Tatung

Tatung, Benturan Peradaban Dayak – Tionghoa

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menghadiri Perayaan Cap Go Me di Kota Singkawang, 163 kilometer ke arah barat Provinsi Kalimantan Barat (Borneo Barat), menandai berakhirnya seluruh rangkaian Perayaan Imlek 2571 dalam tradisi Hokian, selama 15 hari (Sabtu, 26 Januari 2020 – Sabtu, 8 Februari 2020).

Istilah Cap Go Me berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari.

Dalam Cap Go Me 2571 (2020) di Singkawang, Sabtu, 8 Februari 2020, Presiden Indonesia, Joko Widodo, bersama wisatawan dalam luar negeri, disuguhkan sebuah permainan ekstrim, bernama tatung.

Dalam permainan tatung, seorang lelaki atau perempuan, berkeliling di Kota Singkawang, dengan terlebih dahulu singgah di salah satu klenteng, tempat peribadatan dalam sistem religi Tionghoa.

Menggunakan bahasa sastra tertentu, terutama dalam dialek Hokian, Tio Chu atau Hog Lo, arwah para leluhur merasuki ke dalam jiwa para pemain tatung.

Bukti kerasukan roh leluhur, para tatung, kemudian bergerak di alam bawah sadar, dimana sambil berjalan sesekali berdiri tegak di atas wadah tajam seperti pisau, paku, di atas bak terbuka, tapi sama sekali tidak luka.

Sambil menari meliuk-liuk di atas wadah tajam berkeliling Kota Singkawang, terlihat di bagian mulut, telinga atau pipi tertancap benda tajam, seperti pisau, gunting, atau besi tumpul lainnya.

Tepuk tangan riuh ribuan hadirin yang berdiri di pinggir jalan, semakin menambah suasa sakral.

Usai mengelilingi Kota Singkawang, para pemain tatung, kembali lagi ke klenteng yang dikunjungi pertama kali, sebelum permainan tatung dimulai.

Begitu kembali di klenteng dimaksud, para pemain tatung, kembali sadarkan diri, dengan dibuktikan berbagai benda tajam yang sebelumnya lengket di mulut, hidung dan telinga, berjatuhan dengan sendirinya.

Para pemain tatung, usai berkomunikasi dengan arwah leluhur di klenteng, kembali ke rumah masing-masing, melakoni kehidupan manusia di alam nyata.

Selama sejarah perayaan Cap Go Me di Singkawang, Kalimantan Barat sejak era demokratisasi tahun 1998, baru tahun 2020, ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, berkesempatan hadir secara fisik.

Sumbu pendek

Kehadiran Presiden Indonesia, Joko Widodo di Perayaan Cap Go Me di Singkawang, Sabtu, 20 Februari 2020 (2571), dibayang-bayangi merebaknya wabah virus corona di Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Dari logika sederhana, ada yang aneh dari permainan tatung, karena dalam takaran tertentu masuk kategori mempertontonkan budaya kekejaman, kekerasan, sehingga bagi kalangan sumbu pendek (kaum intolerans), diklaim tidak mendidik.

Itu pula yang membuat kelompok sumbu pendek, dari salah satu kota di Provinsi Kalimantan Barat di luar Singkawang, selalu menolak permainan tatung di tempat terbuka.

Tiap tahun setiap perayaan cap go me di salah satu kota di Provinsi Kalimantan Barat (di luar Singkawang), permainan tatung hanya boleh dilakukan di lapangan tertutup.

Alasan lain, penolakan kalangan sumbu pendek, permainan tatung diklaim, bukan kebudayaan asli berbagai Suku Bangsa di Indonesia.

Namun dasar penolakan, sangat lemah dari aspek filsafat budaya. Dasar penolakan semata-mata disebabkan karena sebagian oknum pemilik sumbu pendek, ini, patut diduga sudah kehilangan karakter dan jatidiri yang bersumber dari sistem religi dari sebuah suku bangsa di manapun di dunia, yaitu legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.

Kehilangan karakter dan jatidiri kalangan sumbu pendek, karena selalu mencampur adukkan agama sebagai sumber keyakinan iman, dengan sistem religi dari sebuah suku bangsa sebagai panduan etika berperilaku dari suku bangsa yang bersangkutan.

Padahal karakter dan jatidiri berbagai suku bangsa di manapun di dunia, selalu bersumber dari sistem religi suku bangsa yang bersangkutan (legenda suci, mitos suci, adat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan).

Karena itulah, harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, antar agama sebagai sumber keyakinan iman dan sistem religi sebuah suku bangsa sebagai panduan etika berperilaku dari suku bangsa yang bersangkutan, agar tidak dicap mencampur-adukkan ajaran/doktrin agama.

Karena sebuah suku bangsa di Benua Asia, tidak semerta-merta berubah menjadi orang Arab, hanya lantaran sumber keyakinan iman (agama) para pemeluk agama samawi, berasal dari Tanah Arab, Kebudayaan Arab.

Sumber keyakinan iman seseorang bisa berubah sewaktu-waktu, tapi status kesukuan seseorang, akan melekat di dalam dirinya sampai akhir hayat.

Argmentasi lemah

Ada tiga argumentasi dasar penolakan kalangan sumbu pendek, sangat lemah dari aspek filsafat budaya.

Pertama, manusia yang hidup di alam nyata, bukan Tuhan. Kita boleh menganggap seseorang berdosa (terutama kalangan sumbu pendek), hanya karena memegang teguh budaya leluhurnya, tapi keyakinan itu hanya salah satu dari sekian tafsir tentang kebenaran.

Kebenaran yang diyakini seseorang dengan dalih berpegang teguh dengan sumber keyakinan (agama), tapi, itu, bukanlah satu-satunya kebenaran (terutama bagi kalangan sumbu pendek), karena kita, bukan Tuhan, sang pemilik kebenaran.

Jika hati kita terluka karena dianggap sebagai kelompok intoleran, teroris hanya karena kita terlalu memaksakan sumber keyakinan iman sebagai satu-satunya panduan etika berperilaku (ideologi), sesakit itulah hati pemegang teguh budaya leluhur, saat mereka dinista, dihina, dicaci-maki, sebagai orang yang bejat dan penyembah berhala.

Kedua, filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274), dengan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Itu artinya, setiap suku bangsa di dunia, dimanapun berada, termasuk sebuah suku bangsa yang tetap berpegang teguh dengan budaya leluhur, memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Ketiga, kebudayaan berbagai suku bangsa di Benua Asia, termasuk di Indonesia, dan teristimewa lagi di Provinsi Kalimantan Barat, menganut trilogi peradaban kebudayaan Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan Asia dimaksud, membentuk karakter dan jatidiri berbagai suku bangsa di Benua Asia beradat (berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara).

Pembentuk karakter dari jatidiri berbagai suku bangsa di Benua Asia beradat, lahir dari sistem religi (agama) suku bangsa yang bersangkutan, yaitu legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa di Asia yang bersangkutan (termasuk Dayak dan Tionghoa).

Benturan Peradaban

Permainan tatung setiap kali perayaan cap go me di Kalimantan Barat, aneh, memang.

“Karena permainan tatung yang menandai berakhirnya Perayaan Imlek pada Cap Go Me tiap tahun, tidak akan pernah ditemukan di negara manapun di dunia, termasuk di wilayah China, karena hanya ada di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, terutama di Singkawang,” ujar Fuad Xaverius Asali.

Karena sejatinya, permainan tatung, merupakan akulturasi peradaban Kebudayaan Suku Tionghoa dan Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat, mengisahkan pernah terjadi benturan peradaban, dampak rebutan sumber daya alam di lokasi pertambangan emas di Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.

Akulturasi (acculturation) adalah perpaduan budaya yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut.

Misalnya, proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga bisa saling mempengaruhi.

Pada tahun 1784 masehi pernah terjadi perang terbuka orang Tionghoa dan Dayak yang dikenal dengan Perang Sangking (Sangkikng) di wilayah Pegunungan Sadaniang antara penduduk lokal (Dayak Mampawah) dengan 2.000 tentara Republik Lan Fong. Peperangan besar terjadi di sebuah tempat bernama Pasir Putih, dan berakhir di Air Mati (Ai Mati).

Ratusan warga lokal terbunuh, kepalanya dipancung dan dipasang dipagar-pagar rumah betang, rumah-rumah betang dihancurkan dan dibakar di kampung Untang, dan sebagian penduduk yang tersisa melarikan diri dan mengungsi pada malam hari dengan perahu, memudiki sungai raja dan akhirnya menetap di Capala dan Sabandut (sekarang Kecamatan Mandor Capkala, Kabupaten Bengkayang), sebagian lagi menetap di kampung Bangkam (Bangkapm).

Berita penyerangan dan penaklukan tentara Republik Lan Fong ini menyebar ke kampung-kampung. Sebagian penduduk di kampung Pudak, dipimpin Nek Sapi memutuskan mengungsi dan bertahun-tahun mengembara hingga akhirnya menetap di kampung Rukapm (sekarang distrik Lundu, Negara Bagian Sarawak-Malaysia).

Dari berbagai literatur yang diperoleh, dan sejumlah pengakuan para tokoh tua Suku Dayak di Kabupaten Bengkayang, tersisa sebuah keluarga saja di Kampung Pudak yang tidak mau mengungsi. Keluarga yang beranggotakan 5 orang itu adalah keluarga Nek Milakng (Pak Miang/Pang Milang).

Nek Miakng memutuskan untuk bertempur melawan tentara Republik Lan Fang hingga tetes darah terakhir. Setelah adakan ritual Mato’ di Padagi, Nek Miakng pulang ke rumah dan membunuhi semua anggota keluarganya.

“Lebih baik saya yang membunuh kalian, karena saya yang hidupi, daripada kalian dibunuh tentara biadab itu,” ujar Nek Miakng kepada istri dan anak-anaknya.

Selesai membunuhi keluarganya, dengan perahu, Nek Miakng menyusul keluargaya yang sebelumnya sudah mengungsi ke hulu. Di perjalanan, Nek Miakng mendapati banyak rumah betang hancur dan dibakar.

Sementara di pagar-pagar rumah betang, kepala-kepala manusia yang dipancung di tikam dengan tombak dan menjadi pagar kepala. Menyaksikan itu, dendam Pak Miakng semakin membara.

Tiba di Bangkapm, Nek Miakng mengumpulkan para lelaki muda untuk berperang. Lelaki muda dari berbagai kampung juga tiba ditempat itu, dan bergabung. Sudah ada 300 pasukan Nek Miakng.

“Kita boleh mati, ini tanah air kita. Mereka boleh menang, tapi yakinlah kita tak mudah dikalahkan,” kata Nek Miakng.

Pasukan Pak Miakng mulai menyerang Sungaii Raya, dan menaklukan desa itu. Semua penduduk Tionghoa terbunuh. Sebagian pasukan menyerang Pasar Bukit, dan membakar tempat itu.

Republik Lan Fong yang beribukota di Mandor (KabupatenLandak sekarang) panik dengan penaklukan Pak Miakng dan pasukannya. Dan segera utusan negara itu menemui kongsi-kongsi di daerah Sakawakng (Singkawang), Buduk, Lara dan Monterado untuk menghadapi Nek Miakng.

Kongsi Hesun di Monterado menyiapkan 1.000 tentara, dan Kongsi Thai Kong di Buduk-Sambas menyiapkan 1.000 tentara khusus.

Nek Miakng menerima tamu dari daerah Gajekng, Bilado, Gado, dan lain-lain dan menyatakan bergabung untuk berperang dengan tentara kongsi itu. Mereka bertemu di suatu tempat, sepakat, dan menyatakan akan berbagi hadiah yang sama (harta rampasan perang/emas, termasuk tambang emas) bila memenangi perang ini.

Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Samalantan (Sama Lantatn), Kabupaten Bengkayang. Setelah pertemuan di Samalantan, pasukan Pak Miakng bertambah menjadi 1.000 orang.

Tahun 1786 masehi, peperangan besar terjadi di Monterado. Seribu pasukan Pak Miakng menghancurkan istana Kongsi Hesun, dan membunuh lebih dari 2.000 penambang emas dan tentara republik di kawasan itu.

Batu peninggalan sebagai bukti kemenangan pasukan Nek Miakng, dikenal dengan Batu Abo’, daerah Desa Nyempen, Kecamatan Monterado, sekarang, ini.

Di batu inilah, ribuan kepala penambang dan tentara republik di tanam sekaligus setelah digelar upacara Notokng. Sisa pasukan republik melarikan diri, dan bergabung dengan pasukan kongsi Thai kong di Sambas.

Selesai peperangan, menurut keterangan dari banyak sumber, pasukannya diminta Nek Miakng untuk kembali ke kampung masing-masing, menjaga kampung dari serangan tentara republik.

“Biarlah saya mati, saya sudah tidak ada keluarga,” ujar Nek Miakng kepada pasukannya.

Pasukannya mengikuti perintah Nek Miakng, dan pasukan itu berangsur-angsur pulang.

Nek Miakng, memang berencana menyerang markas tentarà Suku Tiongohoa di Sakawakng sendirian saja.

Tiba di Sakawakng, Nek Miakng menyerang kampung itu dan membunuh habis warga yang ada, dari lelaki-perempuan, hingga kakek- bayi. Lebih dari 600 orang dibunuhnya, siang hingga malam hari.

Keesokan harinya, 100 tentara republik tiba di tempat itu, dan menyaksikan pembantaian manusia oleh Nek Miakng. Ketika melihat Nek Miakng sedang memanggang daging manusia dipinggir pantai, tentara republik mengepungnya dan meyiraminya dengan tombak dan anak panah.

Sebagia bahkan menembak dengan senjata api (lantak). Nek Miakng hanya tersenyum, tak satupun senjata itu melukainya. Tentara itu kemudian dibunuhi Nek Miakng.

Keesokan harinya, 200 tentara tiba di tempat itu, dan menyaksikan Nek Miakng sedang membakar mayat-mayat, dan hati serta jantung tentara untuk disantapnya.

Tentara republik itu kembali menyerbu, dan menyirami tubuh Nek Miakng dengan minyak babi dengan maksud membakar Nek Miakng. Nek Miakng tak pernah terbakar, dan tentara itu habis dibunuhnya.

Keesokan harinya, puluhan para tetua kongsi sembahyang di pekong/klenteng muara Sungai Selakau, meminta kekuatan baru untuk menghadapi Nek Miakng. Ratusan dukun (Tatung) dikirim untuk membunuh Pak Miakng, namun dengan dukungan roh gaibnya, semua Tatung itu dibunuhnya juga.

Ketua Kongsi Thai Kong frustasi dengan situasi itu. Ratusan tentara dan dukun semua dapat dibunuh Nek Miakng. Ia pun mengirim beberapa orang untuk menyelidiki kekuatan Nek Miakng.

Orang yang dikirim itupun ketahuan Nek Miakng dan dibunuhnya. Marahlah sang jendral itu, beserta 20 kapitennya, ia memimpin sendiri 2.000 pasukan untuk membunuh Nek Miakng.

Mereka khawatir, Nek Miakng akan menjadi Raja semua Bangsa Dayak yang sudah ditaklukannya selama puluhan tahun silam. Ia khawatir, Nek Miakng akan membangkitkan perlawanan seluruh orang Dayak untuk melawan kongsi-kongsi.

Suatu malam, Nek Miakng setelah menyantap daging manusia yang dibakarnya tertidur. Ia didatangi roh istri dan anak-anaknya. Istrinya meminta Nek Miakng untuk menyerah saja dan minta dibunuh karena dendam darah sudah terbayarkan berlebihan.

Nek Miakng terbangun, dan menangis. Nek Miakng menyesal dengan perbuatannya.

Tibalah tentara republik ditempat itu, dan mengepungnya. Nek Miakng tak melawan.

Nek Miakng diikat tentara itu, dan dilemparkan ke lautan. Namun Nek Miakng tak mati. Nek Miakng diangkat ke daratan, dan ditombak dengan besi panas.

Nek Miakng juga hanya tertawa, merasa geli saja. Nek Miakng diletakkan diatas batu besar, dan ditimpa dengan batu, tak mati juga.

Frustasilah tentara, dan para jendral republik. Nek Miakng melihat seorang tentara, dan sangat mirip dengan anak lelakinya yang sudah dibunuhnya. Nek Miakng menangis, dan kemudian berteriak keras kepada seorang jendral di situ, dan menyampaikan kelemahan kesaktiannya.

“Dengan kayu itulah saya akan mati,”ujarnya sambil menangis.

Nek Miakng memberikan syarat, untuk dilakukan setiap periode tertentu tiap tahun untuk mengenang kematiannya berupa permainan tatung. Nek Miakng menegaskan, kematiannya memang harus terjadi, agar bisa bersatu kembali dengan istri dan anak-anaknya yang sudah tewas sebelumnya.

Jendral itu tersenyum, dan meminta tentaranya untuk mencari jenis kayu sebagaimana yang dimaksudkan Nek Miakng.

Kayu itu menembus dada Nek Miakng. Nek Miakng, tewas seketika. Terbunuhnya Nek Miakng disambut suka cita tentara kongsi dan seluruh penambang emas. Semua tokoh Dayak di berbagai daerah diberitahu pihak kongsi, dan meminta hadir dalam upacara mereka menghormati Nek Miakng yang sudah terbunuh.

Mayat Pak Miakng selama seharian kemudian diarak oleh tentara dengan berkeliling kota, sambil berteriak-teriak dan disaksikan ribuan orang.

“Ini panglima kalian orang Dayak, jangan coba memberontak lagi,” teriak pasukan yang mengarak mayat Nek Miakng itu. Hari itu sangat kelam, hujan rintik-rintik, dan ada pelangi di langit.

Untuk mengenang hari pembunuhan Nek Miakng, diadakan pesta perarakan keliling kota dengan menghadirkan dukun/tatung yang duduk di atas tandu, kebal senjata tajam, dan berpakaian panglima/jendral perang tentara kongsi.

Cap Go Me

Pesta perarakan kemenangan itu dikenal dengan Cap Go Me, dan kawasan tempat pembunuhannya itu sekarang diberi nama Kelurahan Pangmilang, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.

Maka atas dasar permintaan Nek Miakng yang terbunuh pasukan Kongsi Lan Fong maka mereka harus membuat perayaan untuk memperingati tragedi itu.

Karena tragedi itu bersifat heroik dan pertumpahan darah maka dilambangkanlah tatung-tatung itu menggunakan atribut kesatria Tionghoa yang naik pancam (pedang maupun tombak) dan belakangan ini diundanglah dari pihak Dayak yang mau berpartisipasi menjadi tatung.

Hal inilah mengapa perayaan Cap Go Me dengan segala atraksi naik pancam dan makan daging mentah serta minum darah hewan adalah wujud peringatan tragedi pertempuran Nek Miakng yang dikolaborasikan dengan peringatan 15 hari Tahun Baru China

Karena ada sumpah yang dijadikan sebagai bala, bagi masyarakat Tionghoa di Singkawang jika tidak melakukan perayaan untuk memperingati terbunuhnya Nek Miakng.

Itulah yang melandasi pemahaman budaya, bahwa permainan tatung pada tiap Perayaan Cap Go Me di Singkawang, merupakan salah satu budaya asli Indonesia, perpaduan budaya Tionghoa dan Dayak di Tanah Dayak, Pulau Dayak atau Pulau Borneo. (Aju)

Pontianak, 5 Februari 2020

Aju (Divisi Pelayanan Publik, Data dan Informasi Majelis Hakim Adat Dayak Nasional)