Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Menteri Agama Republik Indonesia, penggerak Doa Kebangsaan di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020.

Doa Kebangsaan di Tengah Bahaya Laten Agama

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dan Wakil Presiden, K.H. Ma’aruf Amin, menggelar Doa Kebangsaan, di Istana Negara, Jakarta, pukul 09.30 Waktu Indonesia Barat (WIB), Kamis, 14 Mei 2020.

Doa Kebangsaan dimotori Menteri Agama Republik Indonesia, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, menindaklanjuti kesepakatan tokoh Agama Islam Sedunia – Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus, untuk menetapkan Kamis, 14 Oktober 2020, sebagai Haria Doa Sedunia, memohon kepada Tuhan memberikan berkat kepada para ilmuwan untuk segera menemukan obat penangkal wabah Penyakit Virus Corona, Corona Virus Disease-19 (Covid-19).

Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, China, petengahan Desember 2019, kini, melanda hampir semua negara di dunia. Kamis pagi, 14 Oktober 2020, kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai 4,399,165 orang, meninggal dunia 296,101 orang dan sembuh 1,644,702 orang.

Angka kematian tertinggi akibat Covid-19 di dunia pada Kamis pagi, 14 Mei 2020, tetap di Amerika Serikat 84,355 orang, kedua Inggris 33,186 orang, Italia 31,106 orang, Spanyol 27,104 orang, Perancis 27,074 orang. Di Indonesia, 15.438 positif Covid-19, 11.123 dirawat, 1.028 meninggal dunia dan 3.287 orang sembuh.

Wabah Covid-19 di akhir akhir tahun 2019 di China dan meluas ke seluruh dunia awal tahun 2020, mirip musibah penyakit menular melanda seluruh dunia tahun 1918 yang dinamai virus flu Spanyol.

Virus flu Spanyol tahun 1918, telah menelan korban 5 juta orang dari 1,7 miliar penduduk dunia, hingga sampai ke wilayah pendudukan Hindia Belanda di Asia Tenggara, dimana sekarang menjadi wilayah Indonesia.

Doa Kebangsaan, dipimpin enam tokoh agama di Indonesia, mewakili Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, yaitu, Prof Quraish Shihab (Islam), Pdt Ronny Mandang (Protestan), Ignatius Kardinal Suharyo (Katolik), Ida Pedanda Nabe Gede Bang Buruan Manuaba (Hindu), Sri Panyavaro Mahatera (Budha), dan Xs Budi S Tanuwibowo (Konghucu).

Diplomat Arab

Doa Kebangsaan di Indonesia, dan saat bersamaan digelar di seluruh dunia, awalnya tidak terlepas dari peran strategis seorang diplomat berkebangsaan Arab, menjadi salah satu arsitek, terjalinnya komunikasi politik positif antara Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatikan, dengan kalangan Dunia Islam di Timur Tengah, pada pertemuan bersejarah di Abu Dhabi, Ibu Kota Negara Uni Emirate Arab (UEA), Senin, 4 Februari 2019.

Namanya, Mgr Yoannis Lahzi Gaid, Sekretaris Pribadi II dari Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatikan. Yoannis Lahzi Gaid mendampingi Paus Fransiskus, dalam lawatan di wilayah Timur Tengah selama tiga hari, 3 – 5 Februari 2019.

Berkat jasanya merancang pertemuan bersejarah Paus Fransiskus dengan kalangan Dunia Islam di Timur Tengah, Yoannis Lahzi Gaid dianugerahi penghargaan Order of Zayed II Kelas Pertama oleh Presiden Uni Emirat Arab (UEA), Khalifa bin Zayed Al Nahyan.

Penghargaan dari Presiden UEA, Khalifa bin Sayet Al Nahyan, diserahkan Putera Mahkota Sheikh Mohamed bin Zayed selama kunjungan Paus Fransiskus di UEA, 3 – 5 Februari 2019.

Sheikh Mohamed seperti diberitakan The National, Jumat, 7 Februari 2019, mengapresiasi peran yang dimainkan Mgr Yoannis Lahzi Gaid, sebagai Sekretaris Pribadi Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatikan, dalam mempromosikan kebudayaan dan nilai persaudaraan, harmoni dan hidup bersama di antara manusia.

Melalui akun Twitter-nya, Mohamed bin Zayed, Putera Mahhota Presiden UEA, menulis: Mohamed bin Zayed presents the Order of Zayed II, bestowed by the UAE President, to Monsignor Yoannis Lahzi Gaid, the Pope’s second personal secretary, in recognition of his efforts to ensure that followers of different religions live together in peace.

(Mohamed bin Zayed mempersembahkan Ordo Zayed II, yang diberikan oleh Presiden UEA, kepada Monsinyur Yoannis Lahzi Gaid, Sekretaris Pribadi Kedua Paus, sebagai pengakuan atas upayanya untuk memastikan bahwa para pengikut berbagai agama hidup bersama dalam damai).

Kepada The National, Yoannis Lahzi Gaid mengungkapkan kegembiraan atas penghargaan yang diterimanya dan memuji peran UEA dalam menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan di antara agama yang berbedad-beda untuk mempromosikan kebaikan, kerja sama, saling membantu dan menerima satu sama lain.

Wabah penyakit menular yang melanda seluruh dunia di akhir tahun 2019 dan diprediksi baru akan mereda sekitar Juni – Agustus 2020, menumbuhkan persaudaraan segenap umat manusia tanpa sekat.

Ini bertolak belakang dengan insiden beberapa tahun terakhir, dimana aksi kekerasan dan terorisme berbalut agama, melanda di sejumlah negara, terutama di wilayah yang kaya akan sumber daya alam.

Ironisnya, konflik selalu terjadi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan melahirkan organisasi teroris paling menakutkan, di antaranya The Islamic of Iraq and Syria State (ISIS), dimana di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina, bermetamorfosa menjadi beberapa organisasi teroris.

Proksi peralat Islam

Mencermati perkembangan global, harus diakui, dengan pertimbangan apapun, konflik yang muncul ke permukaan, selalu bermuara kepada perebutan sumberdaya alam dari negara-negara maju di negara yang tengah berkembang (baca, Robert D. Schulzinger: 1989).

Karena di wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, selalu berada di negara yang sedangkan berkembang dan penduduknya mayoritas beragama Islam.

Antar masyarakatnya diadu-domba, supaya kehilangan momentum di dalam membangun, sehingga dimunculkan berbagai organisasi teroris berbalutkan agama.

Simak decentructing the Syrian War, diterjemahkan Nita H., dari Indononesia Center for Middle East Studies (Pusat Studi Indonesia Tentang Timur Tengah), sebagaimana diungkap di https://ic-mes.org/politics/catatan-harian-warga-as-kelompok-teroris-adalah sekutu-kita/.

Di situ, disebutkan, operasi intelijen di bawah kendali Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS), selalu menciptakan instabilitas keamanan di dalam sebuah kawasan, termasuk menciptakan instabilitas keamanan di Indonesia, semata-mata demi kepentingan ekonomi.

Dirilis, “Kelompok teror atas nama Islam adalah alat yang hebat untuk digunakan dalam perang proksi (perang dengan menggunakan kaki-tangan pihak lain). Mereka dengan biaya sedikit mau berperang tanpa rasa takut.”

“Mereka adalah sumber daya global yang dapat dibawa ke dalam konflik lokal manapun. Mereka juga dapat dibuang. Kita dapat menggunakan mereka bila diperlukan, dan membunuh mereka bila tak diperlukan.”

“Di Asia, kita harus mendukung Thailand, Indonesia, dan Philipina. Tanpa mereka kita akan banyak kehilangan Asia dari China. Hukum Syariah dan Salafisme telah mendapat momentum di Indonesia, dimana ini adalah tanda yang positif.”

Disebutkan, AS dan Israel, selalu memanfaatkan kelompok radikal Islam di dalam memperoleh sumberdaya alam berupa minyak bumi dengan harga murah di Timur Tengah.

Di antaranya dalam memperoleh sumber daya alam murah di Suriah, Israel dan AS, berpihak kepada pemberontak ISIS, tapi Federasi Rusia (ada Iran di dalamnya) berpihak kepada Presiden Suriah, Bashar al-Assad.

Sosok kelembagaan Agama Islam, dalam konteks yang lebih luas dikritisi sendiri dari Wakil Presiden Republik Indonesia, K.H. Ma’aruf Amin.

Diilustrasikan, Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, menjadi sulit berkembang, menurut Ma’aruf Amin, karena sebagian besar umat masih konservatif dalam menerapkan ajaran agama di kehidupan sehari-hari.

Cara berpikir konservatif menjadi salah satu penyebab mengapa negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim masih tergolong underdevelopment country dan mengalami ketertinggalan dalam ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Cara berpikir tersebut semakin berkembang akhir-akhir ini di Indonesia, khususnya ketika muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berpikir bahwa kemurnian Islam harus dibangun dengan cara tekstualis.

Cara berpikir seperti itu memang sudah mulai berkembang akhir-akhir ini, ketika isu kemurnian Islam harus dibangun dengan kemudian kita mengalami kemunduran berpikir dan mengarah pada cara pikir yang sangat tekstual (baca, rmco.id, Minggu, 10 Mei 2020).

Kelompok konservatif, menurut Wakil Presiden Republik Indonesia, K.H. Ma’aruf Amin, biasanya menolak adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka menganggap, perkembangan itu tidak sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran agama Islam secara tekstual.

Padahal, pemahaman secara tekstual dan konservatif itu tidak sesuai dengan salah satu Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW).

Cara berpikir konservatif menghambat upaya-upaya dalam mewujudkan peradaban Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, kata Pemerintah Republik Indonesia, pola pikir moderat harus ditanamkan dan dikembangkan di negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Cara berpikir konservatif seperti itu menghambat dan kontraproduktif terhadap upaya membangun kembali peradaban Islam. Oleh karena itu, cara berpikir wasathi dapat menjadi pijakan untuk membangun kembali peradaban Islam yang kuat (rmco.id, Minggu, 10 Mei 2020).

Bahaya latens agama

Aksi radikalisme yang terjadi di sejumlah negara mayoritas beragama Islam, termasuk di Indonesia, memunculkan bahaya latens agama yang sangat mendiskreditkan salah satu agama samawi.

Ini sebagai akibat dari kita yang akhirnya secara tidak sadar terjebak menciptakan bahaya latens agama itu sendiri, karena terlalu melihat dan berpatokan bahwa agama sebagai sebuah lembaga. Kita selama ini belajar agama terlalu kontekstual, hitam-putih, dangkal.

Pendidikan agama yang dangkal membuat kita menjadi sangat mudah mabuk agama. Kita mudah mengedepankan kesalehan individu, dengan hanya melihat diri dan kelompoknya saja yang paling benar, dan kelompok lain dijadikan musuh yang harus dibasmi.

Padahal tujuan utama belajar agama, adalah supaya setiap pribadi manusia memiliki kesalehan sosial, dengan menghargai keberagaman, perbedaan, dan kelompok lain sebagai saudara yang harus dihormati dan dilindungi.

Filsuf berkebangsaan Indonesia, Dr Reza Alexander Antonius Wattimena atau Reza A.A. Wattimena (2019), mengatakan, belajar agama pada dasarnya, soal nilai-nilai kehidupan, sekaligus jalan untuk mencapai kedamaian di dalam hati, dan di dalam hidup bersama. Kita tampak lupa akan hal ini.

Mendengar kata agama, orang Indonesia langsung terganga. Agama dikira suci. Segala sesuatu yang berbau agama langsung dianggap baik. Padahal, kenyataan bicara berbeda.

Agama adalah organisasi. Agama adalah institusi. Manusia yang membuatnya. Begitu banyak politik kekuasaan, korupsi, diskriminasi dan nepotisme muncul di dalamnya.

Di Indonesia, ada partai politik yang secara jelas-jelas berlabelkan agama. Tapi doktrin agama yang diaplikasikannya, semata-mata demi tujuan politis pragmatis. Sama sekali kurang mengedepankan nilai-niali kemanusian di dalam mencapai visi dan misinya.

Kesalahan berpikir dan bertindak kita, dengan memperalat agama demi mencapai tujuan politik, justru seringkali disebarkan lewat pendidikan. Agama terjebak di dalam formalisme. Ia hanya mengajarkan kulit. Inti terdalam agama hampir tidak tersentuh.

Ini adalah kesalahan yang amat berbahaya. Agama lalu tidak lagi menjadi pencipta perdamaian, tetapi perpecahan dan konflik. Agama menjadi sumber kebodohan dan keterbelakangan. Ia justru menjadi musuh utama kemanusiaan.

Reza A.A. Wattimena (2019), mengatakan, ada tujuh hal yang kiranya penting untuk diperhatikan dalam pendidikan agama. Pertama, pendidikan agama menjadi berbahaya, ketika ia hanya mengajarkan hafalan mutlak. Tidak ada pengertian dan pengembangan akal sehat.

Tak ada sikap kritis. Dua, agama juga menjadi berbahaya, ketika ia diajarkan tanpa akal sehat. Logika berpikir menjadi cacat. Orang mudah dibodohi dan diprovokasi untuk menyebarkan kebencian. Inilah akar dari segala bentuk radikalisme agama di abad 21 ini.

Tiga, agama juga menjadi ancaman, ketika ia mengembangkan kesombongan religius. Orang lalu percaya buta, tanpa dasar, bahwa agamanyalah yang paling benar. Tidak ada argumen. Tidak ada penjelasan. Hanya kepercayaan buta yang dibungkus kesombongan kosong.

Empat, pendidikan agama itu berbahaya, ketika ia tidak mengenal kemanusiaan. Kemanusiaan, cinta dan perdamaian haruslah menjadi nilai tertinggi kehidupan. Agama harus mencerminkan ketiga nilai utama itu. Jika tidak, agama justru menjadi sumber kebencian, kemarahan dan perang.

Lima, kesombongan religius, dan minimnya rasa kemanusiaan, juga akan membuat pendidikan agama menjadi berbahaya. Diskriminasi atas nama agama akan tercipta. Manusia dipisahkan atas dasar agama. Tinggal selangkah lagi, konflik berdarah akan menjadi nyata.

Enam, pendidikan agama akan menjadi berbahaya, ketika ia digunakan untuk membenarkan kemalasan berpikir. Sikap kritis dianggap murtad. Daya analisis dianggap melawan kesucian. Agama pun justru menjadi alat untuk memperbodoh manusia.

Tujuh, agama juga menjadi berbahaya, ketika ia diajarkan sebagai pembenaran untuk memecah belah. Agama digunakan sebagai dasar untuk menindas orang lain.

Sikap diskriminatif lalu dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Jika ini yang terjadi, agama justru menjadi penghambat kemanjuan peradaban, dan penyebar penderitaan di dunia.

Spiritualitas agama

Reza A.A. Wattimena (2019), menuturkan, agama kiranya perlu memperhatikan tiga hal berikut. Pertama, agama adalah soal nilai kehidupan, sekaligus soal perubahan dari dalam diri ke arah kedamaian dan keterbukaan.

Agama sama sekali tidak terkait dengan hafalan buta. Agama juga bukan soal ketaatan ataupun kepercayaan buta pada ajaran yang sudah tak sesuai dengan perubahan jaman.

Dua, pendidikan agama harus mengembangkan akal sehat dan sikap kritis. Beriman harus menggunakan logika dan akal sehat. Pertanyaan dan daya analisis harus berkembang sejalan dengan perkembangan hidup beragama seseorang. Rasa ingin tahu dipupuk dengan dorongan untuk mencari lebih dalam. Pendidikan agama harus terlibat di dalam pendidikan manusia yang seutuhnya.

Tiga, pendidikan agama juga harus mendorong orang menjadi spiritual. Artinya, ia menjadi manusia yang melampaui batas-batas tradisi, agama, suku dan ras. Manusia spiritual adalah manusia semesta.

Dengan pola pendidikan ini, semua konflik yang berpijak pada identitas sempit juga akan lenyap. Pendidikan agama semacam ini adalah pendidikan agama yang membebaskan manusia dari kebodohan, sikap diskriminatif dan penderitaan.

Peserta didik akan berbinar-binar, ketika waktunya belajar agama. Ia akan merasa bahagia, dan utuh sebagai manusia. Ia akan mencintai agamanya sama seperti ia mencintai kehidupan itu sendiri.

Pendidikan agama, mestinya menekankan pada spiritualitas berupa pemahaman orang akan jati dirinya sejatinya, sebelum semua identitas sosial muncul.

Menjadi manusia spiritual berarti menjadi manusia universal. Ajaran berbagai agama dipelajari, namun orang tidak terjebak di dalam salah satunya. Manusia spiritual adalah manusia semesta.

Manusia melihat dirinya sebagai warga semesta yang melintasi semua batas-batas buatan manusia (seperti negara, etnis, ras, dan agama). Moralitasnya bukan sekumpulan hukum yang tidak lagi cocok dengan jaman, melainkan nurani. Baik dan buruk selalu menyesuaikan dengan keadaan di sini dan saat ini.

Manusia spiritual juga melihat alam sebagai bagian dari dirinya. Ia tak akan melakukan hal-hal yang merusak alam. Moralitas hijau (yang berpihak pada kelestarian biodiversitas kehidupan) selalu menjadi bagian dari nurani alamiahnya.

Hidup seseorang amat tergantung pada cara pandangnya. Cara pandang seseorang amat tergantung pada identitasnya. Jika identitasnya sempit, maka cara pandangnya juga sempit. Hidupnya pun juga sempit.

Sebaliknya, manusia spiritual adalah manusia semesta. Identitasnya seluas semesta. Cara pandangnya seluas semesta. Hidupnya pun, dengan demikian, seluas semesta.

Kemunafikan terjadi, ketika orang hanya menjadi orang beragama. Ia tak paham dan tidak menghayati ajaran agamanya. Hidupnya sempit dan korup. Ia hanya mengabdi kekuasaan buta, dan menggunakan agama untuk mencapai itu.

Menurut Reza A.A. Wattimena (2019), di Indonesia, menjadi manusia religius sebenarnya cukup. Orang sungguh menghayati ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari. Namun, orang semacam ini belum menyentuh dimensi terdalam kehidupan.

Spiritualitas sudah mengetuk, namun pintu belum dibuka olehnya. Indonesia, butuh manusia-manusia spiritual. Mereka harus menjadi pemimpin politik sekaligus ekonomi. Mereka harus menjadi tokoh masyarakat. Hanya dengan begitu, perdamaian di dunia yang semakin majemuk dan kompleks ini mungkin terwujud. (Aju)