Kasus eks Kepala BPN DKI, Pengamat: Pembatalan Sertifikat Tanah Harusnya Diselesaikan Secara Administratif

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Dalam kasus pemalsuan surat terkait pembatalan sertifikat tanah terdakwa Jaya eks Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta belum lama ini dihukum tiga tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Karena terdakwa banding setelah tidak terima atas putusan majelis hakim yang menyatakan dirinya terbukti melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP.

Pengamat hukum Suhardi Somomoeljono mengatakan upaya hukum yang dilakukan terdakwa dengan banding sangat wajar karena berkaitan pembatalan sertifikat tanah masuk pada ranah administrasi sehingga harusnya diselesaikan secara administratif bukan pidana.

“Sedang putusan hakim justru menimbulkan persoalan terkait hukum administrasi di bidang pertanahan. Dimana logika hukum yang digunakan dalam putusan membuat pejabat bidang pertanahan tidak bebas membuat keputusan terkait pertanahan,” kata Suhardi, Rabu (31/1/2033).

Dia juga menyatakan perlu dipertimbangkan dokumentasi dan inventarisasi tanah di Indonesia masih sedang dalam masa perbaikan dan memang belum sempurna. “Sehingga sangat dimungkinkan ada kesalahan atau perbedaan pandangan menilai apakah suatu subjek hukum dapat mengajukan hak atas tanah,” ujarnya.

Oleh karena itu, tutur Suhardi, berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan telah mengatur jenis-jenis sengketa yang jadi kewenangan Kementerian ATR/BPN untuk menyelesaikannya.

“Baik karena itu pengaduan masyarakat maupun inisiatif kementerian,” ujarnya seraya menyebutkan terkait produk hukum yang dikeluarkan BPN perlu dipertimbangkan juga apakah kesalahan dalam produk hukum adalah ranah hukum pidana atau hukum administrasi.

Masalahnya, tutur dia, jika kesalahan dalam pembuatan produk hukum adalah ranah pidana maka tentu peraturan perundang-undangan tidak akan membuat ketentuan dan mekanisme pemeriksaan produk hukum yang cacat administrasi.

“Karena itu terkait perbedaan struktur dan dokumen atau informasi yang dijadikan dasar untuk membuat produk hukum pertanahan jika dirasa salah atau tidak benar adalah masuk ke ranah hukum administrasi,” ucap Suhardi.

Sehingga, kata dia, mengacu Lampiran XVI Permen ATR/BPN 11/2016 pada diktum keempat mengatakan jika terdapat suatu kesalahan ataupun kekeliruan produk hukum akan dilakukan pembetulan seperlunya.

Adapun, kata dia, terkait dengan pemalsuan surat jika suatu objek dinyatakan palsu maka perlu dokumen pembanding dengan aslinya. “Baik melalui sidang maupun laboratorium forensik. Tapi jika tidak ada maka apa dokumen dijadikan dasar pembanding sehingga suatu dokumen lain dapat dikatakan atau dinyatakan palsu,” ucap Suhardi.

Dia menambahkan dalam
proses pembuatan produk hukum di bidang pertanahan tidak dibuat Kepala kantor Wilayah secara pribadi. “Tapi merupakan suatu rangkaian pemeriksaan yang dilakukan tim pemeriksa yang telah diatur dan ditentukan peraturan perundang-undangan.”

Oleh karena itu, tegasnya, produk hukum yang dihasilkan bukan produk hukum yang dilahirkan suatu subjek hukum melainkan institusi, sehingga berdasarkan Pasal 69 Ayat (1) Permen ATR/BPN 11/2016 dengan tegas menyatakan segala akibat yang terjadi karena perbuatan hukum oleh pegawai atau pejabat dalam melaksanakan Permen ATR/BPN 11/2016 menjadi tanggung jawab Kementerian ATR/BPN.

“Jadi kesalahan atau perbedaan informasi di lapangan yang dijadikan dasar dikeluarkannya suatu produk hukum bukan merupakan tanggung jawab individu melainkan tanggung jawab institusi. Oleh karena itu penyelesaian yang tepat adalah sanksi administratif,” ucap Direktur Program Pascasarjana Universitas Mathla’ul Anwar (UMMA) Banten ini.(muj)