Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Letnan Jenderal TNI Dr dr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad.(K)

PKI, Kadrun, dan Menteri Kesehatan Terawan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Letnan Jenderal TNI Dr dr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad.(K), kelahiran Sitisewu, Yogyakarta, 5 Agustus 1964, menjadi sorotan luas, setelah beredarnya video rekaman Sidang Kabinet di Jakarta, Kamis, 18 Juni 2020, tapi baru dirilis Biro Pers Sekretariat Negara, Minggu, 28 Juli 2020.

Di dalam video rekamanan, terungkap Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengancam akan melakukan resuffle kabinet. Di antaranya Menteri Kesehatan, Terawan A Putranto, karena serapan anggaran yang masih sangat rendah, selama penanganan Corona Virus Disease-19 (Covid-19)

Kemarahan Presiden Joko Widodo, menjadi bahan pertanyaan. Publik lantas menilai, ada sesuatu yang sangat serius di lingkungan pemerintahan di balik sikap amarah Presiden Joko Widodo.

Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Melki Laka Lena, menilai permasalahan dengan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, dimana sampai dikenal dalam pergaulan internasional, sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia, Ketua World International Committee of Military Medicine, Ketua Association of South East Asian Nations (ASEAN) Association of Radiology, tidak bisa dilihat secara parsial.

Melki Laka Lena, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa baru 1,53 persen anggaran terserap dari total alokasi Rp75 triliun untuk bidang kesehatan.

“Teguran Presiden terhadap kecilnya realisasi anggaran penanganan Covid-19 bidang kesehatan yang hanya 1,53 persen dari total Rp75 triliun harus didudukkan dalam konteks yang tepat,” kata Wakil Ketua Komisi IX Melki Laka Lena, Selasa, 30 Juni 2020.

Melki Laka Lena, membeberkan, anggaran penanganan Covid-19 bidang kesehatan telah naik dari Rp75 triliun menjadi Rp87,55 triliun. Dari total anggaran bidang kesehatan ini, Kementerian Kesehatan mengajukan anggaran sebesar Rp54,56 triliun. Namun yang disetujui Kementerian Keuangan hanya Rp25,73 triliun.

Rinciannya, untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19 termasuk penyediaan screening test sebesar Rp1,503 triliun; pelayanan laboratorium Covid-19 sebesar Rp33,53 miliar. Kemudian pelayanan kesehatan Rp21,86 triliun; kefarmasian dan alat kesehatan Rp136 miliar; pemberdayaan SDM kesehatan Rp1,96 triliun, dan kesehatan masyarakat Rp229,75 miliar.

Dari Rp54,56 triliun, belum semua masuk ke rekening. Baru Rp1,96 triliun yang didapat diperoleh Kemenkes. Sementara Rp23,77 triliun sisanya masih dalam proses revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

“Jadi yang disampaikan Presiden, sebesar 1,53 persen ya, dari total Rp75 triliun. Nah kita lihat ini harus didudukkan persoalannya, tidak bisa langsung seperti itu,” ujar Melki Laka Lena.

Kendati bukan kesalahan Menteri Terawan Agus Putranto, tapi tiba-tiba desakan agar dilakukan reshuffle terhadap mantan Direktur Utama Rumah Sakit Angkatan Gatot Subroto, Jakarta, itu, terus berhembus kencang.

Sudah bisa ditebak, kelompok yang mendesak supaya Terawan dipecat dari Menteri Kesehatan, selalu dari kelompok yang sama, yaitu kelompok yang selalu meniupkkan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), dimana diilustrasikan oleh Wakil Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Arief Pouyono, sebagai kadal gurun alias kadrun.

Kadrun secara lebih spesifik lagi, menurut pegiat media sosial seperti Ader Armando, Denny Siregar dan Permadi Arya, adalah kelompok garis keras bergaya kearab-araban, pendukung paham khilafah. Sementara Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto, seorang pemeluk Agama Kristen.

Pegiat media sosial, Susandy Tom Jones, di dalam akun facebooknya, Senin, 6 Juli 2020, mengatakan, sejak awal kehadiran Terawan Agus Putranto di Kementerian Kesehatan, mengundang pro dan kontra. Pihak yang kontra, siapa lagi kalau bukan dari kalangan kadrun.

Susandy Tom Jones, menilai, Terawan yang juga seorang Jendral TNI aktif adalah sosok kontroversial yang pernah berkasus dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI adalah organisasi profesi yang menaungi seluruh Dokter di Indonesia, dan mempunyai sejarah yang amat panjang, bahkan dari website resmi IDI, yaitu idionline.org, sejarah organisasi profesi ini sendiri sudah berdiri sejak tahun 1926.

Ini masalahnya, ternyata Terawan pernah bermasalah dengan IDI, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dikabarkan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD), pada saat itu (2018) dr Terawan Agus Putranto.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua MKEK, dr Prijo Pratomo, Sp. Rad. Namun, Prijo juga menegaskan bahwa MKEK tidak mempersalahkan teknik terapi pengobatan Digital Substraction Angogram (DSA) yang dijalankan Terawan untuk mengobati stroke, melainkan kode etik yang dilanggar.

“Kami tidak mempersoalkan DSA, tapi sumpah dokter dan kode etik yang dilanggar,” ujar Prijo menyebut ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar.

Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.

Pada pasal empat tertulis bahwa “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”. Terawan tidak menaati itu, dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat serta mencederai sumpah dokter.

Sementara itu, kesalahan lain dari Terawan adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal enam. Bunyinya: “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”.

Sikap Terawan yang tidak kooperatif terhadap MKEK juga disebut menyebabkan kesalahannya semakin parah.

Bahkan IDI sempat menolak saat Terawan diangkat sebagi Menteri oleh Jokowi. Didalam berita tersebut IDI menyatakan keberatannya atas diangkatnya Terawan sebagai menteri Kesehatan. sumber beritanya.

Metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau publik mengenalnya dengan Metode Cuci Otak yang ditemukan dokter Terawan Agus Putranto dikenal sangat ampuh bahkan terkenal sampai dunia internasional. dr Terawan bahkan pernah memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus Nordwest Jerman untuk menjelaskan metodenya ini.

“Ya, sekalian menunjukkan kesejajaran ilmu orang Indonesia dengan teman-teman di Jerman. Jangan sampai kami di Indonesia hanya dianggap main ngeyel saja dan tidak ilmiah. Sedangkan negara lain sangat menghargai. Kalau bisa nangis saya nangis tenan (benar) karena sedih,” ujar Terawan, belum lama ini.

Versi dari DR Terawan dalam beberapa kali interviewnya di televisi pernah mengatakan bahwa dirinya tidak pernah melanggar kode etik, dan tidak pernah mengiklankan dirinya ataupun metodenya, adapun tentang kesaksian yang banyak beredar adalah pengalaman orang atau pasien yang ditanganinya dan menjalani Metode DSA yang merasakan manfaat dari Terapi cuci otaknya tersebut.

Apapun setiap permasalahan pasti ada dua versi yang berbeda, yang jelas disini bahwa Terawan dan IDI mempunyai masalah yang serius, menempatkan Terawan di Kementrian Kesehatan, bahkan sebagai Menterinya, bagaikan menyemburkan bensin kedalam api, api akan semakin membesar dan membakar.

“Hal ini sama saja Joko Widodo menempatkan Terawan di sarang penyamun, yah pasti banyak penolakan,” kata Susanday Tom Jones.

Sudah bisa diduga IDI akan melakukan resistansi baik secara halus maupun secara frontal, secara halus dengan cara kelihatannya mendukung programnya akan tetapi programnya tidak ada yang jalan satupun.

Menggangguk didepan orangnya tetapi tidak dijalankan, itulah yang terjadi sekarang, penolakan secara halus dari para dokter anggota IDI yang menolak Terawan tentu saja menyulitkannya menjalankan semua program-programnya, ujung-ujungnya semua mandeg.

“Penanganan COvid19 menjadi bukti bahwa jajaran kementrian kesehatan tidak berkoordinasi dengan baik dengan Menterinya, tapi jangan anggap Terawan tidak mampu, justru kita harus melihat dari sisi yang lain, sudahkan para dokter yang ada dibawah naungan IDI itu berkoordinasi dengan baik? Itu pertanyaannya,” kata Susandy Tom Jones.

Menurut Susandy Tom Jones, contoh terbaru kita melihat sendiri bagaimana Wali Kota rasa Gubernur, Risma Trimaharini, terpaksa harus menyembah-nyembah saat pertemuan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan para Direktur RS Surabaya. Bahkan Risma sendiri merasakan betapa sulitnya berkomunikasi dengan para dokter itu.

“Sudah jadi rahasia umumlah, bahwa IDI sudah dikuasai golongan yang dikenal dengan nama kadrun, pemuja ideologi dari Arab itu. Terawan yang dianggap kafir oleh kadrun tentu saja pasti tidak akan didengar oleh kaum kadrun itu, terbukti pandemi Covid19 dijadikan arena untuk menjebak Terawan,” ujar Susandy Tom Jones.

Pada saat kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, kita melihat sendiri banyak bukti digital bahwa para dokter bahkan dokter dari rumah sakit pemerintah, malah mendukung calon yang didukung oleh ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Lalu baru-baru ini beredar undanganTausiah dari IDI wilayah Riau, disana mengundang ulama, yang sudah kita kenal sebagai ulama yang pro khilafah dan selalu mengkafir-kafirkan orang dan menjelekkan NU, nah sudah jelas kan IDI itu dikuasai oleh siapa?” tanya Susandy Tom Jones.

Yang paling terlihat jelas adalah bagaimana IDI tidak mendukung program percepatan penangan Covid19 dengan menerapkan TPK atau Terapi Plasma Konvalesan, terlihat dibeberapa daerah ada penolakan yang sangat kuat untuk tidak menjalankan TPK, mungkinkah IDI takut banyak pasien Covid yang sembuh?

“Menjadi seorang Doktor Terawan pada saat sekarang ini memang sangat sulit, dan beliau selalu disalahkan, padahal kalau kita mau sedikit membuka mata saja, bisa melihat bahwa posisi beliau sangatlah tidak nyaman,” ujar Susandy Tom Jones.

Susandy Tom Jones , mengatakan, seharusnya Terawan tidak perlu direshuffle, yang diperlukan adalah aksi nyata pemerintah memusnahkan ideologi kadal gurun, yang sudah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara ini.

“Yang diperlukan adalah rekan-rekan para Dokter yang terhormat yang masih ingin Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) NKRI di negeri ini bersatu padu dan rebut kembali IDI, agar IDI menjadi milik semua masyarakat dan tidak tergelincir dalam politik identitas,” tulis Susandy Tom Jones.

Polemik PKI

Soal isu kebangkitan PKI dilontarkan para kadrun, menurut Aswaja Muba, pegiat media sosial, sampai sekarang tidak mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat. Karena sebagian besar umat Islam yang tergabung di dalam Nahdatul Ulama (NU), tidak terpengaruh sama sekali.

Aswaja Muba, mengatakan, warga NU bukanlah warga kemarin sore. Tidak mudah untuk ngibuli warga NU tentang hoax kebangkitan PKI. Warga NU sudah terbukti sangat matang dalam hal pemikiran, sejarah dan peradaban. Karena memang modusnya hanya ngibul, akhirnya akun abal-abal tukang ngibulpun jatuh gelimpungan dan tokoh-tokoh ngibul semakin banyak terciuk.

Ada beberapa alasan mengapa warga NU selamat dari kibulan tentangga sebelah tentang hoax kebangkitan PKI. Di antaranya, warga NU sangat paham bahwa isu-isu bangkitnya PKI hanyalah muatan politik untuk menjatuhkan pemerintahan saat ini.

Hal ini adalah jurus jitu untuk menjatuhkan Jokowi yang selama ini diakui sedemikian tangguh. Joko Widodo menjadi musuh besar kelompok radikal karena dekat dengan ulama moderat yang otomatis akan membawa masa depan buruj bagi simpatisan khilafah.

“Terbukti, pengusung khilafah ala HTI tumbang di tangan Presiden Joko Widodo, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017,” tulis Aswaja Muba.

Warga NU paham bahwa dengan munculnya hoax PKI bangkit, sejatinya yang akan bangkit jika tidak Orde Baru ya Khilafah. Dua kekuatan besar ini sekarang sedang berkompetisi untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo.

Aswaja Muba, mengatakan, wrga NU sangat hafal tentang gaya-gaya anti Joko Widodo. Jika gaung Khilafah ditandai dengan slogan NKRI Bersyariah atau Indonesia milik Allah sedangkan gaung kebangkitan Orba yaitu munculnya semangat kritisisme menghujat Presiden Joko Widodo, dan munculnya partai-partai pendatang baru anak didik Orba yang sedang glamour berkiblat pada kakek-kakek dan bapak-bapak moyang mereka dengan mengelu-elukan zaman baheulak dahulu kala.

Warga NU tidak mudah untuk terpesona munculnya meme “Piye Kabare, Ijeh Enak Jamanku To” dalam beberapa waktu lalu hingga hari ini.

Ini adalah sinyal terkuat ide kebangkitan Orba yakni glorifikasi kejayaan masalalu untuk membohongi rakyat. Benarkah Orba peduli rakyat miskin? Apakah Orba benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat? Silakan jawab dengan hati nurani.

Warga NU hafal betul bagaimana isu PKI pasang surut sebagaimana air di sungai namun NU tidak mau masuk dalam air sungai apalagi terkena pancing. Jika pemerintah anti Orba maka isunya adalah bangkitnya PKI sebagai simbol Orde Lama (Orla) namun jika pemerintah yang berkuasa menyanjung Orba maka bisa dipastikan pemerintah akan adem ayem tanpa hoax PKI.

Bagi warga NU yang melek sejarah, dulu NU masuk dalam koalisi umat Islam yang disebut Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Namun NU kemudian keluar karena hanya menjadi bulan-bulanan dan kacung kelompon radikal.

Saat NU tidak lagi mesra dengan Masyumi maka berbagai fitnah melanda mulai dari dituduhnya kiai NU sebagai kiai Nasakom karena mendukung pemerintahan Soekarno hingga warga NU dituduh sebagai pembela PKI. Apa yang terjadi hari ini hanyalah pengulangan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh warga NU sepanjang masa.

Warga NU adalah penjaga dan pemelihara NKRI. Kecintaan mereka kepada NKRI tak diragukan dan takkan ada duanya. Sehingga warga NU akan selalu siapa siaga dan waspada terhada ideologi apapun yang mengancam ideologi Pancasila. Jika khilafah atau Islamisme bangkit maka isu yang berhembus adalah PKI sedangkan jika PKI yang bangkit maka akan banyak propaganda anti Islam.

Kita bisa tahu bahwa runtuhnya blok Soviet yang berhaluan komunis maka banyak negara-negara yang mulanya beriodelogi komunisme beralih menjadi negara sekuler atau demokrasi. Ideologi komunis adalah ideologi yang gagal karena banyak ditinggalkan sehingga sangat mustahil jika akan bangkit dinegara yang super religius seperti NKRI.

“Kedekatan Presiden Joko Widodo kepada negara-negara Blok Timur semacam Rusia menjadi kekhawatiran bagi negara-negara Barat apalagi semanjak poros ekonomi Presiden Joko Widodo, dengan serius menggandeng Cina-Rusia akan menjadi ancaman bagi poros Amerika-Inggris. Nah, dihembuskanlah isu kebangkitan PKI dari Blok Barat agar kekuatan Barat masih tetap bercokol di NKRI,” ujar Aswaja Muba.

“Demikian upaya-upaya propaganda isu kebangkitan PKI yang menyasar kepada NU. Warga NU takkan mungkin terprovokasi dengan isu murahan ini karena NU bukanlah ormas unyu-unyu yang tak paham sejarah. Jika NU terprovokasi dan gagal dalam menjaga NKRI maka sudah dipastikan bahwa NKRI akan hancur lebur,” kata Aswaja Muba.

Atheis

Direktur Nusantara Institut, Prof Dr Sumanto Al Qurtubi, mengatakan, ada fenomena lain di dalam perpolitikan di Indonesia di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024).

Di antaranya, terus merebaknya isu kebangkitan PKI. Tapi menurut Sumanto Al Qurtuby, hanya orang-orang yang pikun pengetahuan dan rabun wawasan alias “pekok” saja yang menyamakan komunisme dan ateisme.

Sebagai sebuah konsep, filosofi, dan sistem, komunisme itu jauh berbeda dengan ateisme. Tidak seperti ateisme yang “mengurusi” masalah agama dan kepercayaan orang, komunisme lebih pada urusan sosial-politik dan ekonomi.

Ateisme adalah lawan dari teisme. Kaum ateis tidak menganggap ateisme sebagai sebuah agama atau “sistem kepercayaan” (belief system). Mereka biasanya mendefinisikan ateisme sebagai “a lack of belief in gods”, bukan “a disbelief in gods” atau “a denial of gods.” Komunisme jelas lain.

Ia adalah sebuah filosofi, ideologi, dan sekaligus gerakan sosial, politik, dan ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan “masyarakat komunis,” yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas baik dalam tatanan sosial-politik maupun akses sumber-sumber ekonomi.

Bahwa pada perkembangannya kelak, ada orang-orang ateis yang bergabung di gerbong komunisme memang “iyyess”. Orang ateis mah ada dimana-mana atuh cuk, bukan monopoli komunisme aja. Kaum ateis ini ada yang menjadi pendukung sosialisme, kapitalisme, nasionalisme, dan isme-isme yang lain.

Kaum ateis, menurut Sumanto Al Qurtubi, baik yang ateis konservatif maupun ateis libertarian, juga banyak yang anti ideologi komunis. Untuk menambah wawasan tentang hal ini, silakan baca buku-buku yang ditulis oleh Gary Marks, Seymour Lipset, Paul Buhle, atau Jeff Woods.

“Bahwa ada komunis yang ateis bukan berarti komunis itu ateis, kan? Bahwa ada para simpatisan komunisme yang terlibat kekerasan dan kejahatan memang iyyess tetapi jangan “menyalahken atau mengkambinghitam ken daripada komunisme”-nya.”

“Soal kekerasan dan kejahatan mah dilakukan oleh pendukung ideologi apa saja di dunia ini: kapitalisme, liberalisme, sekularisme, Islamisme, sosialisme, nasionalisme, pan-Arabisme, pan-Islamisme, dan lain sebagainya,” kata Sumanto Al Qurtubi.

Pada awal perkembangan ideologi “komunisme modern” di Eropa (saya sebut “komunisme modern” karena “ajaran” komunisme yang bertumpu pada doktrin egalitarianisme dan anti-hierarkisme sebetulnya memang sudah dipraktekkan sejak zaman klasik oleh masyarakat “pre-modern”, misalnya kelomok “foraging society”), sejumlah tokoh sekularis dan ateis memang ikut berkontribusi dan kebetulan menjadi pioneer komunisme.

“Tetapi mereka sebetulnya bukan anti-teisme atau anti-agama melainkan anti terhadap perilaku sejumlah tokoh atau elit agama dan pemimpin politik di Eropa kala itu yang menjadikan agama semata-mata sebagai “topeng monyet” untuk mengelabui, membodohi, menipu, dan menindas masyarakat. Agama yang hanya dijadikan sebagai instrumen pembodohan, ketidakadilan, dan penindasan inilah yang menjadi target kritisisme mereka,” kata Sumanto Al Qurtubi.

Dalam konteks inilah, Karl Marx bilang, “Agama adalah candu” karena agama, bagi Marx, bisa membuat pengikutnya menjadi “teler” alias “mabok” sehingga tidak bisa membedakan mana keadilan dan ketidakadilan, mana kebenaran hakiki dan mana kesalahan permanen, mana dosa dan mana pahala, dan lain sebagainya.

Sudah tahu kalau korupsi adalah merusak moral tapi malah dihalalkan, sudah tahu kalau kekerasan adalah kejahatan atau tindakan kriminal tetapi malah diberi “justifikasi teologis”, sudah paham kalau pengrusakan dan terorisme itu haram tapi malah “dilegalkan”.

Sudah paham kalau intoleransi itu tindakan buruk tapi malah dibiarkan, sudah paham kalau banjir dan malapetaka alam lain itu produk dari keteledoran manusia tetapi malah berdoa minta Tuhan menyelesaikan banjir, dan lain sebagainya.

Karena memang tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme itulah maka kenapa banyak para pengikut agama dulu, termasuk Muslim, ikut menjadi pendukung komunisme.

Dikatakan Sumanto Al Qurtubi, di kawasan Arab dan Timur Tengah dulu, para pentolan Partai Komunis di Palestina, Mesir, Irak, Libanon, Iran, Yordania, Maroko, Aljazair, dan lain sebagainya adalah para tokoh agama, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Di kawasan Asia Tengah, Balkans atau negara-negara bekas Uni Soviet juga banyak tokoh-tokoh Muslim yang bergabung ke Partai Komunis guna melawan rezim Nazi Hitler atau imperialisme Barat.

Di kawasan Timur Tengah, para tokoh Muslim yang terlibat di Partai Komunis/Sosialis tersebut karena semata-mata tertarik dengan ideologi & gerakan komunisme untuk melawan imperialisme maupun dominasi rezim politik-ekonomi lokal. Misalnya, di Palestina & Israel, kelompok Muslim komunis bergabung dengan kaum Islamis untuk melawan rezim politik Israel.

Di Yaman juga banyak para tokoh komunis Muslim termasuk habib seperti Haidar Abu Bakar al-Attas, Muhammad Ghalib Ahmad, Ali Nasser Muhammad, Ali Salim al-Beidh, Ali Saleh Obad, Yasin Said Nu’man, Abdulrahman al-Saqqaf, dlsb. Partai Komunis Yaman didirikan oleh Abdallah bin Abd al-Razzaq Ba Dhib.

Di Mesir, tokoh Muslim yang memprakarsai pendirian Partai Komunis adalah Mahmud Husni al-Urabi. Ia bahkan belajar komunisme langsung ke Moscow. Di Uni Soviet dulu salah satu pentolan tokoh komunis Muslim adalah Sultan Galiev.

Di Afganistan, para tokoh Muslim juga banyak yang bergabung di gerakan komunis seperti Akram Yari, Babrak Karmal, Nur Muhammad Taraki, dan lain sebagainya. Di Indonesia, tokoh komunis Muslim yang melegenda adalah Haji Misbach.

“Jadi, jelaslah sekarang kalau ada sejumlah makhluk di Indonesia yang teriak-teriak komunis ateis itu mungkin karena mereka kebanyakan nonton film dagelan G30S,” kata Sumanto Al Qurtubi. (Aju)