadi tolok ukur buat seseorang itu layak atau tidak menjadi pemimpin suatu badan usaha, yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesejahteraan masyarakat.

Gebrakan Erick Tohir membangunkan kita dari tidur, apa yang kita kerjakan selama ini? Ada baiknya semua pihak mendukung Menteri BUMN yang hendak membenahi BUMN setulus hati menyingkirkan “tangan-tangan dan pikiran-pikiran kotor” dari BUMN. (Bch)