JAKARTA (Independensi.com)
Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) meminta kepada pemerintah untuk serius menangani pandemi virus corona atau Covid 19 secara masif, keras dan terkendali.
Pemerintah pun diminta untuk melakukan ATM yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi penanganan Covid 19 dari negara lainnya seperti dilakukan Tiongkok dan jangan seperti Italia.
“Karena itu perlu lockdown atau karantina wilayah perdaerah atau perpropinsi yang memiliki indikasi korban Covid 19 yang besar secara bertahap seperti dilakukan Tiongkok,” kata Ketua KKAI Suhardi Somomoeljono dalam rilisnya yang diterima Independensi.com, Rabu (01/04/2020).
Suhardi menyebutkan usulan lockdown merujuk pendapat Prof Adji Suratman selaku Ketua 2 Persatuan Guru Besar Indonesia yang menyampaikan kepada KKAI terkait kebijakan pemerintah dalam menangani Covid 19.
Pendapat Prof Andi Suratman didasari keadaan ekonomi secara umum di Indonesia yang dikaitkan perkembangan ekonomi dan cara pemerintah menangani COVID-19.
Selain itu sensitivity analysis pengaruh Covid 19 terhadap Perbankan Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan. Serta perkembangan situasi yang disampaikan Standard & Pool, Mc. Kinsey & Co, dan Bank
Dunia.
“Karena menurut Prof Aji jika tidak tepat penanganannya bisa terjadi krisis ekonomi dan yang lebih dikhawatirkan krisis politik dan pemerintahan,” ucapnya.
Masalahnya, tutur Suhardi, Covid 19 menurut Prof Andi Suratman memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
“Termasuk namun tidak terbatas Tiongkok, Amerika, Eropa, Singapura, Thailand,
Malaysia dan Indonesia,” ungkapnya.
Dikatakan Suhardi pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya akan mencapai angka 2,5 persen atau hampir turun 50 persen dari priode sebelumnya.
Penyebabnya antara lain ekspor Indonesia ke Tiongkok, ke Amerika, Eropa, Jepang dan yang lain turun signifikan.
Kemudian sektor riil perindustrian, jasa, pertambangan sangat terpengaruh, akan banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pengangguran meningkat tajam.
Selain itu dampaknya sangat signifikan terhadap perbankan dan lembaga keuangan kredit macet NPL (Non-Performing Loan) naik.
Ditambah melemahnya kurs Rupiah terhadap dollar Amerika per 30 Maret 2020 sebesar Rp.16.320 perdolar. Bahkan pernah mendekati Rp 17.000 seperti zaman krisis ekonomi tahun 1998.
IHSG per 31 Januari 2020 sebesar 6.111 turun dratis per tanggal 30 Maret 2020 menjadi 4.538. Berarti turun 1.573 atau hampir 30 persen.
Oleh karena itu, kata Suhardi, mencermati kondisi yang ada menjadikan usaha besar kurang berjalan, UMKM jalannya terganggu serta akan banyak PHK dan pengangguran yang dikhawatirkan menjadi krisis ekonomi seperti tahun 1998 dan bisa berujung krisis politik dan pemerintahan.(muj)