Wakil Bupati Sintang, Askiman ketika meninjau ke lapangan perbatasan desa

Sintang Usulkan Konflik Penyelesaian Batas Desa dengan Sumpah Adat

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Pemerintah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, mengusulkan, penentuan konflik batas desa di Desa Bungkong Baru, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, dengan Desa Sunsong, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau, ditentukan dengan sumpah adat.
Hal itu disampaikan Wakil Bupati Sintang, Askiman di Pontianak, Kamis pagi, 28 Mei 2020. Askiman mengatakan hal itu, sehubungan dengan masih berlarut-larutnya permasalahan batas desa, baik di tingkat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat maupun di Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta.
Pada Kamis, 21 Mei 2020, Askiman didampingi staf meninjau kondisi penyegelan terhadap Kantor Desa, Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes) dan Gedung Serbaguna di Desa Bungkong Baru.
“Jumat, 22 Mei 2020, masyarakat melaporkan penyegelan yang patut diduga dilakukan oknum Kepala Desa di Kecamatau Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau ke Polisi Resort Sintang. Oknum tersebut sudah dua kali dipanggil Polisi Resort Sintang, tapi tetap tidak berani datang. Tentu Polisi punya mekanisme sendiri untuk melakukan penegakan hukum,” kata Askiman.
Dijelaskan Askiman, sumpah adat sesuai religi Dayak, tentu agak aneh bagi sementara orang yang tidak paham akan anthropologi budaya, dan sejarah disusunnya dari sebuah produk hukum negara. Tapi sumpah adat, itu bagian dari hukum adat. Hukum adat di Indonesia, sesuai terminologi hukum, adalah sumber dari segala sumber hukum negara.
Sebelum negara Indonesia lahir, hukum adat, termasuk hukum adat Dayak, diberlakukan di Indonesia. Saat kolonial Belanda, Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya berjudul: “Het Adatrecht van Nederlandch-Indie”, wilayah hukum adat di Hindia Belanda (Indonesia), dibagi menjadi 19 wilayah, termasuk di wilayah hukum adat Suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Kedudukan hukum adat, termasuk di dalam aplikasinya yaitu sumpah adat, dalam takaran tertentu mengisi ruang kosong di dalam hukum negara, sehingga antara keduanya saling mengisi satu sama lain. Aplikasi dari hukum negara tidak boleh mengesampingkan filosofi yang ada di dalam hukum adat.
Makna dari penerapan hukum adat, agar di dalam melihat sebuah persoalan hukum, tidak boleh semata-mata mengedepankan kebenaran formal (hitam putih, tex book), tapi harus pula memperhitungkan kebenaran materiil (sejarah, adat istiadat, hatinurani, kesaksian masyarakat yang berlangsung secara turun-temurun di wilayah itu).
Di dalam negara hukum keberadaan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Sebagaimana dikutip Prof Dr Jimly Asshiddiqie (ahli hukum Universitas Indonesia) dari Wolfgang Friedman dalam bukunya, ―Law in a Changing Society membedakan antara organized public power (the rule of law dalam arti formil), dengan the rule of just law (the rule of law dalam arti materil).
Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif. Di sinilah peran hukum adat dibutuhkan.
“Jelas-jelas, sesuai kesaksian masyarakat yang hidup secara turun-temurun, wilayah Desa Sunsong, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau, merangsek masuk ke wilayah Kabupaten Sintang sejauh empat kilometer,” ujar Askiman.
Dikatakan Askiman, batas Kecamatan Sekadau Hilir dan Kecamatan Sepauk di Kabupaten Sintang, berada di Natai Keladan. Kesepakatan masyarakat mulai jaman peradabannya dulu Natai Keladan itu terhadap dua hulu sungai berjarak sekitar 20 meter.
Antara sungai yang mengalir ke Sungai Sepauk dan sungai yang mengalir ke Sungai Sekadau. Kejadian ini masyarakat di Kecamatan Sekadau Hulu di Desa Biaban menumpang berladang di wilayah Kabupaten Sintang.
Akhirnya Pemerintah Kabupaten Sekadau membentuk desa baru yang namanya Desa Sunsong di dalam wilayah administratif Kabupaten Sintang. Jadi penduduknya, pemilik Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Sekadau, tapi bermukim di wilayah Kabupaten Sintang.Desanya desa di Kabupaten Sekadau, tapi wilayah yang didiami masuk di wilayah Kabupaten Sintang.
“Desa Sunsong itu, masuk ke  wilayah Kabupaten Sintang sejauh empat kilometer dari tapal batas Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau. Ini sebabnya, sebetulnya sejarah pembentukan Kabupaten Sunsong di Kabupaten Sekadau, tidak memenuhi syarat, karena punya penduduk, tapi tidak punya wilayah,” ungkap Askiman.
Dituturkan Askiman, Pembentukan Desa Sunsong dilakukan Pemerintah Kabupaten Sekadau tahun 2011 dan tahun 2011 itu juga Pemerintah Kabupaten Sintang, membentuk Desa Bungkong.
Waktu pengajuan nomor registrasi di Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, hanya meneruskan usulan Desa Sunsong dari Kabupaten Sekadau. Sedangkan untuk Desa Bungkong tidak diteruskan karena alasan sengketa. Padahal Desa Sunsong juga dalam status sengketa.
“Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, kesannya kurang bersifat adil di dalam menyelesaian konflik batas desa ini. Dalam penyelesaian tidak tingkat Provinsi Kalimantan Barat, tidak diterima, sehingga dilanjutkan ke tim penegasan batas daerah di Direktorat Jenderal Administrasi dan Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, dan sampai sekarang belum ada keputusan,” ujar Askiman.
Djelaskan Askiman, Pemerintah Kabupaten Sintang saat itu menyetujui jika keduanya dibagi kewilayahannya di jembatan antara kedua desa itu. Tapi sekarang dengan tinjauan Pemerintah Kabupaten Sintang ke lapangan, ternyata benar bahwa Desa Sunsong masuk ke wilayah Kabupaten Sintang sejauh empat kilometer dari tapal batas.
Makanya dari itu, lanjut Askiman, tidak sejengkalpun batas wilayah Kabupaten Sintang akan diserahkan kepada Kabupaten Sekadau. Pemerintah Kabupaten Sintang, berharap Desa Sunsong bergeser dari wilayah administrasi Kabupaten Sintang.
Biro Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, ujar Askiman, harus bersifat adil, jangan memihak. Karena waktu itu tim penegasan batas melakukan peninjauan lapangan, Pemerintah Kabupaten Sintang dan Pemerintah Kabupaten Sekadau, diberitahu agar Pimpinan Daerah tidak perlu ikut turun ke lapangan, untuk dipercayakan kepada Tim Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang menyelesaikannya.
“Tapi Tim Penegasan Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat turun dan bermalam di Kabupaten Sekadau. Saat dilakukan peninjauan di lapangan, Tim Pemerintah Kabupaten Sekadau, diajak serta turun ke lapangan. Pemerintah Kabupaten Sintang, tidak diajak. Ini bentuk ketidakadilan,” ujar Askiman.
Diungkapkan Askiman, karena sengketa batas desa terjadi di kalangan sesama masyarakat Suku Dayak, maka penyelesaiannya lebih baik, sesuai dengan religi Dayak, yaitu hukum adat, melalui sumpah adat.
Masyarakat Suku Dayak menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan Asia dimaksud, membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Faktor pembentuk karakter dari jatidiri manusia Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi Dayak dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.
Di sini tergambar jelas, praktik kebohongan dan manipulasi, sangat dilarang di dalam aplikasi doktrin religi Dayak.di Indonesia, aplikasi doktrin religi dari berbagai suku bangsa, sebagai filosofi etika berperilaku, karena ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk disarikan dari kebudayaan Suku Dayak, dimana ada sistem religi di dalamnya.
Dikatakan Askiman, kalau kita bicara masalah bagaimana manusia Dayak beradat, bagaimana manusia Dayak harus beradat, tentu secara otomatis kita bicara masalah konsekuensi aplikasi di dalam doktrin teligi Dayak, dimana di dalamnya ada nilai-nilai universal terkandung di dalam legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat.
“Inilah filosofi yang melatarbelakangi kami dari Pemerintah Kabupaten Sintang, mengusulkan sebaiknya penyelesaian tapal batas antara Desa Sungkong Baru, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang dengan Desa Sunsong, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau, sebaiknya melalui sumpah adat Dayak, saja,” kata Askiman. (Aju)