AMBON (Independensi.com) – Masyarakat yang berada di lokasi pembangunan Kilang Blok Masela sebaiknya tidak menjual tanah, tetapi cukup disewakan atau diikutkan sebagai modal. Dengan pola seperti itu warga tidak akan kehilangan hak atas tanah.
“Pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus berada pada posisi yang melindungi hak atas tanah. Kalau tanah dijual, maka sampai anak cucu akan kehilangan hak. Ini tidak boleh terjadi. Bisa dicarikan solusi, sehingga masyarakat tidak dipaksa untuk melepaskan haknya,” jelas Sosiolog dari Maluku, Dr. Paulus Koritelu di Ambon, Rabu (3/6/2020).
Investor memiliki modal uang, tetapi masyarakat juga memiliki modal berupa tanah, sehingga bisa dicarikan cara kerjasama yang tidak merugikan masyarakat di masa depan.
“Dengan harga berapapun saat ini, tentu tidak akan sebanding dengan kehilangan hak seumur hidup. Di kemudian hari, Ketika masa operasi kilang selesai, kan tanah bisa kembali kepada pemilik,” kata pria yang disapa Poli ini.
Secara pribadi, katanya, dia mengharapkan, agar masyarakat menyadari hal ini, sehingga tidak mudah untuk melepaskan ha katas tanah. Di satu sisi, pemerintah juga harus memastikan masyarakat tidak akan kehilangan hak atas tanah.
“Pemerintah ada untuk mengatur hal-hal yang begini, sehingga masyarakat tidak kehilangan hak dan operasi kilang bisa berjalan. Sekecil apapun, jadikan tanah rakyat itu sebagai saham, misalnya. Jangan sampai modal hanya dilihat sebatas uang,” tegasnya.
Poli mengingatkan, agar jangan menyederhanakan persoalan tanah, karena tanah memiliki arti tersendiri bagi orang Maluku Tenggara. Pertama, tanah sebagai tempat mencari rejeki (ekonomi). Jadi, kalau ada ganti rugi 10 kali lipat sekalipun tidak akan menyelesaikan masalah, karena hal itu berarti masyarakat harus melepaskan hak atas tanah.
Kedua, tanah merupakan identitas kolektif dari komunitas. Jadi, Ketika hak atas tanah dilepaskan, maka itu berarti melepaskan identitas kolektif. Hal ini akan menjadi masalah, karena masyarakat berpotensi kehilangan identitas.
“Kuatnya identuitas kolektif itu bisa kita lihat, kalau ada anggota komunitas yang meninggal di luar daerah, akan diusahakan jenazah dipulangkan ke tanah leluhurnya. Ini karena tanah itu merupakan identitas,” kata Poli.
Ketiga, katanya, tanah merupakan sumber kekuasaan kolektif. Persoalan tanah ini akan dengan mudah menimbulkan konflik, karena tanah menjadi sumber kekuasaan kolektif. “Kalau membuat pagar ada kelebihan satu meter saja, bisa menjadi masalah besar karena tanah itu memiliki arti penting,” tuturnya.
Menurut Poli, sebaiknya investor dan pemerintah tidak membeli tanah rakyat dengan system ganti rugi, karena hal itu tetap berarti mencabut identitas rakyat.
“Kehilangan hak atas tanah itu sama dengan kematian jangka Panjang. Kalau mau hadirkan kesejahteraan rakyat, ya baiknya menggunakan sistem sewa atau kontrak,” katanya.
Dia menjelaskan, tidak boleh terjadi, ekonomi berkembang karena keberadaan kilang, tetapi masyarakat pemilik tanah menjadi penonton, karena tanahnya telah dibeli dan uang bisa saja habis.
“Tapi, kalau diikutkan sebagai modal, tanahnya akan tetap ada sampai kapanpun. Mereka akan menikmati dari pemanfaatan tanahnya sebagai lokasi kilang atau pendukung kilang,” jelasnya.
Menurut Poli, Maluku ini kaya sumber daya, tetapi tidak ada kesejahteraan. Jangan sampai, sumber daya alam ini dimanfaatkan, tapi tidak ada yang memastikan nasib rakyatnya seperti apa di masa depan.
“Pemerintah harus pastikan hak rakyat atas tanah tidak hilang, tetapi tetap lestari,” tegasnya.
Tanah Adat
Tokoh Masyarakat Maluku Tenggara Barat (MTB), Zeth Songupnuan, yang dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya memperoleh informasi kalau Nustual (Pulau Tual) menjadi lokasi kilang gas Masela. Menurutnya, Pulau itu merupakan tanah adat yang dimiliki oleh banyak orang.
“Ada keinginan warga agar Inpex atau pemerintah menggunakan dengan cara kontrak atau sewa, sehingga tidak harus menghilangkan hak. Saya bicara dengan beberapa saudara, saudara kami ingin dengan sistem kontrak,” katanya.
Zeth menyayangkan, informasi mengenai lokasi itu baru diberikan kepada masyarakat, ketika spekulan sudah membeli tanah dengan harga murah.
“Ini berarti informasi lokasi sudah lama bocor, kemudian mereka membeli tanah. Ini pembohongan kepada masyarakat. Kita kan bertanya-tanya, apakah mereka tidak tahu atau mereka kerja sama untuk merugikan pemilik tanah,” katanya.
Menurut Zeth, kalau pemerintah mau gunakan dengan sistem kontrak atau sewa silakan saja dan bisa dibicarakan dengan masyarakat adat di sana.
“Kalau nanti selesai operasi, apakah 50 tahun atau 100 tahun, kan bisa dikembalikan kepada masyarakat,” jelas Zeth.
Dia mengatakan, ketika berkomunikasi dengan beberapa keluarga, memang ada keinginan agar tanah dikontrak atau disewa saja. Selain itu, tanah yang sudah dibeli spekulan, juga tidak akan diizinkan, karena merasa ada ketidakjujuran dalam prosesnya.
“Ada yang sudah jual murah, mereka merasa ditipu dan dibohongi,” katanya.