Oleh: Onpemassa
Independensi.com – Pemberantasan korupsi adalah salah satu cara atau “alat” bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya mendirikan NKRI. Sebelum ada KPK, Indonesia sudah memiliki “alat” permanen untuk memberantas korupsi.
Tapi oleh penyelenggara negara era reformasi, lembaga negara penegak hukum yang ada dianggap tidak efektif untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, pada amandemen UU Tipikor tahun 1999, diselipkan satu pasal agenda pembentukan kembaga “ad hoc” yang berfungsi sebagai “triger mechanisme”, di namakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga baru ini mulai berdiri 2002 dan efektif bekerja mulai 2003 silam.
Pertanyaannya : memang ada lembaga negara yang efektif bekerja di era orde baru ? Lalu kenapa hanya lembaga yang menjalankan fungsi pemberantas korupsi aja yang di buat lembaga “ad hoc” nya ya ?
Dalam tulisan di Independen.com berjudul “KPK New Normal, Semoga Bukan Menjadi Peredam Korupsi” baik di lihat dari judulnya maupun isinya masih proporsional dan seimbang, yang memperlihatkan bahwa penulisnya bersikap sebagai pengamat dengan “mata elang” yang menatap objek amatan dari ketinggian awan sebuah bumi yang bundar.
Jadi masih kita temukan “luasnya cakrawala berfikir dari kalimat nya sbb : “…Harus di akui di masa lalu KPK sungguh berwibawa namun sangat menentukan dan menakutkan, tapi mungkin bagi sebagian pihak hampir tak terkendali seolah-olah tergantung arah angin”.
Bagi saya, kalimat yang di kutip di atas, menjadi inti amatan si penulis dan itu sangat tepat, hanya saja dalam struktur kalimat dan pilihan katanya, penulis sangat hati hati, sadar bahwa tulisannya tidak berdasarkan penelitian ilmiah. Jadi hanya bisa bermain di kata-kata plastis dugaan, seperti “mungkin”, “seolah olah”, “hampir”.
Berbeda halnya dengan tulisan kedua yang ditulis Abdul Fickar Hadjar, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi yang intinya “menanggapi” tulisan yang pertama. Si penulis kedua ini tampak telah dengan sadar menempatkan dirinya sebagai pengamat “objek” pada sebuah bidang datar, sehingga posisi sipengamat lah yang menentukan hasil amatannya.
Artinya, kalau pengamat berdiri di kiri, di atas, atau di depan dari objeknya, maka hanya bagian itulah yang berhasil di amati si pengamat dan tidak citra keseluruhan objek.
Karena itu hasil pengamatan si penulis kedua ini sangat tidak proporsional, sehingga isi tulisan sepertinya tendensius menyalahkan semua hal yang melahirkan “KPK New Normal”, dan menyanjung habis kiprah KPK sebelum New Normal. Dan pada akhir tulisannya terasa nada “haters” KPK New Normal dengan menyatakan : “…Pandemi Covid 19 telah membawa dan mengubah wajah baru lembaga penegakan hukum ini mengakhiri sejarah nya sebagai lembaga independent pemberantas korupsi yang di segani di dunia internasional. New Normal KPK sudah menjadi Ilusi baru komitmen anti korupsi…”
Pertanyaan saya kepada penulis kedua ini adalah, mengapa ya KPK sebelum New Normal sangat sibuk membangun citra sebagai lembaga pemberantas korupsi di dunia internasional (yang bukan core bisnisnya), sampai membengkalaikan core bisnisnya sebagai Triger Mechanism pemberantasan korupsi, seperti yg ditengarai oleh penulis pertama : KPK menakutkan, bekerja hampir tak terkendali dan tergantung arah mata angin ???
Kesimpulan dan Penutup.
Bagi saya, di dunia ini tak ada yang abadi. Semua harus rela di uji oleh waktu dan beradaptasi dengan perubahan. KPK juga sama saja, selain karena memang niat mendirikannya sebagai lembaga ad hoc, juga karena terbukti menjadi lembaga yang tidak efektif dan “besar pasak dari tiang”.
Memang bangsa ini sudah seharusnya punya time frame untuk melikuidasi peran dan fungsi lembaga KPK, sehingga bangsa ini tidak abadi dalam ruang IGD korupsi”.
Rumah sakit dan atau dokter (baca : KPK sebelum New Normal) yang terindikasi menginginkan pasiennya abadi di ruang IGD, patut dicurigai malpraktek.
Demikian tanggapan saya. Anda boleh saja tak sependapat dengan saya, tapi jangan rampas hak saya untuk berpendapat dengan membangun stigma “orang yang mengkritik atau menentang KPK pasti Pro Koruptor”.
Penulis adalah pemerhati masalah hukum, tinggal di Jakarta