Bapthista M.Y. Sara, Mahasiswa Fakultas Peternakan, Undana & Aktivis PMKRI Cabang Kupang. (Ist)

“Etalase” Dibalik Istana

Loading

Oleh: Bapthista M.Y. Sara*

JAKARTA (Independensi.com) – Di masa penjajahan, kala Soekarno memimpin bangsa Indonesia merebut kemerdekaan sempat Ia katakan, bahwa hanya 10 orang pemuda yang dibutuhkanNya untuk mengguncang dunia. Lantas ungkapan Bung Karno menuai kenyataan disaat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan di tahun 1945. Fakta membuktikan, jika inisiator dari gerakan menuju proklamsi  kemerdekaan didominasi oleh para pemuda di zaman itu. Hal demikian berlanjut  hingga 1998, manakala rezim otoriter di era orde baru yang dipimpin (diktator) Soeharto berhasil diruntuhkan berkat suara dan gerakan dari para pemuda, para aktivis mahasiswa se-Indonesia.

Seiring dekade berganti, generasi muda selalu memiliki peran strategis dan multisektor dengan keahlian yang berbeda, akan tetapi, bentuk perhatian dan dedikasi terdahap Indonesia tak pernah mendua. Generasi milenial menyebutnya “anti PHP (Pemberi Harapan Palsu)”. Meski publik mengetahui, kebiasaan PHP cenderung dari para politisi (generasi tua) dengan mengumbar 1001 janji tanpa ada satu pun yang terealisasi. Lantas, bagaimana bilah PHP ini merujuk kepada generasi muda zaman ini yang telah “terperangkap” dalam ruang pemangku kebijakan, yang notabene mereka dibawah kendali penguasa dengan sistem oligarki. Sebagaimana yang dialami oleh para staf khusus (stafsus) milenial bentukan Presiden Jokowi di periode ke-2. Kini tersisa lima 5 dari 7 stafsus milenial, dikarenakan 2 diantaranya (Belva dan Andi Taufan) melakukan “kecerobohan” sehingga telah mengundurkan diri. Apakah mereka yang tersisa akan tetap setia menjadi “teman curhat” disaat Pak Jokowi lagi galau? Tanpa ada unek-unek? Ataukah, lambat laun akan mengikuti jejak sahabat mereka?

Embrio KKN

Hingga kini, Istana Kepresiden masih menjadi sorotan media, manakala ada seutas polemik yang mencuat. Hal tersebut berangkat dari kegaduhan yang ditimbulkan oleh (mantan) stafsus milenial presiden Joko Widodo. Mereka adalah Belva Devara dan Andi Taufan. Belva Devara (CEO Ruang Guru) dinilai memiliki konflik kepentingan karena platform digital miliknya menjadi bagian dari pelatihan online Kartu Prakerja. Ruang Guru yang diketahui dibiaya oleh APBN sebesar Rp.5,6 triliun tampak ada indikasi yang belum diketahui oleh publik. Mengutip dari salah satu akun facebook (inisial AEK), ia membocorkan “misteri” yang mengendap, “bahwa ada transaksi jual beli kelas online dengan biaya Rp.220 ribu/konten. Uang tersebut akan masuk ke rekening skill akademi (Ruang Guru)”. Padahal sudah diketahui, untuk saat ini transaksi pembelian konten video yang ada telah digratiskan dan biayanya ditanggung oleh negara. Disitulah letak peluang perusahaan akan digelembungkan. Jika ingn memberi pelatihan jangan ada transaksi seperti itu. Carilah format yang terbaik bila keadaan telah membaik. Jangan pada situasi krusial seperti hari ini.

Sedangkan, Andi Taufan Garuda Putra (CEO PT Amartha Mikro Fintek) melakukan blunder dengan konteks serupa (vested interest), walau akhirnya aksi tersebut terbongkar dan menuai kontroversi. Kecerobohan yang dilakukan oleh Andi disaat Ia menuliskan surat yang ditujukan kepada para camat se-Indonesia. Surat tersebut nyatanya berkop sekretariat kabinet. Isinya, adalah meminta kerja sama anatara perusahaannya dengan Relawan Desa Lawan Covid-19 dibawah naungan Kemendes-PDT. Kejadian tersebut bisa dikatakan “konyol”. Mengapa surat tersebut tidak dirujuk langsung melalui perusahaan miliknya dan gunakan kop perusahaan? Apakah ada sesuatu yang menukik nurani pria lulusan Universitas Harvard itu, sehingga jalan pintas digunakan? Apalagi saat itu Andi berstasus sebagai stafsus presiden, tentu ada prosedurnya. Karena yang dilakukan oleh Andi menunjukan kekacauan administrasi dalam Istana Kepresidenan.

Publik berterima kasih atas langkah yang ditempuh oleh Andi dan Belva, yakni mengundurkan diri sebagai stafsus presiden. Namun apakah tak ada sanksi yang diberih selain pengunduran diri? Karena perbuatan tersebut telah mencederai institusi negara. Mereka telah melanggar good governance. Apalagi perbuatan dari kedua mantan stafsus itu bisa merujuk pada “indikasi korupsi” disaat negara sedang darurat. Inilah yang mesti ditelaah. Semoga masyakat tidak mengeneralisasi kelakuan mereka dengan para stafus milenial yang tersisa. Dan tentu ini sangat memalukan, jika lembaga negara menjadi tempat generasi milenial belajar tentang kebijakan koruptif. Bagaiamana jadinya, bila lembaga negara dicap sebagai laboratorium yang memproduksi embrio Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bagi generasi yang akan datang. Tentu hal ini sangat ironis!

Staf khusus melenial presiden mesti menjadi contoh baik dan cahaya moral bagi banyak orang khususnya generasi muda saat ini. Jangan jadi beban untuk presiden Jokowi. Di tengah situasi krisis marih bahu membahu jadi relawan bukan Markona (Makelar Kasus Corona).

Etalase Istana

Presiden Jokowi menunjuk staf milenial bukan tanpa alasan, mereka punya rekam jejak sukses pada sektor kewirausahaan (entrepreunership) dengan usia yang terbilang sangat muda. Tentu kita mengakui prestasi mereka. Namun, belum tentu prestasi mereka mampu menjawab dan menjamin keperluan Pak Jokowi, dengan merujuk pada basic ilmu mereka saja bisnis. Pengalaman berkecimpung di lingkup pemerintahan atau sebagai akademisi pun belum terafiliasi. Namun ketika mereka terlibat dalam proyek pemerintahan terlepas ikut serta atau tidak dalam pengambilan kebijakan, dengan sendirinya mereka ikut terlibat dalam konflik kepentingan.

Disamping itu juga, para stafsus tersebut tampak seperti etalase yang berjejer menghiasi tembok istana. Aktivitas atau agenda kerja mereka pun ditentukan oleh presiden. Kapan dan dimana presiden lagi butuh “teman curhat” disitulah pikiran mereka dibutuhkan. Namun jika “otak” mereka tak dipakai bearti pikiran mereka terbuang percuma. Dan sejauh ini melalui media kita bisa mengetahui, bahwa selama dilantik hingga saat ini pun para stafsus tersebut tak perna berinisiatif mengadakan rapat bersama presiden. Justru kebalikan, mereka diundang oleh presiden untuk rapat. Dapat disimpulkan, bahwa gaji yang didapat oleh para stafsus milenial tersebut merupakan gaji buta. Upah yang didapat berbanding terbalik sama kualitas kerja mereka. Disini negara mengalami kerugian. Gaji stafsus 51 Juta/bulan. Jika agenda kerja mereka hanya 15 hari/bulan maka, kebutuhan khusus pak presiden akan dibebankan kepada para staf yang ada di Kantor Staf Presiden (KSP) ataupun sekretariat negara. Jadi percuma saja unit stafsus milenial itu dibentuk. Disini ada tumpang tindih dalam menjalankan tugas dan fungsi para stafsus milenial dan staf yang ada di KSP maupun di sekretariat negara. Untuk menghemat anggaran negara dimasa krisis seperti sekarang, mending unit stafsus itu dububarkan, jika “tak ada nilai lebihnya”. Hal inilah yang mesti dipertimbangkan oleh Pak Jokowi.

Dilihat dari sisi profesioniltas sebagai stafsus milenial pun, kita sulit untuk menemukan indikator mana yang perlu diapresiasi. Penilaian dari masyarakat dan elite negara pun serba memberi kritikan. Jadi apakah ini yang dikatakan suatu keberhasilan yang dilihat kapabel dalam memimpin perusahaan, prestasi akademis, latar belakang keluarga konglomerat, dan backround pendidikan? Semoga ini bukan barometer yang digunakan oleh Pak Jokowi ketika merekrut para stafsus milenilal.

*Mahasiswa Fakultas Peternakan, Undana & Aktivis PMKRI Cabang Kupang