Peladang Bukan Penjahat, Sabak, Simbol Religi Dayak Bakatik

Loading

Oleh Aju

BENGKAYANG – Pada sebelah kanan jalan masuk kawasan Mess Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang di Bengkayang, Ibu Kota Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, ada alat gendang berukuran memanjang lurus sekitar 20 meter dan di bagian tabuhan ada kulit sapi. Sabak, nama alat gendang ini.

Sabak, sebagai simbol peradaban religi Suku Dayak Bakatik, sekaligus pula sebagai simbol peradaban agraris Suku Dayak, sebagai  penduduk asli di Pulau Borneo (Kalimantan).

Saat Sabak ditabuh, dalam legenda suci Dayak Bakatik, menandai bersatunya arwah manusia di alam gaib dari puncak Gunung Bawakng, dengan manusia Suku Dayak, bersyukur bersama atas hasil panen padi.

Di dalam legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Suku Dayak Bakatik, awal kehidupan manusia, erat kaitannya dengan keberadaan kawasan suci Gunung Bawakng, mencakup wilayah Kecamatan Lembah Bawang, Kecamatan Bengkayang dan Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.

Nyabakk nitik padi baru

Hampir semua jenis religi Dayak Bakatik, berkait dengan Gunung Bawakng. Arwah leluhur padi di dalam religi Dayak Bakatik disebut Samba Ndo Naya, penjelmaan dari serpihan jasad Mula Batondok.

Mula Batondok setelah lahir sebagai anak pertama dari pasangan suami-istri, Samula Jadi (Ganari) dan Damahung, diperintah Nyubata (Tuhan) untuk dibunuh, dengan cara dimutilasi.

Serpihan jasad Mula Batondok kemudian menjelma menjadi berbagai jenis ikan di sungai dan laut, burung-burung yang berterbangan di udara, berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbahan, seperti padi sebagai sumber pasokan pangan manusia, yaitu Samba Ndo Naya.

Di dalam legenda suci Dayak Bakatik, ada tiga tokoh penting di awal keberadaan manusia di muka bumi.

Pertama, Samula Jadi, berjenis kelamin laki-laki. Kedua, Samula Panampa, berjenis kelamin perempuan, sebagai istri Samula Jadi. Ketiga, Damahung, berjenis kelamin perempuan, anak pertama dan terakhir hasil perkawinanan Samula Jadi dan Samula Panampa.

Arak dan tuak

Di dalam legenda suci penciptaan menurut Suku Dayak Bakatik, ada dua hal yang harus digarisabawahi, karena terkait langsung dengan sistem religi dan perlengkapan di dalam pelaksanaan ritual, setiap kali mengucap syukur kepada Nyubata (Tuhan):

Pertama, berladang dengan sistem bakar, bagian dari religi Dayak Bakatik, karena sudah dilakukan sejak awal kehadiran manusia pertama di muka bumi, sudah dilakukan pertama kali dari enam orang bersaudara kandung, anak dari pasangan suami-istri Samula Jadi (Ganari) dan Damahung.

Kedua, arak dan tuak, adalah jenis minuman suguhan disakralkan dipersembahkan kepada arwah leluhur Mula Batondok. Mula Batondok telah berkorban, karena dibunuh oleh kedua orangtuanya (Ganari dan Damahung) atas perintah Nyubata (Tuhan), dimana serpihan jasadnya menjadi sumber kehidupan manusia setelah  menjelma menjadi berbagai jenis makhluk hidup, seperti ikan, hewan, tanaman-tamanan, seperti jenis tanaman padi, Samba Ndo Naya.

Dilegendakan, sesudah Lalar Aik (dunia digenangi air bah), lama kelamaan bumi pun menjadi kering kembali. Ketika bumi mengering, timbullah labur api (api seluruh bumi). Hanya satu bambu betung ngamatuk (pecah), maka keluarlah wujud manusia yang dikenal dengan nama, Samula Jadi.

Untuk menemani hidupnya, Samula Jadi, manampa (membentuk) manusia wanita dari tepung/debu tanah, sebagai istrinya. Tapi, sesudah berumah tangga, istrinya Samula Jadi bernama Mula Panampa, mandi dan badannya hancur oleh air sungai.

Samula Jadi, kebingungan dan membuat lagi Mula Panampa dari tanah liat untuk dijadikan istrinya. Nyubata (pencipta) meniupkan roh Mula Panampa yang berasal dari tanah liat. Mula Panampa dan Samula Jadi, akhirnya hidup, sebagai suami-istri.

Ketika mandi, Mula Panampa ditelan oleh lintah sungai. Namun dimuntahkan kembali. Maka sampai pada hari ini, semua jenis kulit manusia berjenis kelamin perempuan, lebih halus dibandingkan dengan laki-laki.

Saat mau melahirkan, perut Mula Panampa dibelah oleh Samula Jadi, sehingga keduanya dikaruniai anak perempuan bernama Damahung. Akibat perutnya dibelah, Samula Panampa meninggal dunia beberapa saat setelah melahirkan anak pertama. Semenjak itu, tinggal Samula Jadi dan anaknya yang kemudian diberi nama Damahung yang masih hidup.

Dalam perkembangan selanjutnya, Samula Jadi setelah ditinggal mati istrinya, berubah nama menjadi Ganari.

Waktupun terus berlanjut. Damahung tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sementara Ganari, mulai tertarik dengan kecantikan Damahung yang tidak lain adalah anak kandungnya sendiri.

Dalam satu kesempatan, Ganari minta Damahung mencari kutu di kepalanya. Damahung bersedia. Namun, tiba-tiba muncul nafsu birahi Ganari melihat kemolekan tubuh Damahung. Dalam suasana birahi, muncul niat Ganari untuk menyetubuhi anaknya itu.

Posisi Damahung

Sadar akan kelakukan Ganari, ayah kandungnya itu, Damahung mengambil pisau sejenis raut (sejenis pisau kecil bertangkai panjang yang digunakan meraut ukiran halus) dipukul ke bagian kepala ayahnya. Bagian kepala Ganari luka.

Peristiwa birahi tidak tersalurkan, akhirnya Ganari, minta Damahung untuk tetap tinggal di rumah. Setelah luka di bagian kepala sembuh, Ganari memutuskan pergi jauh. Alasan Ganari, untuk mencari seorang laki-laki sebagai suami Damahung.

Ganari berpesan, jika belum kembali, tapi ada seorang lelaki melewati rumah, Damahung harus menegurnya dengan ramah, dan kemudian menawarkannya tinggal bersamanya sebagai suami.

Dalam perjalanannya yang cukup lama, Ganari kembali ke rumah. Saat tiba di depan rumah, Damahung sudah tidak lagi mengenali wajah ayahnya. Damahung hanya melihat wajah seorang lelaki baik dan sopan. Damahung teringat akan pesan ayahnya, dan kemudian berpikir, lelaki inilah yang dimaksudkan ayahnya, dimana kemudian dijadikan suami.

Hidup dalam satu rumah, tapi Damahung tidak sadar akan asal usul Ganari, keduanya kemudian menjadi suami-istri. Dalam keadaan mengandung, pada suatu kesempatan, Damahung diminta Ganari mencari kutu di kepalanya.

Saat mencari kutu, Damahung terkejut setelah melihat bekas luka di bagian kepala Ganari. Damahung berkata, “Saya teringkat dengan Ayah saya yang sampai sekarang belum pulang. Bekas luka di kepala ini, sama dengan bekas luka di kepala Ayah saya.”

“Saya adalah ayah kandungmu,” jawab Ganari. Damahung kaget, dan terdiam beberapa saat.

“Kamu harus terima kenyataan ini. Tidak ada manusia lain yang hidup di muka bumi, ini, kecuali kita berdua. Kita berdua, harus memiliki keturunan, agar aktifitas kehidupan manusia di muka bumi menjadi lebih semarak dan dinamis.”

Mendengar ucapan Ganari, maka Damahung menjadi paham. Memenuhi permintaan Ganari, maka Damahung, melahirkan anak dari hubungan biologisnya dengan Ganari.

Saat akan melahirkan anak pertama, Damahung minta bantuan Ganari untuk mencari ramuan obat-obatan di hutan, demi membantu kelancaran persalinan. Ramuan obat-obatan untuk memperlancar proses persalinan, namanya daun kayu salisuh.

Namun, saat Ganari belum kembali ke rumah untuk mencari ramuan dari daun kayu salisuh, perut Damahung, kesakitan sebagai pertanda segera melahirkan. Karena Ganari belum kembali dari hutan untuk mengambil daun kayu salisuh, Damahung meminta bantuan rombongan Samba Ndo Raya (burung pipit)  untuk membantu proses persalinan.

Rombongan Samba Ndo Raya, dengan senang hati membantu. Ada yang menginjak di bagian perut atas, ada yang mendorong di bagian samping kiri dan kanan, sehingga Damahung berhasil melahirkan anak pertama.

Anak pertama lahir dengan selamat, berkat bantuan Samba Ndo Raya. Mula Batondok, nama anak pertama Ganari dan Damahung. Tapi Ganari dan Damahung diperintah nyubata (Tuhan), agar membunuh anak yang baru lahir itu.

Usai dibunuh, jasadnya dipotong sampai menjadi serpihan jasad kecil-kecil  dan halus, diperintahkan dihamburkan ke segala penjuru. Potongan jasad halus Mula Batondok, kemudian menjelma menjadi berbagai jenis makhluk hidup.

Serpihan jasad yang dihamburkan ke sungai dan laut, menjelma menjadi berbagai jenis ikan. Serpihan jasad yang dihamburkan ke daratan, menjelma menjadi pohon yang bernama kayan. Pohon kayan kemudian bermetamorfosa menjadi berbagai jenis tanaman.

Ada pula yang menjelma menjadi berbagai jenis binatang, seperti babi, monyet, serta menambah beberapa jumlah jenis burung. Kemudian menjelma menjadi tanam padi, Samba Ndo Naya.

Bersamaan dengan jelmaan jasad Mula Bantondok menjadi berbagai jenis makluk hidup yang hidup di darat, di air dan di laut, maupun yang hidup di darat dan sekaligus hidup di air, pasangan Ganari dan Damahung kemudian melahirkan 6 (enam) anak.

Sehingga jumlahnya menjadi 7 (tujuh) jika dihitung dengan anak sulung bernama Mula Batondok yang kemudian setelah dibunuh, jasadnya menjelma menjadi berbagai jenis makhluk hidup.

Setelah dewasa, Gahari dan Damahung minta keenam anaknya untuk membuka ladang, dengan menebas dan menebang pohon kayan. Keenam orang saudara kandung, ini, memutuskan membuka ladang 6 bidang pada lokasi yang saling berdekatan.

Bayar adat

Untuk membuka ladang, mereka lakukan dengan gotong-royong. Tapi kemudian, mereka heran, semua pohon kayan yang ditebang, hidup kembali seperti sedia kala. Setiap kali ditebas dan ditebang, pada hari berikutnya tumbuh kembali, dan sama sekali tidak terlihat bekas garapan.

Dengan heran semua keenam anak Ganari, bertanya, “Ayah, kami kerja sia-sia, karena bekas ladang yang kami bersihkan, kayu kayan selalu hidup kembali. Kami bingung.”

Ganari menjawab, “Kayu kayan itu, adalah jelmaan Abang kandung kalian yang pertama, Mula Batondok. Atas perintah Nyubata, Abang kalian dibunuh untuk kemudian menjelma menjadi makluk hidup lainnya, sebagai kelengkapan dan daya dukung hidup manusia.”

Kelengkapan daya dukung kehidupan manusia di alam nyata dari serpihan jenazah Mula Batondok, kemudian menjelma menjadi berbagai jenis ikan makhluk hidup di sungai, laut dan daratan. Berbagai bagai jenis makhluk hidup itu, sebagai daya dukung kehidupan paling prinsip di alam manusia nyata, di antaranya berbagai jenis padi.

“Lantas, apa yang harus kami perbuat, supaya pohon kayan tidak hidup kembali setelah ditebang?” tanya keenam anak Ganari.

Ganari dan Damahung secara serentak menjawab, “Kalian harus menghormatinya. Karena kayu kayan yang ditebas dan ditebang, maupun berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan ikan, adalah jelmaan dari Abang kandung kalian bernama, Mula Batondok.”

Keenam anak melanjutkan pertanyaan, “Bagaimana caranya dan apa yang harus kami lakukan terhadap Abang kami?”

Ganari dan Damahung menjawab, “Kalian harus membuat Adat dan membayar nyawa. Setelah membayar adat, membayar nyawa, barulah kayu bernama kayan itu tidak tumbuh lagi.”

 

Ganari dan Damahung, kemudian menjelaskan, dalam berladang, enam bersudara setiap kali akan panen, terlebih dahulu bayar utang kepada Samba Ndo Raya (burung pipit). Karena waktu melahirkan Mula Batondok, adatnya belum dibayar. Karena itu, saat padi akan dipanen, ada rombongan burung pipit sebagai jelmaan Samba Ndo Raya.

Rombongan Samba Ndo Raya, dinstruksikan Ganari dan Damahung kepada keenam anaknya, supaya jangan diusir, karena mereka terlebih dahulu harus mendapat bagian dari bulir padi (Samba Ndo Naya), sebagai balas saja telah membantu persalinan Mula Batondok.

Maka setiap kali menjelang panen, biasanya puluhan ekor burung pipit datang. Kedatangan gerombolan burung pipit, dalam legenda suci dan mitos suci Suku Dayak Bakatik, sebagai jelmaan arwah leluhur  Samba Ndo Raya.

Posisi Samba Ndo Naya atau Dewi Padi, dijelaskan Ganari dan Damahung kepada keenam anaknya, juga sebagai jelmaan saudara kandung yang paling tua, Mula Batondok. Sebagai saudara kandung yang paling tua, dilegendakan sebagai pengorbanan Samba Ndo Naya yang tidak bisa dirangkai dengan kata-kata.

Sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanan Samba Ndo Naya, sebelum nasi dari padi baru dimakan, maka seluruh orang Suku Dayak Bakatik, wajib memberikan persembahan terlebih dahulu. Persembahan dalam bentuk biabuis (sesajen) lengkap, agar arwah Mula Bantondok, berkenan mencicipi nasi dari padi baru terlebih dahulu, sebelum disantap orang Dayak Bakatik.

Simbol langkandak

Sebagai bentuk penghormatan, setiap rumah orang Suku Dayak Bakatik, ada simbol yang dipasang di bagian atas pintu rumah bagian depan, tertanda selalu mengharapkan bimbingan dan doa  saudara tua, arwah Mula Batondok. Langkandak, nama simbol disemanyamkan di atas pintu bagian depan rumah.

Langkandak terbuat dari rotan yang dianyam melingkar berbentuk bakul kecil, kemudian di dalamnya disimpan mangkuk kecil. Umumnya direkomendasikan mangkok di dalam langkandak berwarna hijau.

Karena warna hijau, menurut legenda Dayak Bakatik, melambangkan keteduhan. Warna pohon padi menghijau, sebelum mengandung, melambangkan keteduhan, kesejukan dan kemurahan rezeki.

Maka setiap kali rumah yang baru selesai dibangun untuk segera dihuni, kelengkapan ritual dalam religi Dayak Bakatik, harus ada langkandak di atas pintu rumah bagian depan. Untuk menaikkan kelengkapan ritual langkandak di atas daun pintu, saat menggelar ritual berupa biabuis (sesajen) ditambahkan hewan kurban 1 ekor ayam dan 1 ekor babi.

Hal penting lain diinstruksikan Ganari dan Damahung kepada enam anaknya, untuk harus menghargai kehidupan alam sekitar. Menjaga keseimbangan alam sekitar di dalam religi Dayak Bakatik, adalah perintah leluhur yang tidak boleh dilanggar.

Apabila pepohonan ditebang, untuk keperluan yang tidak relevan, karena faktor kerakusan dan ketamakan manusia, maka arwah Mula Batondok, menjadi marah. Marah karena jelmaannya dalam bentuk pohon telah disalahgunakan keturunan dari enam saudara kandungnya itu.

Sebagai bentuk kemarahan arwah Mula Batondok, maka muncul berbagai jenis bencana alam, atau kejadian-kejadian lain yang merugikan umat manusia secara keseluruhan.

Maka dari itu, hidup berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, berdamai dan serasi dengann orang yang dituakan untuk memimpin (dalam konteks sekarang adalah sebuah negara), merupakan sebuah keharusan yang dilakukan anak dan keturunan Ganari dan Damahung, sebagaimana tertuang di dalam kisah penciptaan dalam legenda suci dan mitos suci Suku Dayak Bakatik.

Kembali kepada legenda proses berladang. Lama-kelamaan mereka sudah selesai membuka ladang, kemudian oleh keenam anak Ganari dan Damahung membakar ladang mereka. Selesai membakar, mereka membuat acara adat kembali, yaitu adat pendingin untuk membayar kepada nyawa-nyawa hewan yang sudah ikut terbakar.

Sesudah menggelar ritual, merekapun secara gotong-royong menanam padi di ladang masing-masing. Pertama-tama ditanam adalah padi pulut (ketan) dan padi palau (induk benih) atau palawak, yaitu Samba Ndo Naya.

Empat tahapan

Tahapan tanaman padi mulai mengandung (murai), merekapun masing-masing membuat adat lagi, yaitu disebut Adat Nangkorok, atau doa atas padi yang tengah mengandung, supaya memberikan harapan hasil yang melimpah.

Seluruh tahapan sebagaimana diturunkan keenam anak Ganari dan Damahung, ritual berladang bagi Suku Dayak Bakatik di Kabupaten Bengkayang, mencakup empat tahapan, yaitu Malo Bapuji, Ngampaat Galla, Nutup Kampong dan Nyabak Nitik Padi Baru. Seluruh kelengkapan empat jenis ritual berladang, sejak dari awal teknis memenuhi kelengkapannya sudah digariskan Ganari dan Damahung melewat 6 orang anaknya.

Malo Bapuji artinya permisi kepada arwah leluhur. Gampaat Galla, yaitu berdoa di jalan menuju ladang, atau memberi makan kepada arwah leluhur. Tutup Kampong, artinya memohon ampun kepada nyubata untuk mengusir roh-roh jahat agar tidak mengganggu para peladang Dayak dan berbagai jenis hewan ternak.

Nyabak Nitik Padi Baru, adalah serangkaian ucapan syukur atas panen padi baru dari hasil ladang yang telah melewati ritual adat berupa Bapuji di Bantanan, Bapuji Ngampat Galla dan Bapuji Tutup Kampong. Bapuji artinya pemberitahuan/permisi.

Ganari dan Damahung, lewat keenam anaknya, menggariskan, dalam menggelar ritual Malo Bapuji, Malo Ngampaat Galla, Bapuji Tutup Kampung dan Bapuji Nyabak Nitik Padi Baru, selain memotong hewan kurban berupa ayam, anjing dan babi, ritual harus dilengkapi biabuis atau sesajen.

Kelengkapan sesajen di dalm biabius, terdiri dari:  bara (lamang) atau lemang terbuat dari beras ketan tapi tidak dibungkus daun pisang sebanyak lima batang bambu, tumpi (kue tradisional) sebanyak 5 (lima) potong.

Selain itu, sungke (beras yang dibungkus daun dan direbus) 5 bungkus, telur 1 biji direbus, biji buah jawak 1 bungkus, biji langa dan biji mentimun digoreng, sangkotop (jenis-jenis ikan nyubata) secukupnya, tanda nyawah (alat tanda centang pada bara/lamang), pangadap (piring putih tempat menyimpan mangkok berisi beras, telur mentah, buah kunyit dan kapur sirih).

Di samping itu, diabuis dilengkapi lagi dengan uang pensilo (pangadap), arak tuak, kayu gaharu, tali pangamuk (dari kulit kayu tarap) yang digunakan alat ukur berat jenis babi, tali urap yang biasa untuk kelengkapan anyaman penampi untuk mengukur naik atau turunnya isi bara lamang.

Seluruh tahapan ritual berladang, wajib digelar secara konsisten bagi Suku Dayak Bakatik, supaya terhindar dari segala sesuatu yang tidak diinginkan. Melalui ritual Malo Bapuji, Ngampaat Galla, Nutup Kampong dan Nyabak Nitik Padi Baru, dimaknai kalangan Dayak Bakatik sebagai wujud doa kepada Nyubata, Sang Pencipta, roh-roh leluhur yang menjaga ciptaan, untuk tetap memelihara alam (rumpuk abut), menghormati sesama manusia yang berjasa.

Di dalam legenda kisah penciptaan Dayak Bakatik, menegaskan, sanksi adat sudah ada sejak awal mula manusia, yaitu sejak keenam anak Ganari dan Damahung diperintahkan untuk buka ladang dengan cara bakar.

Dapat dimulai dari satu tahil tanah, lepet kunyit, baras babanyu (beras dikasih kunyit), mangkok nyababak (1 buah mangkok), siap nyungan (1 ekor ayam), biabuis, arak-tuak, pansilo pagarok, pengadap pangajamu (menjamu undangan).

Tahapan mulai panen, mereka berdoa di ladang masing-masing. Hasil panen dibawa pulang dan ditaruh di atas nyiru (penampi), disimpan di depan pintu, dibuat acara adat 1 ekor ayam sebagai adat penyambutan dan pembasuh kaki Samba Ndo Naya atau Dewi Padi.

Selesai adat padi, mereka rebus sedikit padi, kemudian disimpan kembali di dalam Nyiruk (penampi) agar bau harumnya naik ke langit, dapat diketahui oleh nyubata sangkaro (nama lain sebutan dari Yang Maha Kuasa) yang bersemadi di Gunung Bawakng.

Padi yang digonseng di dalam kuali di atas nyala api dan dibuat emping. Emping tadi dimasak seperlunya. Sebelum dimakan, dipersembahkan dulu di depan pintu masing-masing, permisi kepada Nyubata, leluhur, terutama arwah Samba Ndo Naya, Dewi Padi.

Suguhan pelengkap yang prinsip, dan tetap disakralkan, dengan biabuis (sesajen) juga minuman arak-tuak dan nasi baru. Jadi, tuak arak, adalah minuman kehormatan bagi arawah para leluhur. Arak dan tuak adalah jenis minuman yang disakralkan di dalam religi Dayak Bakatik.

Hakiki dan hak dasar

Di dalam religi agama Dayak Bakatik digariskan, arwah Mula Batondok yang disimbolkan bersemanyam di dalam langkandak di atas pintu masuk rumah bagian depan, harus terlebih mencicipi hidangan. Setelah itu, barulah giliran manusia yang hidup di alam nyata yang menyantapnya.

Maka manusia Suku Dayak Bakatik, selalu memelihara hubungan baik dengan sang pencipta yang dikenal dengan sebutan Nyubata, termasuk membuat hubungan baik dengan alam untuk berladang dan sebagainya.

Dari mulai membuka ladang sampai panen hasil ladang, manusia Suku Dayak selalu membuat adat sebagaimana  kisah penciptaan Samula Jadi (Ganari) dan Samula Panampa. Di sinilah dasar-dasar pemikiran orang Dayak telah membuka hutan yang merupakan hakiki dan hak dasar dari Tuhan. Bukan pemberian dan dukungan dari manusia yang bukan orang Dayak.

Dari dasar-dasar kisah Samula Jadi, Mula Panampa dan Mula Batondok yang telah mengelola hutan semenjak dunia dijadikan, ternyata oleh Samula Jadi, keenam anaknya, telah diperintahkan sebaik-baiknya mengelola hutan, laut, seperti sebagaimana biasanya.

Ada yang diperintahkan membuat kepala parang, kepala cangkul, tangkap kapal, tangkai beliung. Samula Jadi (Ganari) memerintahkan keenam anaknya harus pandai dan cerdas melakukan segala sesuatu, demi bertahan hidup, tapi tidak boleh perintah arwah leluhur: menjaga keseimbangan alam sekitar. Ada pula yang diperintahkan membuat surat.

Perintah membuat surat, dimaknai perutusan orang-orang pilihan, yaitu orang-orang Dayak Bakatik yang karena keteladanan moralnya dipercaya memimpin berbagai jenis ritul di dalam religi Suku Dayak Bakatik.

Para pemimpin ritual ini kemudian menjadi orang yang dihormati dan disegani, bukan karena status sosialnya, bukan karena status kekayaan barang duniawinya, tapi lantaran keteguhan, ketegaran, dan keteladanan moralnya di dalam mengaplikasikan doktrin leluhur sebagaimana diperintahkan Ganari dan Damahung lewat keenam anaknya.

Kemudian, ada yang menunggu sebagai tuan/penguasa melalui berbagai kegiatan inovasi yang bertujuan demi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia, dan ada yang menyeberang ke pulau-pulau membawa bibit untuk makanan mereka.

Bibit tanaman itu bernama bibit Jawak, dibawa nyeberang oleh anak Semula Jadi ke suatu tempat pula, dan tumbuh dan berkembang banyak, itulah yang namanya sekarang dikenal Pulau Jawa. Surat Dayak itu adalah di dalam pikiran akal dan budinya yang dilakukan para pewarta agama Dayak.

Sementara anak yang lain suratnya dimasukkan ke dalam palok (bambu) saat nyeberang, tapi basah, sehingga tulisannya tidak beraturan (Timoteus Taim: 2020).

Kisah penciptaan Dayak Bakatik, ini, berkolerasi dengan bukti arkeologi tentang peradabah Suku Dayak secara keseluruhan. Dalam dokumen arkeologi membuktikan Kerajaan Kutai Martadipura, Provinsi Dayak Timur, milik Dayak Kutai, sebagai kerajaan tertua di Indonesia, dibangun tahun 400 Masehi (M).

Bahkan tahun 1998 Balai Arkeologi Banjarmasin, Provinsi Dayak Selatan, mengumumkan fakta mengejutkan, setelah menemukan Kerajaan Nan Sarunai, milik Dayak Maanyan di Amuntai, Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai kerajaan paling tua di Indonesia, lebih tua dari Kerajaan Kutai.

Amuntai, Ibu Kota Kabuapten Hulu Sungai Utara, terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.

Penutur Astronesia

Salah satu jejak arkeologis digunakan untuk melacak keberadaan Kerajaan Nan Sarunai, berupa bangunan candi kuno di Amuntai. Candi ini dikenal dengan nama Candi Agung, yang dipercaya menjadi salah satu simbol eksisnya peradaban orang-orang Dayak Maanyan di masa silam.

Penelitian Vida Pervaya Rusianti Kusmartono dan Harry Widianto berjudul “Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Dayak” yang dimuat dalam jurnal Berita Penelitan Arkeologi edisi Februari 1998 menyebutkan, pengujian terhadap candi tersebut telah dilakukan pada 1996.

Pengujian terhadap sampel arang candi ditemukan di Amuntai menghasilkan kisaran angka tahun 242 – 226 Sebelum Masehi (SM). Ini membuktikan Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dari Kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri pada abad ke-4 Masehi.

Baik Kerajaan Nan Sarunai (1242 – 226 SM) sebuah kerajaan prasejarah maupun Kerajaan Kutai Martadipura (4 M), dua-duanya milik Kerajaan Suku Dayak, dan sekaligus membuktikan pula peradaban Suku Dayak di Pulau Borneo di masa silam sebagai rujukan peradaban Suku Bangsa di Indonesia pada khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya (Aju: 2020).

Kriminalisasi peladang

Tahun 2020 merupakan tahun buruk dalam sejarah peradaban Suku Dayak. Senin, 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Muara Teweh, Ibu Kota Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, memvonis 7 (tujuh) bulan penjara dan denda Rp50 juta terhadap seorang petani peladang Dayak, bernama Saprudin alias Sapur (50 tahun).

Warga Desa Juking Pajang, Kecamatan Murung, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, ini, ditangkap Polisi Republik Indonesia (Polri) karena buka ladang di areal kurang dari 0,5 hektar dengan cara bakar. Putusan hakim, lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sebelumnya, Jaksa menuntut Saprudin 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp3 miliar.

Di Pengadilan Negeri Sintang, Ibu Kota Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, ada 6 (enam) petani Dayak (Magan, Agustinus, Antonius Sujito, Dugles, Boanergis dan Dedi Kurniawan) divonis bebas, Senin, 9 Maret 2020. Satu hari kemudian, Selasa, 10 Maret 2020, Pengadilan Negeri Bengkayang, Ibu Kota Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, memvonis bebas 3 (tiga) orang petani Dayak (Tenong Malosa, Rifan dan Sudimin).

Sementara sebelumnya, Senin, 17 Februari 2020, Pengadilan Negeri Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, memvonis 5 (lima) bulan penjara kepada petani Dayak asal Kecamatan Embaloh Hulu.

Para petani Dayak, itu, menjadi korban kriminalisasi aparat penegak hukum. Mereka ditangkap, karena membuka ladang dengan sistem bakar, dengan alasan, menjadi penyebab munculnya kabut asap tebal yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat, hingga diprotes negara tetangga, selama musim kemarau tahun 2019. Ini mengundang protes berbagai elemen masyarakat Suku Dayak melalui aksi demonstrasi dan pernyataan sikap kepada otoritas yang berwenang.

Buka ladang dengan sistem bakar, adalah fakta sejarah sosial budaya perladangan Suku Dayak di Kalimantan yang telah ada sejak ribuan tahun. Bukti arkeologis, biologis, dan linguistik, menurut Diamond (2003: 597-603) dalam Ida Bagus Putu Prajna Yogi (2018),  menunjukan bahwa kebudayaan bercocok tanam di Asia Tenggara dan Asia Pasifik dibawa oleh para penutur Austronesia. Suku Dayak dalam masuk di dalam kelompok penutur Austronesia.

Bukti-bukti kedatangan awal penutur Austronesia di Kalimantan saat ini, dimana dikemudian dicatat Suku Dayak di dalamnya,  sudah mulai tampak dari hasil beberapa penelitian. Pada kehidupan para penutur Austronesia, padi merupakan tanaman yang sangat penting bagi kehidupan mereka.

Austronesia merupakan rumpun bahasa yang mencakup sekitar 1.200 bahasa dituturkan oleh populasi penghuni kawasan lebih dari setengah bola dunia. Penuturnya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.

Wilayah sebagai kawasan penutur bahasa Austronesia sangat luas. Letaknya juga berada di tengah kawasan sebaran. Penghuninya melingkupi 60 persen lebih dari seluruh penutur Austronesia. Keberadaan penutur non-Austronesia di wilayah timur menambah daya tarik studi untuk mengetahui interaksi dua ras yang berbeda dalam ruang dan waktu.

Para penutur Austronesia merupakan bangsa yang mengenalkan cara bercocok tanam agraris hingga domestikasi binatang kepada penghuni kepulauan di Indonesia. Selain sebagai bangsa agraris, mereka pun pelaut andal.

Penutur Austronesia muncul sekira 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan kemudian pada sekira 5.000 tahun yang lalu menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik yang dicirikan dengan kehidupan menetap dengan kegiatan bertani juga beternak.

Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak sekitar 4.000 tahun yang lalu seiring kedatangannya dari Taiwan melalui Filipina. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang.

Mereka menaklukkan samudera untuk memperkenalkan sistem pertanian. Mereka ini pelaut ulung yang memperkenalkan pertanian. Dengan kenyataan itu, Austronesia menjadi rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia. Ini merupakan jumlah bahasa terbesar di antara belasan rumpun bahasa di dunia.

Adapun penutur Austronesia dapat digolongkan ke dalam ras Mongoloid Selatan. Berdasarkan penelitian sejauh ini, temuan rangka ras mongoloid selalu mengiringi temuan lukisan dinding cadas dan gua di berbagai pulau di Indonesia.

Dari sini gambar cadas kita yakini berhubungan dengan Austronesia dan selalu berkitan dengan rangka manusia mongoloid. Tinggalan budaya Austronesia juga diduga masih digunakan hingga kini dalam sistem pertanian.

Di antaranya sistem Subak di Bali merupakan sistem irigasi yang sudah mendasar sejak dulu. Sistem ini diindikasikan membawa pengaruh dari budaya Austronesia. Unsur perdaban Austronesia sangat membumi di masyarakat. Makanya di Bali ada semacam tradisi yang masih dianut masyarakat.

King (1993) dikutip Klinken (2006: 28) dalam Ida Bagus Putu Prajna Yogi (2018), menyebutkan, Suku Dayak saat ini dianggap sebagai masyarakat asli yang tinggal sejak dahulu kala di Pulau Kalimantan. Sebagai salah satu kelompok penutur Austronesia, Suku Dayak di Pulau Kalimantan memiliki beragam sub suku dan memiliki sejarah yang berbeda.

Bulbeck (2008: 32) dalam Ida Bagus Putu Prajna Yogi (2018), mengklaim, temuan padi pada masa neolitik tertua di Kalimantan hingga saat ini ialah di Gua Niah, Sarawak, Malaysia, berdasarkan temuan tembikarnya diperkirakan lebih tua dari 4000 Before Present (BP).

Pertanggalan tersebut lebih tua dibandingkan teori “Out of Taiwan” yang dinyatakan bahwa menyebarnya para penutur Austronesia di Pulau Kalimantan baru, dimana di kemudian dikenal ada Suku Dayak di dalamnya, dimulai sekitar 3.500 BP.

Tidak ada persoalan selama “budaya padi” yang diperoleh dari petani peladang Dayak dengan cara bakar ini, dimana sudah berlangsung sejak 3.500 BP. Akan tetapi, ketika investasi besar-besaran masuk ke wilayah dan ruang-ruang hidup peladang di kalangan Suku Dayak, dimana secara rakus merampas hak ulayat dan tanah adat Dayak, ketika itu pula bentuk-bentuk kearifan lokal dipersoalkan (Leavy Aseanty: 2019).

Kepentingan akan tanah, hutan dan lahan dari para pemodal tak dipungkiri selalu hadir di belakang jargon pembangunan, kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kemakmuran. Sejak tahun 1997, peladang dianggap penyebab asap.

Tuduhan tersebut menimbulkan banyak respon negatif berbagai daerah, termasuk para Hakim Adat Dayak (Temenggung di Kalimantan Barat, Damang di Kalimantan Tengah, Pemanca di Sarawak, Anak Negeri di Sabah). Tiga dekade terakhir, jumlah peladang berkurang.

Akses masyarakat adat semakin kecil seiring masifnya ekspansi tanaman industri, perkebunan monokultur skala besar, hingga tambang. Penyebab lain, terobosan pertanian sistem intensifikasi berupa sawah gencar digerakkan hingga pelosok. Pertambahan penduduk, termasuk transmigrasi, turut menambah timpangnya alokasi tanah, hutan dan lahan di Kalimantan.

Dampak buruk ekspansi investasi berbasis tanah, hutan dan lahan adalah merusak sendi-sendi kehidupan sosial, budaya, ritual dan ekonomi masyarakat adat dan petani lokal. Alih fungsi hutan dan lahan untuk dijadikan kegiatan ekonomi non-konservasi, menjadi tidak terkenali, seperti pertambangan, perkebunan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI).

Minim produk literasi

Suka tidak suka, korbannya masyarakat adat Dayak dan petani Dayak setempat. Ironis sekali, kebakaran paling parah pada setiap musim kemarau, justri terjadi di areal HPH, HTI, perkebunan, proses penanganan hukumnya jarang terungkap secara transparan, tapi para petani Dayak yang hidup dari berladang dengan cara bakar, sejak ribuan tahun sebelumnya menjadi korban kriminalisasi aparat penegak hukum.

Padahal, hakikat tanah, hutan dan lahan berdimensi holistik (menyeluruh) untuk kehidupan dan keselamatan petani. Penegakan hukum yang serampangan dari Pemerintah Pusat, sejatinya adalah salah paham dan salah kaprah. Ini lebih dikarenakan kualitas pemahaman akan anthropologi budaya aparat penegah hukum dan pimpinan instansi vertikal yang ada di Kalimantan, tidak sesuai yang diharapkan.

Salah paham diperburuk kontribusi minimnya ruang diskusi atau dialog praktik berladang dengan kearifan lokal. Hanya segelintir orang yang tertarik membahas masa depan para peladang Dayak. Publikasi perladangan berkearifan lokal pun sangat sedikit.

Produk literasi tentang Kebudayaan Dayak, terutama berkaitan dengan sistem ritualnya, sangat minim. Sangat jarang pula orang Dayak, memiliki kemauan menulis Kebudayaan Dayak yang berangkat sudut pandang dari dalam secara jujur dan jernih (Leavy Aseanty: 2019).

Malah  tidak sedikit di antara oknum elit Dayak, menuding sistem religi Dayak, termasuk berkaitan dengan aktifitas ritual sebagai proses berladang dilakukan, sebagai praktik menyembah berhala atau animisme atau praktik tidak bertuhan atau ateisme. Oknum-oknum

Dayak ini, sudah terlalu gambang melihat Kebudayaan Dayak dari sumber keyakinan iman (agama yang dianutnya), sehingga mereka kehilangan karakter dan jatidiri/identitas sebagai orang Dayak. Ini lantaran pemahaman para oknum elit Dayak itu sendiri akan anthropologi budaya, masih sangat memprihatinkan.

Berladang dengan sistem rotasi atau gilir balik dengan cara bakar, bagian tidak terpisahkan dari seluruh rangkaian sistem religi Dayak. Suku Dayak sebagai bagian integral berbagai suku bangsa di Benua Asia, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia dimaksud, membentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk karakter dan jadidiri manusia Suku Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem ritual atau bersumber doktrin dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban (Aju: 2020).

Sumber sistem religi

Hal ini perlu digarisbawahi, karena pembentukan karakter dan jatidiri sebuah suku bangsa di manapun di dunia, termasuk di kalangan Suku Dayak, selalu bersumber dari sistem religi dari suku bangsa yang bersangkutan.

Bagi masyarakat Suku Dayak, berladang dengan cara bakar, melalui sekat bakar tradisional yang diliputi aspek ritualisasi, bukan saja bertujuan memenuhi kebutuhan pangan, tetapi buka ladang dengan sistem rotasi atau gilir balik, bagian tidak terpisahkan dari sistem religi. Dari membuka ladang hingga memanen padi, selalu didahului dan diakhiri dengan aktifitas ritualisasi.

Perlu ditegaskan sebagai berikut. Pertama, orang Dayak, tidak mengenal ladang berpindah. Kedua, orang Dayak bukan pelaku peladang berpindah. Ketiga, orang Dayak bukan perusak hutan. Keempat, orang Dayak bukan perambah hutan. Atas dasar empat aspek, ini, orang Dayak penjaga dan pelestari hutan dan alam sekitar, karena hutan sebagai simbol dan sumber peradaban (Tobias Ranggie: 2020). .

Orang Dayak hanya mengenal berladang melalui sistem rotasi atau gilir balik. Mereka selalu kembali membuka ladang di lokasi ladang sebelumnya, setelah lima atau enam tahun kemudian. Berladang dengan sistem rotasi atau gilir balik, bertujuan mengembalikan tingkat kesuburan tanah (Tobias Ranggie: 2020).

Membakar hutan/lahan bukan untuk ladang bagi Suku Dayak sangat dilarang, karena merupakan pelanggaran terhadap doktrin sistem religinya, dalam konteks hutan sebagai sumber dan simbol peradaban. Dari aspek anthropologi budaya, bakar hutan/lahan dan bakar ladang, konteksnya sangat berbeda.

Bakar hutan/lahan bagi orang Dayak, sama sekali tidak ada aspek ritual di dalamnya, dan malah dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap doktrin sistem religinya. Sedangkan bakar ladang, merupakan bagian tidak terpisahkan dari aspek religi Dayak (Tobias Ranggie: 2020).

Ladang, wajib dibakar sesuai religi Dayak. Api hanya boleh disulut dari arah pohon tumbang, karena diyakini, angin selalu berhembus dari awal pohon di ladang yang tumbang. Sebelum bakar ladang, terlebih dahulu dilakukan sekat bakar, agar api tidak merembes, sesuai perintah arwah para leluhur. Karena pepohonan di areal di luar ladang yang akan dibakar, berstatus sebagai tempat bersemadi arwah para leluhur.

Karena itulah, bakar ladang pun, hanya boleh diizinkan para leluhur menjelang tengah hari, agar tersedia cukup waktu mengontrol api supaya tidak merembes ke areal di luar lokasi ladang. Apabila api terbukti merembes, dalam doktrin religi Dayak, pasti ada sesuatu yang tidak beres, dan pemilik ladang orang Dayak, itu, pasti akan mendapat hukuman dari arwah para leluhur (Tobias Ranggie: 2020).

Ironisnya, aparat penegak hukum,  selalu menuding bakar ladang dengan sistem bakar di kalangan petani Dayak, selalu disamakan dengan konteks membakar hutan dan lahan, sehingga terjadilah praktik krimanalisasi melalui penerapan hukum yang sangat parsial, semata-mata mengandalkan kebenaran formal, teks book, tidak memperhitungkan aspek kebenaran material (hati nurani, sejarah, ritual, adat istiadat).

Ketentuan otoritas berwenang di Indonesia mengatur antisipasi Kebakatan Hutan dan Lahan (Karhutla) dengan berbagai implikasi hukum bagi para pelanggar, di satu sisi harus didukung demi kewibawaan Pemerintah, tapi pada sisi lain, sangat tidak tepat diterapkan bagi petani peladang Dayak yang buka ladang dengan cara bakar, karena konteksnya dengan bakar hutan/lahan, sangat berbeda sekali dari pemahaman anthropologi budaya.

Itulah sebabnya, maka ketika para petani peladang Dayak ditangkap otoritas berwenang, karena buka ladang dengan cara bakar di ladaang sendiri pada musim kemarau, dengan tudingan membakar hutan/lahan, menimbulkan kegaduhan dan kemarahan meluas, karena merampas hak ekonomi masyarakat, pelecehan terhadap sistem religi Dayak, sehingga menimbulkan berbagai aksi demonstrasi masyarakat Suku Dayak di sejumlah tempat (Aju: 2020).

Kriminalisasi terhadap petani Dayak yang buka ladang dengan sistem bakar, berimplikasi pula sebagai potensi awal bentuk pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila yang dilakukan aparat penegak hukum. Karena Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), menegaskan, ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku Bangsa di Indonesia.

Karena Suku Dayak bagian integral dari Bangsa Indonesia sejak awal pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Kebudayaan Suku Dayak turut andil melahirkan ideologi Pancasila.

Dengan demikian, melestarikan dan mencintai Kebudayaan Dayak, melalui sistem religinya, seperti berladang dengan cara bakar mengandung nilai-nilai religi, sebagai wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila di kalangan Suku Dayak.

Kalau masih saja orang Dayak dengan tulus mengamalkan ideologi Pancasila, melalui berladang dengan cara bakar sebagai bagian dari religi Dayak, tetap dikriminalisasi (petani ditangkap oknum Polisi seperti penjahat), berarti oknum arapat penegak hukum tersebut berkhianat terhadap ideologi Pancasila.

Hak perladangan Dayak yang mengandung nilai religi, dijamin konstitusi sebagaimana  putusan hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, 7 Nopember 2017 yang mengakui keberadaan aliran kepercayaan, dan dimaknai pula pengakuan akan sistem religi orang Dayak, termasuk di dalam pengakuan berladang dengan yang mengandung nilai-nilai religi.

Apabila dicermati keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1979 mewajibkan nama agama di kolom KTP dan diperkuat pelaksanaannya di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, tentang: Administrasi Kependudukan, adalah bentuk pemaksaan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap kebudayaan luar menjadi panduan pembentukan karakter dan jatidiri/identitas bangsa Indonesia (dalam kaitan penentuan sepihak dari Pemerintah Indonesia, atas kriteria keberadaan sebuah agama).

Ini membuat kalangan masyarakat di Indonesia, menjadi asing di tanah sendiri, karena harus menerima kebudayaan luar yang dalam kenyataannya seringkali bertolak belakang dengan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

Karena sebuah produksi konstitusi yang mengakui keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia, pengakuan agama asli Bangsa Indonesia, maka putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, dimaknai sebagai pengakuan dan peneguhan panduan pembentukan karakter dan jatidiri/identitas masyarakat di Indonesia, dalam kaitan agama adalah produk budaya.

Pengakuan dan peneguhan, sebagai acuan di dalam melakukan aktualisasi nilai-nilai universal di dalam kebudayaan Dayak, dimana di dalamnya ada pada sistem religi yang berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.

Karena kemajuan sebuah suku bangsa di negara manapun di dunia, apabila sudah ada panduan mengikat bagi masyarakatnya dalam pembentukan karakter dan jaditidiri/identitasnya bersumber pada sistem religi dari kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan (Bandingkan, Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

Lima catatan penting

Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, dipandang sangat strategis, sebagai berikut. Pertama, bagi masyarakat Suku Dayak, agama adalah sebagai sumber keyakinan iman, sementara religi Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku.

Keduanya mesti dimaknai di dalam konteks yang berbeda, agar tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama. Melalui sistem religinya, akan membuat karakter dan jatidiri/identitas orang Dayak, berbeda dengan masyarakat lainnya (Aju: 2020).

Kedua, sebagai acuan membantah tudingan sementara pihak bahwa religi Dayak adalah praktik aninisme atau menyembah berhala dan ateisme atau tidak mengakui Tuhan. Karena sejak abad ke-13 setelah filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274) melalui teologi adikodarti atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya (Baca, Doera: 2003).

Itu berarti orang Dayak lewat sistem religi sebagai salah satu implementasi Kebudayaan Dayak, memiliki kemampuan mengenal  Tuhan dengan akal dan budinya. Sementara tempat menggelar ritual Dayak, tidak bisa dicap sebagai bukti animisme dan ateisme, karena hanya sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Ketiga, dijadikan momentum masyarakat Suku Dayak   mengenal dan melihat Kebudayaan Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat. Apabila masih ada orang Dayak melihat Kebudayaan Dayak semata-mata dari sumber keyakinan imannya (agama yang dianutnya), maka di situlah titik awal kehancuran Kebudayaan Dayak dan sekaligus sebagai titik awal orang Dayak tersebut kehilangan karakter dan jatidiri/identitasnya.

Ini harus digarisbawahi, karena sudut pandang  kebudayaan luar (di antaranya melahirkan agama samawi), seringkali bertolak belakang dari pemahaman trilogi peradaban kebudayaan Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban Kebudayaan Asia dimaksud, sebagai faktor pembentuk karakter dan jaditidiri/identitas masyarakat Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Faktor pembentuk karakter dan jatidiri/identitas manusia beradat, lahir dari sistem religi Dayak (legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak), dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban (Aju: 2020).

Keempat, mengaktualisasikan nilai-nilai universal di dalam sistem religi Suku Dayak, bukan berarti orang Dayak harus pindah sumber keyakinan imannya untuk memeluk agama asli Dayak, tapi religi Suku Dayak dijadikan acuan di dalam penentuan kebijakan pembangunan dan atau argumentasi ilmiah lainnya, apabila terbukti masih ada implementasi program pembangunan di bidang hukum, ekonomi dan politik, terbukti merugikan kepentingan Suku Dayak.

Karena dari segi anthropologi budaya, misalnya, Kebudayaan Dayak lewat religi Dayak yang terkandung di dalam legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat  (apalagi kalau sudah diangkat menjadi produk literasi), bahwa berladang dengan cara bakar, melalui sistem rotasi agar gilir baik, bukan perbuatan kriminal. Peladang Dayak bukan penjahat.

Sehingga berladang petani Dayak dengan cara bakar, tidak boleh dihukum, karena bagian tidak terpisahkan dari sistem religi Suku Dayak, sebagai salah satu daya dukung utama kriteria keberadaan komunitas masyarakat Adat Dayak, di samping kelembagaan profan masyarakat Adat Dayak, serta keberadaan situs pemukiman dan pemujian Suku Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.

Kelima, pemahaman memadai terhadap religi Dayak, sekaligus sebagai bentuk bantahan atau klarifilasi, apabila masih ada sejumlah pihak yang masih mengklaim, tidak ada masyarakat Adat Dayak pada suatu tempat, hanya lantaran belum mengantongi surat keputusan keberadaannya sebagai Masyarakat Adat Dayak dari otoritas yang berwenang Pemerintah Republik Indonesia.

Karena tolok ukur keberadaan masyarakat Adat Dayak, paling penting dan sangat prinsip adalah masih terpeliharanya nilai-nilai religi sebagai aktualitasi dari Kebudayaan Dayak yang masih hidup di tengah masyarakat Suku Dayak itu sendiri (Baca: Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945). Karena komunitas masyarakat Adat Suku Dayak, sudah ada sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.***

Penulis adalah wartawan senior Independensi.com tinggal di Pontianak

 

 

 

Keterangan foto:

 

Foto 1 – 2, Sabak, alat gendang saat Nyabak Nitik Padi Baru (syukuran selepas panen padi Suku Dayak Bakatik di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat).

 

 

 

Foto 3 – 5, Aktifitas berbagai rangkaian ritual Suku Dayak Bakatik di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.

 

Aju Dismas