Presiden Joko Widodo (kanan) dan Direktur Eksekutif Indonesian Future Development Study (INFUDS), Aznil Tan

INFUDS Persoalkan Sumbangan Atas Nama Kantor Staf Presiden

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Direktur Eksekutif Indonesian Future Development Study (INFUDS), Aznil Tan, mempersoalkan langkah penggalangan dana mengantisipasi penularan Corona Virus Disease-19 (Covid-19) atas nama Kepala Staf Presiden, Moeldoko.

“Untuk kesekian kalinya Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko melakukan tindakan blunder dan patut dikategorikan melawan hukum (aturan bernegara),” kata Aznil Tan, Rabu, 25 Maret 2020.

Selain mengangkat 13 Penasihat Senior KSP yang tidak diatur dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2019 dan menganggap anaknya magang di kantor KSP bukan pelanggaran peraturan perundang-undangan, sekarang Moeldoko mengunakan nama KSP untuk melakukan penggalangan dana pada yayasan yang dia punya.

Hal itu terkonfirmasi dengan beredarnya sebuah surat elektronik tentang penggalangan dana pembuatan Disinfektan Room yang dilakukan oleh CEO Indonesia bekerjasama dengan KSP (Kantor Staf Presiden) yang disebarkan oleh seorang bernama Trysa Suherman, alias Icha.

“Bebagai informasi, berdasarkan sumber dari postingan akun Instagram @trisya_suherman menyatakan bahwa Moeldoko adalah Ketua Dewan Pembina CEO Indonesia Global Network sebagai Ketua Pembina dan Trysa Suherman sebagai Ketua,” kata Moeldoko.

Pada dasarnya, sebuah Ormas/Yayasan/Lembaga Swadaya Masyarakat sah-sah saja melakukan penggalangan dana untuk bantuan kemanusiaan, asal sesuai aturan dan prosedur hukum yang berlaku serta tidak mengatasnamakan atau menjual nama suatu lembaga negara.

“Jika memang Moeldoko atau Trysa Suherman mempunyai itikad baik ingin membantu masyarakat mencegah Penyebaran Virus Corona/Covid-19 semestinya cukup dengan mengatasnamakan pribadi (person) atau yayasan/ormas yang mereka punya bukan membawa-bawa nama lembaga negara Kantor Staf Presiden,” ujar Aznil Tan.

Atas penggalangan dana dilakukan oleh CEO Indonesia bekerjasama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) tersebut mesti disikapi sebagai berikut.

Pertama, Penggalangan Dana tersebut patut diduga sebuah praktik penyalahgunaan wewenang _(abuse of power)_ dan konflik kepentingan _(conflict of interest)_, karena diduga tindakan tersebut sangat kuat berindikasi menjual nama lembaga negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok/golongan sendiri dan/atau

Indikasi melakukan praktik kolusi menunjuk Yayasan Chief Executive Officer Indonesia sebagai penggalang dana tanpa prosedur aturan berlaku.

Kedua, Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) yang merupakan satu kesatuan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin maka patut diduga melakukan pembangkangan dan ingin cari panggung sendiri terhadap instrkuksi presiden yang telah menunjuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Gugus Tugas Penanganan COVID-19 yang diberi wewenang penanganan wabah Covid-19 yang sedang melanda Indonesia.

Semestinya Moeldoko harus berkoordinasi dulu dengan BNPB jika mengatasnamakan Kantor Staf Presiden.

Ketiga, mematok nilai sumbangan sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) patut diduga merupakan “pemalakan terselubung” kepada perusahaan-perusahan dan/atau praktik gratifikasi antara pengusaha dengan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP).

“Berdasarkan hal tersebut, KPK dan penegak hukum lainnya serta Ombudsman harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas penggalangan dana dilakukan oleh CEO Indonesia bekerjasama dengan Kantor Staf Presiden tersebut demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan tegaknya hukum di negara Republik Indonesia,” kata Aznil Tan. (Aju)