PONTIANAK (Independensi.com) – Dayak International Organazation (DIO) dan di Indonesia, Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) menyusun buku: “Sejarah Dayak” di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
“Penanggungjawabnya Datuk Dr Jeffrey G Kitingan, Presiden DIO, dan Askiman, Ketua Umum MHADN,” kata Dr Yulius Yohanes, M.Si, Sekretaris Jenderal DIO di Pontianak, Selasa malam, 21 Januari 2020.
Menurut Yulius Yohanes, rencana penerbitan buku Sejarah Dayak di Pulau Dayak (Borneo), bagian dari 26 point kesepakatan rapat DIO dan MHADN yang dihadiri 52 peserta di Telang Usan Hotel, Kuching, Ibu Kota Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, Jumat, 10 Januari 2020 silam.
Menurut Yulius Yohanes, materi buku Sejarah Dayak akan dikumpulkan selama 2 tahun (2020 – 2021) dan penerbitan awal 2022 dalam rangka menyambut satu dekade Hari Bahasa Ibu Internasional, 2022 – 2032, dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional selama satu dekade, 2022 – 2032, berdasarkan keputusan United National General Assembly (UNGA) di New York, Amerika Serikat (AS), 18 Oktober 2019.
United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebuah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, mengkoordinir Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional, 2020 – 2032.
Penetapan satu dekade Hari Bahasa Ibu Internasional, 2022 –
2032, tindaklanjut Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 12230, tanggal 17 Nopember 1999, dengan menetapkan setiap tanggal 21 Februari tiap tahun sejak tahun 2000 sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
“Pengumpulan dan penggarapan bahan selama dua tahun 2020 – 2021, agar diperoleh produk literasi yang standard, di samping menggalakkan pendokumentasian Bahasa Ibu dari masing-masing subsuku Dayak di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam,” ujar Yulius Yohanes.
DIO dan MHADN, ujar Yulius Yohanes, akan membuat film Pertemuan Damai Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 24 Juli 1894.
Pertemuan Damai Tumbang Anoi 1894, merupakan Tonggak Sejarah Peradaban Suku Dayak, dengan melahirkan 9 point kesepakatan yang dijabarkan di dalam 96 pasal Hukum Adat, di antaranya menghentikan praktik perbudakan dan potong kepala manusia.
Laman indigenousvoice.com, menyebutkan, berkaitan kampanye Hari Bahasa Ibu Internasional selama satu dekade, 2022 – 2032, PBB mendorong masyarakat adat di seluruh dunia, untuk melakukan berbagai upaya di dalam menyelamatkan Bahasa Ibu dari ancaman kepunahan.
Resolusi tersebut didasarkan pada rekomendasi yang dibuat oleh komite ke-3 United Nations General Assembly (UNGA) mencakup relating to social, humanitarian and cultural issues, sebuah lembaga berkaitan dengan masalah sosial, kemanusiaan dan budaya), dipimpin Ekuador dan Bolivia.
Komite telah merekomendasikan UNGA untuk mengadopsi satu dekade pada sesi ke-74 yang diadakan pada 7 November 2019, dengan ketetapan periode 2022 – 2032.
“Kampanye penggunaan Bahasa Ibu Internasional selama satu dekade, bertujuan menarik perhatian pada hilangnya bahasa asli dan kebutuhan mendesak untuk melestarikan dan mempromosikannya dan juga untuk mengambil langkah-langkah mendesak di tingkat nasional dan internasional,” demikian siaran pers UNGA, sebagaimana dikutip indigenousvoice.com.
Menurut indigenousvoice.com, UNESCO berfungsi sebagai agen utama untuk dekade internasional bahasa asli atau Bahasa Ibu, seperti yang terjadi pada tahun internasional, bekerja sama dengan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Sekretariat.
Terlepas dari nilai yang sangat besar, bahasa asli di seluruh dunia terus menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. UNESCO mengakui, eksistensi Bahasa Ibu sudah dalam kondisi sangat berbahaya, karena sebanyak 6.700 dituturkan di dunia, 40 persen di antaranya dalam bahaya kepunahan.
“Ada kesadaran yang berkembang bahwa bahasa asli tidak hanya berfungsi sebagai artefak budaya, melainkan mereka membekali penggunanya dengan keterampilan dan keahlian yang tak ternilai dalam berbagai bidang mulai dari lingkungan hingga pendidikan, ekonomi, kehidupan sosial dan kebijakan, termasuk hubungan keluarga, ” kata Irmgarda Kasinskaite, spesialis komunikasi program dan sektor informasi, UNESCO.
Berbicara pada penutupan tahun internasional 2019 tentang bahasa adat di New York, Presiden Majelis Umum Tijjani Muhammad-Bande, mengatakan, “setiap empat tahun, setidaknya satu bahasa adat menghilang menghilang dari muka bumi. Terlepas dari upaya PBB sepanjang tahun internasional bahasa asli ini untuk menyoroti hilangnya bahasa ibu setiap hari di seluruh dunia, tantangan tetap ada.”
Menurut Tijjani Muhammad-Bande, tahun 2007 adalah tonggak sejarah yang mengadopsi ‘deklarasi tentang hak-hak masyarakat adat, yang menyerukan negara, antara lain, untuk memberlakukan kebijakan dan undang-undang yang bertujuan untuk melestarikan dan memperkuat bahasa asli, tetapi status quo memang kuburan’.
Hanya ada sekitar 4000 bahasa asli yang masih hidup yang dituturkan oleh hanya 6 persen dari total populasi dunia.
“Hambatan bahasa merusak proses hukum dalam proses hukum. Tanpa pengadilan dan institusi yang dapat diakses, masyarakat adat menjadi rentan terhadap tindakan oleh orang lain yang mengancam tanah, sumber daya alam, budaya, situs keramat atau mata pencaharian ekonomi mereka,” kata Anne Anneorgorg, Ketua United Nation of Permanent Forum on Indigenous Issues Forum Permanen tentang Masalah Adat (UNPFII).
Berbicara pada penutupan UNESCO PBB di New York, 18 Oktober 2019, Anne Anneorgorg, mengatakan, “sejauh ini negara-negara anggota harus merumuskan kebijakan berbasis bukti, strategi jangka panjang dan kerangka kerja peraturan, dengan keterlibatan langsung masyarakat adat, untuk memastikan perlindungan dan revitalisasi bahasa asli yang mencakup pendanaan yang memadai untuk implementasi.”
UNESCO memandang bahasa adat atau bahasa ibu, penting, karena ini berfungsi tidak hanya sebagai sarana tradisi pribumi, atau pengetahuan adat, tetapi juga untuk mentransmisikan lintas generasi termasuk pengolahan makanan, obat-obatan, pemukiman sengketa dan sebagainya.
“Tetapi dengan matinya bahasa, masyarakat adat tidak hanya kehilangan tradisi mereka tetapi juga kehilangan identitas mereka,” demikian Anne Anneorgorg. (Aju)