JAKARTA (IndependensI.com) – PT Bahana TCW Investment Management berharap adanya percepatan realisasi belanja pemerintah pada semester dua. Hal ini bertujuan untuk mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi COVID-19 sekaligus meningkatkan kredibilitas kebijakan stimulus pemerintah terutama bagi investor asing.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan defisit anggaran hingga akhir Mei sebesar Rp 179,6 triliun, setara dengan 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, target defisit Pemerintah direncanakan mencapai 6,3% dari PDB. Realisasi belanja negara baru mencapai Rp 843,9 triliun dari total target Anggaran Belanja Negara (APBN) sesuai Perpres 72/2020 sebesar Rp 2.739,16 triliun. Realisasi itu minus 1,4% dibanding setahun silam.
Secara rinci, total anggaran perlindungan sosial yang sudah didistribusikan pemerintah mencapai 34,1% dari total anggaran. Sementara, realisasi anggaran kesehatan hanya sekitar 4,68% dari total pagu anggaran Rp 87,55 triliun. Rendahnya realisasi anggaran kesehatan ini disebabkan adanya kendala teknis seperti keterlambatan pengajuan klaim, verifikasi tenaga kesehatan dan kendala administrasi lainnya.
Belum optimalnya realisasi anggaran belanja ini mengakibatkan pertumbuhan uang beredar (M1 growth), sebagai acuan daya beli secara moneter, Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lainnya. Pertumbuhan M1 Indonesia pada Mei 2020 tumbuh 9,65% dibanding setahun lalu. Memang lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata sebesar 5%.
Namun, pertumbuhan ini tak menonjol dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat 33%, Uni Eropa 12%, Brazil 32%, India 17% dan Turki 83%. Bahkan, negara tetangga seperti Filipina melaju dengan 26%. Budi menilai pertumbuhan daya beli melalui insentif fiskal ini sangat penting untuk mengkompensasi pelemahan daya beli yang selama ini berasal dari peningkatan harga komoditas primer. Selama tahun berjalan, harga komoditas CPO, batu-bara dan karet anjlok sekitar 23%.
Salah satu anak perusahaan Holding Perasuransian dan Penjaminan ini menambahkan, perlambatan pertumbuhan M1 berisiko menahan pertumbuhan kredit yang sangat penting agar pertumbuhan ekonomi lebih gesit. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei menunjukkan, pertumbuhan kredit hanya tumbuh 3,04% yoy. Ini angka terendah sejak 1998.
“Di saat masyarakat kesulitan finansial dan lemahnya keberanian perbankan memacu kredit, sangat dibutuhkan kebijakan counter-cycle Pemerintah melalui beragam stimulus fiskal dan moneter. Kami menghitung dampak moneter stimulus antisipatif pemerintah tahun ini sekitar Rp 1.160 triliun. Jadi kami berharap pemerintah bisa segera mengoptimalkan realisasi belanja negara di semester dua,” ungkap Budi Hikmat, Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management dikutip dalam siaran pers, Senin (6/7).
Budi menilai realisasi stimulus yang lebih cepat dan efektif merupakan katalis penting bagi pasar modal hingga akhir tahun. [Chs]