Oleh Aju
Ritual syukuran selepas panen padi yang disebut Gawai di Provinsi Kalimantan Barat dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, Kaamatan di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, setara dengan Perayaan Natal di kalangan Agama Katolik/Kristen dan Idul Fitri di kalangan Agama Islam, dimana secara harafiah dimaknai sebagai perayaan sukacita.
Apabila Perayaan Natal bagi kalangan Agama Katolik/Kristen sebagai perayaan sukacita atas kelahiran Yesus Kristus, Perayaan Idul Fitri sebagai perayaan kemenangan setelah empat puluh hari berpuasa, maka perayaan syukuran selepas panen padi dengan sebutan berbeda di antara subsuku Dayak, dimaknai sebagai ucapan syukur atas hasil panen padi yang melimpah kepada Yang Maha Kuasa, dengan sebutan berbeda pula di kalangan sub Suku Dayak.
Syukuran selepas panen padi, berupa ritual menghantar padi yang sudah dipanen ke dalam lumbung, diperoleh dari aktifitas perladangan dengan cara bakar, secara anthropologi budaya membuktikan aktifitas berladang merupakan bagian tidak terpisahkan dari aplikasi religi di dalam agama asli Suku Dayak.
Cerita panjang
Gawai dan sebutan lainnya adalah bagian tidak terpisah dari peribadatan di dalam religi (agama Dayak). Bicara gawai, artinya bicara salah satu jenis peribadatan di dalam agama asli Suku Dayak, dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak.
Istilah Gawai memiliki cerita panjang. Gawai lebih dikenal, karena faktor pendekatan secara militer di Provinsi Kalimantan Barat pasca penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) di perbatasan dan pedalaman Provinsi Kalimantan Barat, 1966 – 1974.
PGRS/Paraku, adalah para militer seperti pasukan merah karena berpakaian ikat kepala merah, dengan berbagai aksesori di sekujur tubuh, sebuah pasukan sebagian besar beranggotakan orang Tionghoa dan orang Dayak dari Sarawak.
Pasukan PGRS/Paraku yang dibekali persenjataan standar militer, digunakan Presiden Indonesia, Soekarno, selama berperang melawan Federasi Malaysia, 1963 – 1966, sebagai bentuk protes dari Indonesia lantaran Sabah dan Sarawak yang sedianya dipersiapkan jadi dua negara berdiri sendiri, secara sepihak oleh Inggris digabungkan ke dalam Federasi Malaysia, 16 Septemer 1963.
Setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia, melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965 berupa kudeta Panglima Komando Pasukan Cadangan Strategis (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto kepada Presiden Soekarno dibiayai Central Inteligence Agency Amerika Serikat, CIA AS (John Roosa: 2007 dan 2020), keberadaan PGRS/Paraku ditumpas secara militer di Indonesia karena tidak mau menyerahkan diri pasca Indonesia Malaysia menandatangani berhenti berperang di Jakarta, 11 Agustus 1966.
Pada tahun 1972, muncul kesadaran kolektif di kalangan Pemerintah di Indonesia, terutama dari Gubernur Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal TNI Kadarusno, tanpa dibekali pengetahuan akan anthropologi budaya yang memadai, masyarakat Suku Dayak harus maju dalam peradabannya, guna mengejar ketertinggalan dengan etnis lainnya di Kalimantan.
Ini pula sebagai bentuk ucapan terimakasih Pemerintah Indonesia kepada orang Dayak, karena telah membantu militer Indonesia turut serta menumpas PGRS/Paraku, sebagaimana ucapan terimakasih secara terbuka Presiden Indonesia, Soeharto di dalam pidato kenegaraan di Jakarta, 16 Agustus 1968 malam.
Ucapan terimakasih disampaikan Presiden Indonesia, Soeharto di Jakarta, 16 Agustus 1968, karena Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, sukses memperalat Suku Dayak menggelar demonstrasi berupa pengusiran dan pembunuhan ribuan etnis Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan, September – Desember 1967, sehingga kekuatan PGRS/Paraku terus melemah (Tanjungpura Berjuang: 1971; Aju: 2020).
Penumpasan PGRS/Paraku dinyatakan berakhir, setelah salah satu aktornya bernama Syarif Achmad Sofjan, ditembak mati Tim Kala Hitam Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Dara t(RPKAD) dipimpin Letnan Satu Johanes Sudijono di Sungai Kelabau, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, 12 Januari 1974 (A.M. Hendropriyono: 2013; Aju: 2017).
Tahun 1972, Gubernur Kalimantan Barat, Kadarusno, kemudian mengeluarkan surat keputusan berupa penetapan setiap tanggal 20 Mei sebagai Hari Gawai, berupa ritual syukuran selepas panen padi.
Gubernur Kadarusno, memaknai penetapan Hari Gawai setiap tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Pendidikan di Indonesia, sebagai Hari Kebangkitan bagi orang Dayak dari ketertinggalan di dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan positif, didasarkan sudut pandang orang luar.
Penetapan istilah Gawai, itu, karena Gubernur Kalimantan Barat, Karadusno, sangat dekat dengan kalangan Suku Dayak Iban. Bahkan selama operasi penumpasan PGRS/Paraku, Kadarusno, memperistri seorang perempuan dari Suku Dayak Iban di wilayah perbatasan Kabupaten Sintang.
Bukit Banawai
Nama Komando Resort Militer (Korem) 121/Alam Bana Wanawai (ABW), sebuah struktur komando di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat bermarkas di Sintang, diambil dari nama Bukit Banawai di pehuluan Sungai Ketungau, Kabupaten Sintang.
Disebut Korem 121/Alam Bana Wanawai, bermarkas di Sintang, mengilustrasikan keindahan alam di kaki Bukit Banawai di pehuluan Sungai Ketungau yang dihuni perempuan-perempuan Suku Dayak Iban yang cantik, hidung mancung, kulit putih bersih, senyum ramah yang menggoda, dimana salah satunya dijadikan istri oleh Kadarusno.
Kadarusno merupakan Komandan Korem 121/Alam Bana Wanawai pertama di dalam sejarah Komando Daerah Militer (Kodam) XII/Tanjungpura di Pontianak sebagai bagian dari struktur Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Aju & Zainuddin Isman: 2013).
Saat menjadi Komandan Korem 121/Alam Bana Wanawai, Kadarusno menyandang pangkat kolonel dan saat menjadi Gubernur Kalimantan Barat, 1972 – 1977, naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Dalam perkembangannya, istilah Gawai, disebut dengan istilah Naiki Dango di kalangan Suku Dayak Kanayatn, Barape Sawa’ di kalangan Suku Dayak Bakatik di Provinsi Kalimantan Barat, Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, Kaamatan di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, serta sebutan berbeda pada masing-masing sub Suku Dayak.
Situs pemukiman dan pemujaan
Anthropologi Sekolah Tinggi Agama Katolik (STAKat) Negeri Pontianak, Dr Ir Kristianus Atok, M.Si, menyebut, berladang dengan cara bakar, bagian tidak terpisahkan di dalam religi Suku Dayak.
Menurut Kristianus Atok, sebagian besar jenis ritual di dalam religi Suku Dayak digelar selama tahapan perladangan, mulai dari ritual minta izin buka ladang, menebas, menebang, bakar, menugal, merumput, memanen dan acara puncaknya, yaitu ritual syukuran selepas panen padi yang disebut Gawai atau Isen Mulang atau Kaamatan, dan sebutan lainnya.
Berladang dengan cara bakar, menurut Kristianus Atok, orang Dayak membangun jaringan infrastruktur kebudayaannya. Berladang dengan cara bakar, merupakan konsep konservasi, karena di ladang ditanam puluhan jenis tanaman padi, jenis sayur-sayuran,dan tanaman buah-buahan yang masuk kategori tanaman tahunan.
Karena itulah, apabila masih terjadi praktik kriminalisasi terhadap petani Dayak karena buka ladang dengan cara bakar, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak azasi manusia, karena sama saja dengan melarang orang Dayak melakukan salah satu jenis peribadatan di dalam agama asli Suku Dayak.
Sekretaris Jenderal Dayak International Organization Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengingatkan Presiden Republik Indonesia, selagi teknologi inovasi tepat-guna berbiaya murah belum ditemukan dalam buka ladang tidak dengan cara dibakar, supaya memperhitungkan dampak sosial yang lebih luas, jika masih dilakukan kriminalisasi terhadap petani Dayak, karena berladang dengan cara bakar, bagi orang Dayak bagian dari aplikasi peribadatannya.
Menurut Yulius Yohanes, alasan di balik kriminalisasi terhadap peladang Dayak buka ladang dengan cara bakar, lantaran menimbulkan kabut asap, sangat tidak tepat, bukti aparat Pemerintah Indonesia tidak memahami anthropologi budaya Suku Dayak, karena aktifitas ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun silam, sementara penyebab kabut asap setiap kali musim kemarau, adalah kebakaran lahan milik perusahaan perkebunan berskala besar, serta pemanfaatan lahan gambut menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi yang mengabaikan aspek keseimbangan ekosistem.
Dikatakan Yulius Yohanes, memperhatikan pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan, supaya upaya pemajuan kebudayaan tidak memicu pertikaian dan penindasan yang mengancam keragaman masyarakat, yang merupakan identitas bangsa Indonesia, maka masyarakat Suku Dayak, untuk tidak dipaksakan bertani menanam padi sawah baru di Pulau Kalimantan, karena bukan bagian dari Kebudayaan Dayak.
“Masyarakat Suku Dayak membutuhkan sistem pengairan atau tata kelola air yang cocok dengan Kebudayaan Suku Dayak di dalam bercocok tanam padi,” ujar Yulius Yohanes.
Yulius Yohanes mengatakan, belajar dari langkah Pemerintah Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, melakukan kerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di dalam pengembangan varietas unggul padi gunung, dimana hasilnya cukup memuaskan, maka program ini agar dapat diakselerasi secara lebih luas karena cocok dengan Kebudayaan Suku Dayak, sebagaimana langkah serupa sudah diterapkan di kalangan petani penanam varietas padi gunung di lahan kering di Kamboja, Vietnam dan Thailand.
Yulius Yohanes mendesak Presiden Republik Indonesia, supaya kawasan situs pemukiman dan situs pemujaan yang sudah terlanjur beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi non-koservasi sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang: Kehutanan, maka setelah habis izin usahanya atau habis satu siklus tanam, supaya segera dikembalikan kepada masyarakat Suku Dayak setempat.
Ini, lanjut Yulius Yohanes, sebagai implementasi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, serta sebagai upaya mendukung Program Heart of Borneo (HoB) Indonesia Malaysia, Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007. Situs pemukiman dan situs pemujaan di dalam religi Dayak, merupakan kawasan sakral dan suci.
Protokol Tumbang Anoi 2019
Itulah sebabnya di dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019, di antaranya menuntut pemberlakukan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan.
Tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan, sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara dari Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana diumumkan Presiden Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.
Tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Dayak di Kalimantan, legal standing-nya pasal 18B, pasal 28l ayat (3), dan pasal 32 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B, berbunyi, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28l ayat (3), berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.’’
Pasal 32 ayat (1), berbunyi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, dimana di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah dalam Tahun Anggaran 2020.
Inilah makna yang terkandung di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tanggal 7 Nopember 2017, berupa pengakuan terhadap aliran kepercayaan, dimana dimaknai pula pengakuan terhadap eksistensi agama asli dari berbagai suku banga di Indonesia, dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari berbagai suku banga di Indonesia.
Suku Dayak, sebagai bagian integral dari masyarakat di Benua Asia, mengajut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, telah membentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Faktor pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, lahir dari sistem religi bersumber doktrin legena suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban (*).
Aju, Wartawan, dan Dividi Pelayanan Publik Data dan Informasi Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) di Pontianak.