Dr. Yuli Indrawati, S.H., L.LM., Dosen Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (Ist)

Memaknai Penyimpangan Kebijakan & Kegiatan Pelaksanaan UU APBN

Loading

Oleh: Dr. Yuli Indrawati, S.H., L.LM.*

JAKARTA (Independensi.com) – Pasal 34 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Selain itu terhadap pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undangundang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Padahal di sisi lain, Pasal 27 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (UU Keuangan Negara) memberikan sarana adanya perubahan UU APBN
apabila terjadi:
a. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
b. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. Keadaaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

Bahkan dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN
dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

Hal yang sama juga berlaku pada APBD, sebagaimana diatur dalam Pasal 28
UU Keuangan Negara, yang memberikan sarana adanya perubahan Peraturan Daerah
APBD apabila terjadi:
a. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
b. Keadaaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

Demikian pula berlaku norma yang sama mengenai pengeluaran pemerintah dalam
keadaan darurat yang belum ada anggarannya dapat diusulkan dalam rancangan
perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

Kedua pasal tersebut memungkinkan adanya perbedaan antara pelaksanaan
dengan perencanaan, sepanjang persyaratan yang ditentukan undang-undang
terpenuhi. Apakah hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan
penyimpangan kebijakan dan kegiatan berdasarkan Pasal 34?

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan dan kegiatan yang memenuhi
norma dalam Pasal 27 dan 28 tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai
penyimpangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Akan tetapi mengingat fungsi
APBN sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 yaitu sebagai sarana untuk
mewujudkan tujuan bernegara dan juga mengingat sumber utama penerimaan negara
adalah berasal dari rakyat (melalui pajak), maka perlu diterapkan prinsip kehati-hatian
dalam menilai kebijakan dan kegiatan yang dapat dikategorikan menyimpang
termasuk penetapan kondisi darurat.

Oleh karenanya perlu penilaian atas indikator perubahan kebijakan dan kegiatan tersebut serta penetapan kondisi darurat. Mengacu pada pendapat Jimly Asshiddiqie tentang keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yaitu:
1. adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat),
2. adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity), dan
3. adanya keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.

Selain itu, keadaan darurat harus memenuhi prinsip proporsionalitas atau kewajaran.2
Dalam peraturan perundang-undangan, istilah darurat muncul dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 23 Tahun 1959 tentang
Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan menetapkan keadaan bahaya, yang mengatur bahwa terdapat keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan
darurat militer atau keadaan perang.

Selain itu terdapat peraturan perundang-undangan lain yang terkait
nomenklatur darurat adalah UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, bencana terbagi atas faktor alam, faktor non-alam, dan faktor manusia
(sosial).

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Bencana nonalam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan ulah manusia meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Penilaian terhadap indikator perubahan UU APBN/Perarturan Daerah APBD
tersebut sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan modern berdasarkan
tipe negara hukum yang menghendaki tindakan yang dilakukan pemerintah harus
berlandaskan hukum, baik hukum positif maupun asas hukum lainnya, dalam hal ini
adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Hal ini menjadi penting, karena sebagai negara hukum, nilai-nilai ekonomi dan politik tetap harus berada dalam koridor hukum. Jangan sampai kebijakan ekonomi dan politik tidak mempunyai dasar hukum sama sekali. Hukum tetap merupakan hal yang esensi dalam negara hukum oleh karenanya setiap kebijakan ekonomi dan politik harus sejalan dengan kaedah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan demikian, penilaian penyimpangan kebijakan dan kegiatan yang telah
ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
harus dilakukan tidak hanya sebatas pada pemenuhan syarat perubahan APBN/APBD
maupun pemenuhan kondisi darurat melainkan juga terhadap indikator setiap syarat
yang mengakibatkan perubahan APBN/APBD dan indikator penetapan kondisi
darurat.

Sepanjang semua indikator tersebut terpenuhi maka Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota dan juga Pimpinan Unit Organisasi Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak dapat diancam dengan pidana
penjara dan denda. Pemahaman demikian akan memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi para pejabat pengelola keuangan negara/daerah.

*Penulis adalah Dosen Bidang Studi Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.