Praktik Illegal Logging di Desa Laman Kinipan

Masyarakat Kinipan Dibela 50 Advocat Dayak

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Lima puluh advocat (pengacara/peguam) Suku Dayak se Kalimantan, akan membela masyarakat Suku Dayak Tomun dalam mempertahankan hak atas tanah adat Dayak seluas 2.600 hektar di Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.

Para advocat Dayak, di antaranya Majelis Hakim Dayak Nasional (MHADN), Dayak International Organization (DIO) dan Forum Intelektual Dayak Nasional (FIDN).

“Semua advocat di Pulau Dayak (Kalimantan/Borneo) terpanggil untuk melawan kesewenangan Polisi Republik Indonesia dan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di dalam mempertahankan adat adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan,” kata Bujino A Salan K, dari Banjarmasin, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, Minggu, 30 Agustus 2020.

Menurut Bunjio, tim kuasa hukum sudah mencatat beberapa hal di balik penangkapan 6 warga Dayak akibat mempertahankan keberadaan tanah adat di Desa Laman Kinipan dari kerakusan PT SML di Desa Laman Kinipan sejak tahun 2012.

Desa Laman Kinipan

Masyarakat Suku Dayak Tomun telah melakukan deklarasi terhadap keradaan tanah adat Dayak seluas 2.600 hektar di Desa Laman Kinipan, sesuai religi Dayak Tomun, Sabtu, 16 April 2016.

Penangkapan dilakukan dua gelombang. Pertama, Selasa, 23 Juni 2020, ada 5 orang ditangkap, yaitu Riswan, Yefli, Yusa, Teki dan Embang.

Kedua, Rabu, 26 Agustus 2020, Ketua Komunitas Dayak Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, Effendy Buhing, ditangkap bagaikan teroris oleh Detasemen Brigade Mobile Polisi Republik Indonesia (Brimob Polri) dari Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah.

Aksi kebrutalan Brimob Polri, menuai kecaman keras dari berbagai pihak, setelah menyaksikan di media sosial, teriakan histeris istri Effendy Buhing bahwa suaminya bukan seorang penjahat, sama sekali tidak dipedulikan aparat penegak hukum.

Dayak International Organization (DIO) mengeluarkan rilis kecaman, Kamis pagi, 27 Agustus 2020. Kecaman keras datang pula dari komunitas masyarakat adat Dayak Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, sehingga Effendy Buhing dilepas Polri pada Kamis siang, 27 Agustus 2020.

Penangkapan atas tuduhan PT SML bahwa 6 orang masyarakat Adat Dayak Tomun telah dilakukan pencurian 1 unit mesin chainsaw milik PT SML di Hutan Adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, Senin, 22 Juni 2020.

Effendy Buhing

Penangkapan terhadap Effendy Buhing, sehubungan pengembangan kasus pencurian 1 unit mesin chainsaw, Senin, 22 Juni 2020.

“Sejauh ini,” ujar Bujino A Salan, “Kami sudah meminta penyidik Polri dari Polisi Daerah Kalimantan Tengah, tentang barang bukti 1 unit mesin chainsaw yang diklaim dicuri sebagai dasar penangkapan.”

“Sampai sekarang penyidik di Polisi Daerah Kalimantan Tengah, tidak bisa memperlihatkan barang bukti 1 unit mesin chainsaw yang diklaim dicuri. Kami akan kejar terus kasus ini, karena patut diduga upaya kriminalisasi,” kata Bujino A Salan.

Kebudayaan Dayak

Ketua Bidang Adat Istiadat dan Peradilan Adat MHADN, Tobias Ranggie, menilai, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, karena para penentu kebijakan strategis di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kabupaten Lamandau, patut diduga belum sepenuhnya mengerti tentang Kebudayaan Suku Dayak, sebagai pembentuk karakter dan jatidiri Dayak.

“Mereka pikir, dengan menjadi pengurus kelembagaan adat Dayak, sudah cukup. Padahal tidak sederhana itu. Karena Kebudayaan Dayak itu memiliki aspek pemahaman yang lebih luas,” tutur Tobias.

“Sama luasnya dengan aspek pemahaman terhadap Kebudayaan Arab yang melahirkan Agama Islam dan Kebudayaan Yahudi yang melahirkan Agama Katolik dan Agama Kristen. Kebudayaan Dayak itu suci. Kesucian orang Dayak tergambar dari sikapnya di dalam menghargai, menghormati, menghayati dan merawat kebudayaan Dayak,” kata Tobias Ranggie.

Menurut Tobias Ranggie, kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranata peradaban politik. Jadi jika bicara masalah Kebudayaan Dayak, otomatis di dalamnya bicara masalah sosial, ekonomi dan politik Dayak.

Di subpranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama dan ada sistem religi di dalamnya. Sistem religi sebuah suku bangsa di negara manapun di dunia, selalu bersumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.

Dikatakan Tobias, kalau seseorang berani menjadi pengurus kelembagaan adat Dayak, maka otomatis harus paham akan kebudayaan Dayak yang mana ada sistem religi di dalamnya. Karena di negara manpun di dunia, sistem religi sebuah suku bangsa, selalu dijadikan filosofi etika berperilaku dari suku bangsa yang bersangkutan.

Jadi sistem religi Dayak, lanjut Tobias Ranggie, menjadi sangat penting karena sebagai filosofi etika berperilaku orang Dayak. Ini yang patut diduga belum sepenuhnya dipahami patut diduga di kalangan sebagaian oknum pengurus kelembagaan adat Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah.

Diungkapkan Tobias, muncul pernyataan di media sosial dari Ketua Dewan Adat Dayak Lamandau yang juga Bupati Lamandau, Hendra Lesmana di Nanga Bulik, Rabu, 8 Januari 2020, bahwa tidak ada masyarakat adat Dayak di Desa Kinipan, karena belum mengantongi surat resmi dari Pemerintah Indonesia, sama saja dengan Herndra Lesmana mempermalukan dirinya sendiri.

“Tolok ukur keberadaan masyarakat Adat dan tanah adat, tidak harus berdasarkan pengakuan tertulis dari Pemerintah Indonesia. Karena tolok ukur keberadaan masyarakat adat dan tanah adat, apabila tradisi, adat istiadat, hukum adat, masih tumbuh dan berkembang di kalangan masyarak adat Dayak yang bersangkutan,” ujar Tobias.

Hendera Lesmana, selaku Bupati Lamandau dan sekaligus sebagai Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Lamandau, itu sudah cukup kuat sebagai pengakuan bahwa di seluruh wilayah Kabupaten Lamandau, masih ada masyarakat adat Dayak dan otomatis pula masih adat tanah adat Dayak, termasuk pengakuan keberadaan tanah adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan.

Tobias Ranggie menyarankan Hendra Lesmana supaya meluangkan waktu lebih banyak belajar tentang kebudayaan Dayak, terutama tentang nilai-nilai kemanusiaan universal yang terkandung di dalam religi Dayak, dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.

“Tapi syaratnya, jangan paksakan sumber keyakinan iman seseorang di dalam melibat kebudayaan Dayak. Marilah kita melihat Kebudayaan Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat,” ujar Tobias Ranggie.

Tobias Ranggie mengatakan, langkah kalangan masyarakat Suku Dayak Tomun di dalam mempertahankan tanah adat Dayak di Desa Laman Kinipan, sebagai salah bentuk dukungan kepada Pemerintah Indonesia untuk kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia di dalam mengamalkan ideologi Pancasila.

Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan 4 langkah dan putusan strategis di dalam melakukan gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia.

Pertama, hasil seminar nasional diselenggarakan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, menegaskan program pembangunan di Indonesia di masa mendatang, mesti melalui proses akselerasi kapitalisasi modernisasi budaya di dalam pembangunan nasional.

Ini harus dijadikan rujukan, mengingat hal serupa menjadi kunci utama kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan, sehingga tiga negara ini menjadi simbol/motor penggerak kebangkitan dan kemajuan dunia pada abad ke-21, mengalahkan hegemoni Amerika Serikat dan Negara Barat sepanjang abad ke-20.

Kedua, pada 27 April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), mengesahkan undang-undang tentang pemajuan kebudayaan. Kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.

Ketiga, putusan hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan keberadaan aliran keperecayaan yang dimaknai pula pengakuan terhadap keberadaan berbagai agama asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk di dalamnya pengakuan terhadap agama asli Dayak bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.

Keempat, Presiden Republik Indonesia menerima naskah kajian akademis rencana pembangunan berbasis kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia di Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.

“Empat langkah dan putusan strategis dimaksudkan di atas, memperkukuh eksistensi ideologi Pancasila. Kemudian, memperteguh sejarah lahirnya ideologi Pancasila sebagai produk kebudayaan asli berbagai suku Bangsa di Indonesia,” ujar Tobias Ranggie.

“Karena jantung peradaban kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia, termasuk di Indonesia, ada pada sistem religinya yang bersumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, di mana dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya,” ujar Tobias.

“Jadi, dengan mencintai dan merawat kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dimana ada sistem religi di dalamnya, sebagai wujud nyata pengalaman ideologi Pancasila. Karena ideologi Pancasila dilahirkan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.”

“Dengan demikian, dengan menghargai dan merawat kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai salah satu wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila,” ungkap Tobias Ranggie.

Delapan Catatan Penting

Tobias Ranggie mengatakan, Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, dan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan Aliran Kepercayaan, dimaknai pula sebagai peneguhan dan pengakuan keberadaan religi (agama) Suku Dayak, maka ada 8 (delapan) pandangan dan catatan penting, serta strategis di dalamnya, untuk memahami betapa pentingnya orang Dayak mesti kembali kepada karakter dan jatidiri Dayak, sebagai berikut.

Pertama, Suku Dayak harus berkebudayaan Dayak. Karena bagi masyarakat Suku Dayak, agama adalah sebagai sumber keyakinan iman, sementara religi Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku.

Keduanya mesti dimaknai di dalam konteks yang berbeda, agar tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama. Melalui sistem religinya, akan membuat karakter dan jatidiri/identitas orang Dayak, berbeda dengan masyarakat lainnya.

Kedua, bantahan religi Dayak bentuk animisme dan ateisme. Sebagai acuan membantah tudingan sejumlah pihak bahwa religi Dayak adalah praktik aninisme atau menyembah berhala dan ateisme atau tidak mengakui Tuhan.

Karena sejak abad ke-13 setelah filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274) melalui teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Itu berarti, kata Tobias, sejak abad ke-13 sudah tidak ada lagi istilah animisme atau ateisme, karena orang Dayak lewat sistem religi sebagai salah satu implementasi Kebudayaan Dayak, sudah diakui memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

“Sementara tempat menggelar ritual Dayak, tidak bisa dicap sebagai bukti animisme dan ateisme, karena hanya sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan,” ujar Tobias Ranggie.

Ketiga, dijadikan momentum masyarakat Suku Dayak mengenal dan melihat Kebudayaan Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat. Tujuannya, sebagai upaya mengantisipasi potensi paham radikalisme anti Pancasila di kalangan Suku Dayak.

Ada tiga potensi paham radikalisme anti Pancasila di kalangan Suku Dayak: yaitu, apabila masih ada orang Dayak melihat Kebudayaan Dayak semata-mata dari sumber keyakinan imannya (agama yang dianutnya).

Maka di situlah titik awal kehancuran Kebudayaan Dayak dan sekaligus sebagai titik awal orang Dayak tersebut kehilangan karakter dan jatidiri/identitasnya.

Kemudian, apabila orang Dayak sudah tidak mengakui dirinya lagi sebagai orang Dayak setelah memeluk salah satu agama yang berurat-berakar dari kebudayaan luar.

Ini mesti digarisbawahi, karena orang Dayak yang memeluk Agama Katolik (sebagai sumber keyakinan iman), salah satu agama samawi, misalnya, bukan semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik berurat-berakar dari Kebudayaan Yahudi. Sementara status kedayakan seorang manusia Suku Dayak, akan melekat di dalam diri orang Dayak sampai akhir hayat.

Korban kriminalisasi

Di samping itu, apabila orang Dayak hanya bisa menunjukkan kesombongan rohani atau kesalehan individu, dengan menganggap diri dan kelompoknya saja paling benar, dan orang lain dianggap sebagai musuh.

Tiga potensi radikalisme ini, menurut Tobias Ranggie, perlu digarisbawahi dan diwaspadai, karena hakekat pengalaman ideologi Pancasila, orang Dayak harus memiliki kesalehan sosial, yaitu menghargai keberagaman dan kebhinekaan.

Karena tiga potensi radikalisme anti Pancasila sebagaimana dimaksudkan di atas, merupakan pengingkaran terhadap empat parameter manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Karena sering terjadi, sudut pandang kebudayaan luar (di antaranya melahirkan agama samawi dan agama impor lainnya), bertolak belakang dari pemahaman trilogi peradaban kebudayaan Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban Kebudayaan Asia dimaksud, sebagai faktor pembentuk karakter dan jaditidiri/identitas masyarakat Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Faktor pembentuk karakter dan jatidiri/identitas manusia beradat, lahir dari sistem religi Dayak (legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak), dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.

Keempat, mengaktualisasikan nilai-nilai universal di dalam sistem religi Suku Dayak. Konsep aktualisasi nilai-nilai universal di dalam religi Dayak, bukan berarti orang Dayak harus pindah sumber keyakinan imannya untuk memeluk agama asli Dayak.

Tapi religi Suku Dayak dijadikan filosofi etika berperilaku, serta acuan di dalam penentuan kebijakan pembangunan dan atau argumentasi ilmiah lainnya, apabila terbukti masih ada implementasi program pembangunan di bidang hukum, ekonomi dan politik, terbukti merugikan kepentingan Suku Dayak.

Kelima, berladang bagian religi Dayak. Karena dari segi anthropologi budaya, misalnya, Kebudayaan Dayak lewat religi Dayak yang terkandung di dalam legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat (apalagi kalau sudah diangkat menjadi produk literasi), bahwa berladang dengan cara bakar, melalui sistem rotasi agar gilir baik, bukan perbuatan kriminal.

Sehingga peladang Dayak bukan penjahat, sehingga berladang petani Dayak dengan cara bakar, tidak boleh dihukum, karena bagian tidak terpisahkan dari sistem religi Suku Dayak, sebagai salah satu daya dukung utama kriteria keberadaan komunitas masyarakat Adat Dayak, di samping kelembagaan profan masyarakat Adat Dayak lainnya, serta keberadaan situs pemukiman dan pemujian Suku Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.

Sebagian besar tahapan religi Dayak dilakukan di dalam praktik perladangan, mulai dari meminta izin pembukaan lahan, menebas, menebang, membakar, membersihkan lahan bekas bakaran, menugal, membuang rumput (merumput), memanen dan syukuran selepas panen padi.

Belasan jenis mantra Dayak, hanya boleh digelar saat proses perladangan, sehingga perladangan dengan cara bakar, jantung peradaban Kebudayaan Suku Dayak.

Orang Dayak tidak mengenal berladang berpindah, orang Dayak hanya mengenal berladang dengan sistem rotasi, gilir balik (lima sampai sepuluh tahun kemudian berladang kembali lagi ke lokasi semula, sehingga tidak merusak hutan).

Berladang dengan cara bakar pula, wujud konservasi Dayak, karena di lahan bekas ladang tumbuh berbagai jenis pohon baru, karena tunggul di bekas ladang ketinggian minimal 50 centimeter, muncul puluhan anakan pohon baru.

Karena itulah, upacara syukuran selepas panen padi yang disebut Gawai di Provinsi Kalimantan Barat dan Negara Bagian Sarawak (Malaysia), Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, Kaamatan di Negara Bagian Sabah (Malaysia) dan sebutan lainnya, dalam kaitan dengan religi, setara dengan Perayaan Idul Fitri di kalangan Agama Islam dan Perayaan Natal di kalangan Agama Katolik/Kristen, bukti lain praktik perladangan Dayak dengan cara bakar bagian dari religinya.

Keenam, bahan argumentasi pertahankan tanah adat Dayak. Pemahaman memadai terhadap religi Dayak, sekaligus sebagai bentuk bantahan atau klarifilasi, apabila masih ada sejumlah pihak (ilmuwan tukang, politisi tukang, budayawan tukang, birokrat tukang) yang masih mengklaim, tidak ada masyarakat Adat Dayak pada suatu tempat, hanya lantaran belum mengantongi surat keputusan keberadaannya sebagai Masyarakat Adat Dayak dari otoritas yang berwenang Pemerintah Republik Indonesia.

Dasar argumentasinya sebagai berikut, karena tolok ukur keberadaan masyarakat Adat Dayak, paling penting dan sangat prinsip adalah masih terpeliharanya nilai-nilai religi sebagai aktualitasi dari Kebudayaan Dayak yang masih hidup di tengah masyarakat Suku Dayak itu sendiri.

Kehidupan keseharian Suku Dayak berpegang teguh kepada adat istiadat. Di antaranya buka ladang dengan cara bakar yang mengandung nilai religi Dayak. (Baca: pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945). Karena komunitas masyarakat Adat Suku Dayak, sudah ada sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketujuh, menselaraskan Hukum Adat Dayak dan Hukum Negara. Orang Dayak harus paham bahwa hukum adat sebagai salah satu dari sumber doktrin di dalam religi Dayak, harus dilihat dari aspek anthropologi budaya, dan sejarah disusunnya dari sebuah produk hukum negara.

Hukum adat di Indonesia, termasuk hukum adat Dayak, sesuai terminologi hukum, adalah sumber dari segala sumber hukum negara, dengan dasar argumentasi sebagai berikut:

Sebelum negara Indonesia lahir, hukum adat, termasuk hukum adat Dayak, diberlakukan di Indonesia. Saat kolonial Belanda, Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya berjudul: “Het Adatrecht van Nederlandch-Indie”, wilayah hukum adat di Hindia Belanda (Indonesia), dibagi menjadi 19 wilayah, termasuk di wilayah hukum adat Suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Kedudukan hukum adat Dayak, dalam takaran tertentu mengisi ruang kosong di dalam hukum negara, sehingga antara keduanya saling mengisi satu sama lain. Aplikasi dari hukum negara tidak boleh mengesampingkan filosofi yang ada di dalam hukum adat.

Makna dari penerapan hukum adat di dalam religi Dayak, agar di dalam melihat sebuah persoalan hukum, tidak boleh semata-mata mengedepankan kebenaran formal (hitam putih, tex book), tapi harus pula memperhitungkan kebenaran materiil, berupa sejarah, adat istiadat, hatinurani, kesaksian masyarakat yang berlangsung secara turun-temurun di wilayah itu (Tobias Ranggie, 2020).

Di dalam negara hukum keberadaan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Sebagaimana dikutip Prof Dr Jimly Asshiddiqie (ahli hukum Universitas Indonesia) dari Wolfgang Friedman dalam bukunya, ―Law in a Changing Society, membedakan antara organized public power (the rule of law dalam arti formil), dengan the rule of just law (the rule of law dalam arti materil).

Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif.

Negara hukum dalam arti materiel (modern) atau the rule of just law merupakan perwujudan dari Negara hukum dalam arti luas yang menyangkut pengertian keadilan di dalamnya, yang menjadi esensi dari pada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.

Kedelapan, acuan melakukan akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan Dayak dalam pembangunan. Acuan di dalam menyusun transpormasi peradaban agraris menuju peradaban yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, modern, tapi harus tetap berbasis kebudayaan Dayak, melalui konsep akselerasi kapitalisasi modernisasi.

“Delapan point disebutkan di atas perlu digarisbawahi, karena Pemerintah Republik Indonesia, sekarang, menegaskan, kekayaan dan keragaman budaya Indonesia dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa,” ujar Tobias Ranggie.

Secara ideologi, Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1966) menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam konsepsi Trisakti; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter secara budaya.

Trisakti sebagai tujuan utama pembangunan politik, ekonomi dan budaya bangsa, kembali direvitalisasi Presiden Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), menjadikan kebudayaan sebagai salah satu pilar Trisakti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, dan 2019 – 2024.

Dengan Trisakti, menurut Tobias Ranggie, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menegaskan kebudayaan tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sebagai proses nation-building. Tapi juga penting sebagai pilar menuju Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang unggul berkarakter kebangsaan, bukan hanya pintar dan piawai dalam teknologi. (Aju)

One comment

  1. Siap mengawal proses hukum terhadap masyarakat adat yg di kriminalisasi demi menjaga marwah Dayak di tanah sendiri

Comments are closed.