JAKARTA (Independensi.com) – Perang terbuka, konfrontasi Republik Indonesia – Federasi Malaysia (1963 – 1966), menyesiakan kenangan yang sulit dirangkai dengan kata-kata, karena bisa meneteskan air mata, mengingat hubungan diplomatik kedua negara serumpun ini, sekarang, sudah baik.
Bahkan kalangan masyarakat Suku Dayak di Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, dan Brunei Darussalam, memiliki jaringan komunikasi kebudayaan dengan sesamanya di wilayah Indonesia (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan) di dalam wadah Dayak International Organization (DIO), hasil Protokol Tumbang Anoi 2019.
Presiden DIO, Datuk Dr Jeffrey G Kitingan (Kota Kinabalu, Negara Bagian Sabah) dan Sekretaris Jenderal DIO, Dr Yulius Yohanes, M.Si (Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat), mengatakan, organisasi yang dibentuk murni bergerak di bidang kebudayaan sebagaimana tertuang di dalam statuta yang sudah disahkan di Telang Usan Hotel, Kuching, Sarawak, Jumat, 10 Januari 2020, dengan menjunjung tinggi ideologi di negara masing-masing.
DIO, menurut Datuk Jeffrey G Kitingan dan Yulius Yohanes, tetap memegang teguh triologi peradaban kebudayaan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilolgi peradaban kebudayaan Benua Asia dimaksd, ungkap Jeffrey G Kitingan dan Yulius Yohanes, telah membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, lanjut Jeffrey G Kitingan dan Yulius Yohanes, lahir dari sistem religi (agama) Dayak yang berumber doktrin/berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.
Namun, di balik hubungan harmonis masyarakat antar kedua negara (Indonesia – Malaysia), ada sisi lain yang menarik dicatat, agar bisa diketahui anak dan cucu di kemudian hari, supaya kejadian serupa tidak terulang kembali, tentang betapa peningnya menjaga persaudaraan, perdamaian dan persahabatan antar sesama manusia, kendati berbeda kewarganegaraan.
Robert Oscar Tilaar
Di antaranya, kondisi yang terjadi selama konfrontasi Indonesia – Malaysia, 1963 – 1966, sebagai dampak Sabah dan Sarawak digabungkan Inggris (British) dengan Federasi Malaysia, 16 September 1963.
Presiden Republik Indonesia, Soekarno, memutuskan perang terbuka dengan Malaysia, karena pada tahun 1945, Soekarno, pernah menegaskan, Sabah dan Sarawak, harus berdiri menjadi dua negara berdiri sendiri, setelah penolakan Indonesia atas keinginan delegasi dari kedua wilayah itu bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perang Indonesia – Malaysia terhenti sebagai dampak Gerakan 30 September 1965, berupa kudeta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dibiayai Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS), sehingga kepemimpinan nasional beralih dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, 1 Juli 1966. (John Roosa, 1998). Indonesia – Malaysia memutuskan berdamai di Jakarta, 11 Agustus 1966.
Sersan Mayor Purnawirawan Robert Oscar Tilaar (81 tahun), misalnya, salah satu tokoh masyarakat yang pernah merasakan betapa pahitnya hidup selama berlangsungnya permusuhan politik yang pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia.
Robert Oscar Tilaar, kelahiran Amurang, Manado, Provinsi Sulawesi Utara, 19 Oktober 1938, ayah 4 anak dan 9 cucu, dan sekarang berprofesi sebagai petani dan aktif di berbagai kegiatan Gereja di Pontianak, selama masih aktif menjadi anggota TNI AD, pernah ditugaskan sebagai intelijen atau spionase dari Indonesia, untuk secara khusus menyusup ke Malaysia.
Tujuannya hanya satu: mengetahui dan melaporkan secara periodik lebih detil peta kekuangan militer Malaysia.
Usai menjalani pendidikan intelijen, kontraintelijen, sabotase, demolisi, gerilya, sebanyak 5 orang, termasuk Robert Oscar Tilaar, sepulang dari operasi pembebasan Irian Barat (1961 – 1962), ditugaskan menyusup ke wilayah Federasi Malaysia, September 1963.
Menyusup dari perbatasan wilayah Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat ke wilayah Distrik Serian, Negara Bagian Sarawak, Robert Oscar Tilaar, sudah sangat memahami, bahwa intelijen adalah informasi yang dikomunikasikan, dengan kata lain, informasi yang tidak lagi hanya terdapat di benak seseorang, tetapi telah disampaikan kepada orang lain.
Robert Oscar Tilaar, sadar betul, di badan-badan yang mengkhususkan diri pada kegiatan ini, intelijen didefinisikan sebagai informasi yang telah dievaluasi, informasi yang kredibilitas, makna, dan derajat kepentingannya telah dinilai dan ditetapkan.
“Saya hanya dapat instruksi dari pimpinan, rombongan saya yang menyusup berjumlah 5 orang, satu orangnya saya sudah tidak ingat lagi namanya. Tapi tiga nama lainnya, yaitu Usman Janatin, Harun Tohir dan Gani Arup dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), dimana ketiganya menyusup dari Pulau Sumatera. Dari Kalimantan Barat, hanya saya seorang sendiri dari kesatuan TNI-AD,” ujar Robert Oscar Tilaar di kediamannya di Pontianak, Rabu petang, 5 Februari 2020.
Dari Sarawak, Robert Oscaar Tilaar masuk ke Sabah dengan sangat berhasil, dan tetap rutin memberikan informasi peta kekuatan militer Malaysia, baik kepada Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Jakarta, maupun kepada Komando Daerah Militer (XII)/Tanjungpura di Pontianak.
Keberhasilan penyusupan Robert ke Sabah dan Sarawak, berkat postur tubuhnya yang memungkinkan, kulit putih bersih, mata sipit, sehingga di kalangan militer Malaysia, anggota spionase dari Indonesia, ini, malah diklaim sebagai orang asli Malaysia dari keturunan etnis Tionghoa.
Tingkat keberhasilan penyusupan Robert Oscar Tilaar, bisa masuk ke wilayah Semenjanjung Malaysia dari Kota Kinabalu, dengan berhasil menumpang kapal laut yang dikawal militer Malaysia.
Di wilayah Semanjung Malaysia, Robert Oscar Tilaar, masuk ke Melaka, Ipoh, Penang, Perak, Negeri Sembilan, Kedah dan Singapura (memisahkan diri dengan Malaysia tahun 1965).
Pengeboman Singapura
Saat pertama kali berada di Singapura dan Melaka, Robert Oscar Tilaar, masih bisa berkomunikasi dengan jaringan telepon khusus dengan Usman Janatin, Harun Tohir dan Gani Arup.
Namun, beberapa hari kemudian, Robert Oscar Tilaar, sudah tidak bisa lagi berkomunikasi dengan Usman Janatin, Harun Tohir dan Gani Arup.
Sebagai seorang anggota spionase, Robert Oscar Tilaar, berpendapat ada sesuatu yang tidak diinginkan, telah terjadi dengan keselamatan ketiga rekannya: Usman Janatin, Harun Tohir dan Gani Arup.
“Supaya tidak terlacak otoritas berwenang di Malaysia, saat di Malaka, saya membuang semua peralatan komunikasi, dengan dikubur ke dalam tanah. Uang bekal juga habis. Praktis yang tersisa hanya tinggal baju yang masih melekat di badan. Untuk menyambung hidup, saya minta sisa makanan dan minuman dari warga sekitar,” kenang Robert Oscar Tilaar.
Karena sama sekali putus komunikasi dengan ketiga rekannya, Harun, Usman dan Gani, maka Robert Oscar Tilaar, memutuskan, kabur dari Melaka, Malaysia ke wilayah Indonesia, lewat jalur laut.
Atas saran salah satu orang Padang pemilik warung makan di Melaka, Robert Oscar Tilaar, mencuri salah satu sampan milik warga pada pukul enam sore, kemudian berkayuh melewati laut lepas selama tiga malam ke wilayah Perairan Aceh, Sumatera.
Tiba di Cunda, wilayah PT Arun di Lok Semawe, Aceh Utara, Provinsi Nangore Aceh Darussalam (NAD), Robert Oscar Tilaar, ditangkap dan disiksa sejumlah orang anggota Satuan Pengamanan (Satpam).
Dayung yang digunakan Robert Oscar Tilaar berkayuh melewati laut lepas ke wilayah Indonesia, dipakai para oknum Satpam, untuk memukul dirinya hingga patah berkeping-keping.
“Saya tidak melawan. Usai disiksa, saya minta dipertemukan dengan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan kemudian kemudian dijemput istri Ali Moertopo. Saat itu, Ali Moertopo masih menyandang pangkat mayor, dan pangkat terakhir mayor jenderal, dan pernah menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia,” kenang Robert Oscar Tilaar.
Robert Oscar Tilaar kemudian diterbangkan ke Jakarta. Tiba di Jakarta, barulah Robert Oscar Tilaar diberitahu, bahwa Usman Janatin dan Harun Tohir, ditangkap di Singapura pada 13 Maret 1965. Sementara Gani Arup, berhasil meloloskan diri.
Keduanya ditangkap, karena bersama Gani Arup, berbekalkan bahan peledak 12,5 kilogram, melakukan pengeboman Gedung Hongkong and Shanghai Bank (MacDonald House), Orchard Road, Central Area, Singapura, 10 Maret 1965.
Tiga tewas, 33 terluka dan bangunan megah dalam kondisi rata dengan tanah.
Saat itu, Singapura, masih dalam suasana rusuh antar sesama, sehingga kemudian memisahkan diri dari Federasi Malaysia pada tahun 1965 itu juga.
Dalam perjalanannya, Usman dan Harun, dijatuhi hukuman mati di Singapura pada pukul 06.00 waktu Singapura, 17 Oktober 1968. Jenazah Usman dan Harun, kemudian dibawa pulang ke Indonesia, dan ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 050/TK/1968.
Untuk mengenang jasa keduanya, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), memberi nama Kapal Perang Indonesia (KRI) nomor lambung 359, dengan nama KRI 359 Usman Harun.
Penumpasan PGRS
Sebagai anggota TNI AD, Robert Oscar Tilaar, merasakan dampak langsung selama pergolakan politik Indonesia – Malaysia (1963 – 1966), maupun setelah kedua negara berdamai (rujuk) di Jakarta, 11 Agustus 1966.
Selama konfrontrasi, Robert Oscar Tilaar, sangat paham akan karakter Brigadir Jenderal TNI Soepardjo, Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Mandau, berkedudukan di Bengkayang, Ibu Kota Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.
Brigjen TNI Soepardjo, kemudian menghilang dari markasnya di Bengkayang sebelum meletusnya Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta.
Brigjen TNI Soepardjo kemudian dikaitkan dengan G30S 1965, dan ditangkap Komandan Komando Distrik Militer Jakarta Pusat, Letnan Kolonel Soedjiman (kelak menjadi Kepala Staf Kodam XII/Tanjungpura dan Gubernur Kalimantan Barat, 1978 – 1988) di markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara di sekitar Bandar Udara (Bandara) Halim Perdana, Jakarta, 14 Januari 1967.
Pasca Brigjen Soepardjo ditangkap, Pangkopur IV/Mandau di Bengkayang dijabat Brigjen TNI Wijoyono Soejono yang kemudian menjadi Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan pangkat terakhir letnal enderal (jenderal bintang tiga) sebagai Kepala Staf Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), 1980 – 1982.
Selama konfrontasi, Robert Oscar Tilaar, menjadi salah satu saksi hidup para pentolan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) seperti Azahari, Bong Kicok, Bong Hon, dan terakhir Lay Pa Kha, berinteraksi positif dengan petinggi TNI di Pontianak.
Karena sedianya, PGRS, dibentuk militer Indonesia, untuk berada di barisan paling depan selama berperang melawan Malaysia.
“Biasanya mereka datang membawa uang dari Indonesia, hingga satu karung penuh untuk biaya perjuangan PGRS melawan militer Malaysia di Sabah dan Sarawak. Walau pernah membantu, saya hampir dibunuh Lay Pa Kha. Nyawa saya selamat, karena pistol Lay Pa Kha yang sudah diarahkan ke saya, macet, sehingga tidak meledak. Itu terjadi di Sanggau awal tahun 1966, sebelum Indonesia dan Malaysia rujuk, 11 Agustus 1966,” ujar Robert Oscar Tilaar.
Robert Oscar Tilaar, sampai sekarang mengaku tidak habis pikir, kenapa Lay Pa Kha, berbuat nekad mau membunuh dirinya. Karena dalam pertemuan beberapa kali sebelumnya untuk keperluan suplay uang dari Indonesia, Lay Pa Kha, selalu berkomunikasi baik.
“Saat itu, usai mengambil uang pemberian dari TNI yang sudah disiapkan ke dalam karung, tiba-tiba Lay Pa Kha, mengokang pistol yang sudah diarahkan ke saya. Untung saja pistolnya macet, sehingga tidak meledak. Saya hanya tertawa saja, dan setelah itu, gerak-gerik Lay Pa Kha diawasi, hingga saya sama sekali kehilangan kontak selama operasi penumpasan PGRS, 1966 – 1974,” kata Robert Oscar Tilaar.
Pasca Indonesia – Malaysia ruju sejak 11 Agustus 1966, PGRS kemudian ditumpas secara militer dari Republik Indonesia, karena sebagian besar dari 900 orang anggotanya, tidak mau menyerahkan diri, untuk melanjutkan perjuangan melawan militer Malaysia.
Selama operasi militer dari Indonesia digelar,1966 – 1974, perang urat syaraf tidak bisa dihindarkan. Untuk mengecoh konsentrasi pergerakan militer Indonesia, kelompok adik-beradik kandung keturunan Indonesia, yaitu Bong Kicok dan Bong Hon, melakukan agitasi dengan mengklaim membentuk organisasi militer baru, yaitu Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU), selain PGRS.
Maka kemudian disebut PGRS/Paraku, dimana militer Indonesia mengkonsentrasikan operasi penumpasan PGRS dititikberatkan di sektor barat (Sambas – Bengkayang) dan penumpasan Paraku dititikberatkan di sektor timur (Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu), Provinsi Kalimantan Barat.
Selama operasi penumpasan berlangsung, menurut Robert Oscar Tilaar, sangat sulit membedakan rakyat biasa dengan simpatisan PGRS/Paraku dari etnis Tionghoa, sehingga pada September – Desember 1967, muncul aksi demonstrasi berupa pengusiran etnis Tionghoa dari wilayah perbatasan dan pedalaman Provinsi Kalimantan Barat
Ironisnya lagi, setiap kali akan dilakukan operasi penumpasan, selalu bocor, tidak membuahkan hasil maksimal, sehingga banyak anggota militer Indonesia yang justru meninggal dunia akibat ditembak anggota PGRS/Paraku.
Dampak buruk aksi demonstrasi kalangan masyarakat Suku Dayak, membuat pengungsi imenumpuk di Pemangkat, Singkawang, Sungai Duri, Sungai Pinyuh dan Pontianak, sehingga sampai sekarang wilayah ini, penduduknya sebagian dari etnis Tionghoa.
Arus pengungsi menumpuk di sejumlah kota, membuat peta kekuatan militer PGRS/Paraku semakin melemah, karena terputusnya mata rantai jaringan logistik, sehingga salah satu tokohnya bernama Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah atau S.A.
Sofyan ditembak mati di Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, 14 Januari 1974.
Penembakan Sofyan di Terentang, 12 Januari 1974, menandai berakhirnya seluruh rangkaian operasi penumapasan PGRS/Paraku di Provinsi Kalimantan Barat sejak tahun 1966.
Robert Oscar Tilaar, pensiun dari TNI AD tahun 1980, menetap di Pontianak, dengan memilih profesi sebagai petani, di samping aktif dalam berbagai kegiatan Gereja. (Aju)