Pangkostrad Letjen TNI Edy Rachmayadi

Pertarungan Merebut Kursi Gubernur Kian Sengit

Loading

IndependensI.com – Partai-partai politik masih saling menjajal dalam berkoalisi untuk mendukung calon gubernur dan wakil gubernur di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah mulai menunjukkan niat dan keinginannya.
Pertarungan sengit hanya terlihat menyangkut calon antara Khofifah Indar Parawansa dengan Saifulah Yusuf di Jatim dan Ridwan Kamil dengan Deddy Mizwar di Jawa Barat.

Keunikan pertarungan di Jatim, Khofifah dan Saifullah sama-sama tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Saifullah Yusuf didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sementara Khofifah didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Keduanya sudah bersaing sejak beberapa periode lalu, walaupun Syaifullah Yusuf untuk kursi Wakil Gubernur, selain itu Khofifah harus meninggalkan jabatan Menteri Sosial untuk menggapai Gubernur  membuat kursi Jatim-1 semakin “panas” dan “mahal”.

Jawa Tengah masih biasa-biasa saja, Gubernur Petahana Ganjar Pranowo kader PDIP anteng-anteng saja, apakah mau didukung partainya atau tidak, belum jelas. PDIP selalu seolah menunggu “wangsit” baru menentukan calonnya, seperti di DKI, semua menunggu Keputusan sang Ketua Umum.

Yang menghebohkan pilkada di Jawa Tengah yang sudah terlihat hanya ke-akrab-an Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Prof. Dr. Amin Rais. Keduanya sepakat akan tetap kerjasama dalam menghadapi Pilkada 2018.

Sementara kehebohan Pilkada di daerah lain, hampir kurang terpublikasi, walaupun sering muncul berita pilkada di Sulawesi Selatan, karena salah satu calonnya tokoh nasional dan Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid, itupun kadang redup. Hal itu mungkin karena posisi Nurdin Halid  sebagai Ketua Harian dengan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto terkait kasus e-KTP, posisi tidak jelas mendukung Munaslub atau tidak, terutama apabila terjadi pergantian Ketua Umum.

Satu-satunya Pilkada yang agak menarik di luar Jawa adalah Sumatera Utara, pertama, karena petahana Tengku Erry Nuradi langsung dicalonkan Partai Nasdem yang sebelumnya mendukungnya.  Semula Tengku Erry terpilih sebagai Wagub kemudian menjadi Gubernur mengganti Gatot Pujo Nugroho yang harus masuk bui karena terkena kasus korupsi bersama isterinya.

Gatot Pudjo Nugroho sendiri juga adalah wagub karena gubernurnya Syamsul Arifin masuk bui lalu ya gantikan dan pada periode berikutnya terpilih jadi Gubernur, namun sama nasibnya dengan pendahulunya.

Selain Tengku Erry, ada lagi yang menarik, seorang jenderal bintang tiga Letjen TNI Edy Rahmayadi sudah mendeklarasikan diri akan ikut bertarung di Pilkada Sumut.
Sebagai prajurit TNI yang akan ikut cagub, Edy Rahmayadi harus mengundurkan diri, kira-kira sama seperti Mayor TNI Agus Harimurti Yudhoyono, harus menanggalkan seragam dan pangkatnya untuk ikut bertarung merebut kursi gubernur DKI.

Hanya saja, kalau Agus Harimurti Yudhoyono melepas pangkat melati tiga, Edy Rahmayadi menanggalkan pangkat bintang tiga. Sama seperti pertanyaan mengapa Agus Harimurti meninggalkan pangkat dan jabatan yang cemerleng masa depannya, pertanyaan juga ditujukan kepada Edy Rahmayadi, mengapa pangkat Pangkostrad harus ditinggalkan hanya untuk jabatan gubernur Sumut, dan apa yang menyebabkan daya tarik Sumut 1 itu dibanding pangkat bintang empat yang tidak sulit diperolehnya.

Pangkostrad itu sering menuju kursi Mabesad di Merdeka Utara, akan tetapi karena Panglima TNI akan diduduki calon yang diajukan Presiden ke DPR adalah dari matra udara, maka pergerakan jabatan di TNI AD akan lamban dan apakah itu pertimbangan Edy Rahmayadi?

Tetapi apapun motif dan alasan para calon gubernur serta wakil gubernur di berbagai daerah itu, harapan kita sebagai bangsa dan masyarakat tidak terjadi peristiwa-peristiwa silam yang sangat menyakitkan seperti di Sumatera Utara, di mana telah dua Gubernurnya susul-menyusul ke penjara yaitu Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho.
Ternyata, dari bukti-bukti yang terungkap di persidangan, bahwa para calon-calon kepala daerah itu menang karena mengeruk uang negara dan menggunakannya untuk “membeli” suara rakyat.

Untuk Pilkada mendatang, pengalaman masa lalu yang menyakitkan serta mencoreng nilai-nilai luhur demokrasi itu harus diakhiri melalui kebijakan Partai Pendukung dan penolakan masyarakat memilih orang-orang yang mengandalkan uang. Tentu yang lebih bertanggung jawab dalam mengawasi penggunaan uang negara perlu turun tangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk pro-aktif mengawasi sebelum terjadi kecurangan. (Editorial/Bch)