JAKARTA (Independensi.com) – Aksi persekusi yang memberangus kebebasan beribadah kembali terjadi. Kali ini, aksi intoleransi itu menimpa jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Serang Baru (KSB) yang terletak di Perumahan Kota Serang Baru (KSB), Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada Minggu (13/09/2020).
Persekusi itu terjadi ketika pendeta serta beberapa jemaat HKBP KSB sedang melakukan ibadah secara daring atau live streaming di salah satu rumah di Perumahan KSB.
Massa intoleran pun mendatangi rumah tersebut dan mengganggu jalannya ibadah dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menyalakan musik yang keras melalui sound speaker. Tindakan itu dilanjutkan dengan pengusiran terhadap pendeta dan jemaat yang ada.
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mengecam keras tindakan persekusi oleh massa intoleran tersebut.
Sekjen DPP GMNI Sujahri Somar menegaskan tindakan Intoleransi oleh sekelompok massa di Bekasi tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan warga dalam beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
“Pemberangusan terhadap kebebasan beragama dan beribadah merupakan pelanggaran berat terhadap konstitusi UUD 1945, tepatnya Pasal 28 huruf E, I dan J serta Pasal 29 ayat 2,” tegas Sujahri, dalam siaran pers nya, Senin (14/09/2020).
GMNI sangat menyesalkan negara, dalam hal ini aparat kepolisian, yang tidak menjaga hak beribadah masyarakat dari gangguan kelompok intoleran.
Berdasarkan data yang dihimpun GMNI, Gereja HKBP KSB memiliki jemaat sebanyak 160 KK, dan kini masih merupakan pos pelayanan serta dalam proses persiapan menjadi jemaat.
Berbagai upaya telah dilakukan pihak HKBP KSB agar jemaatnya bisa beribadah di gerejanya sendiri. Namun, hal itu selalu mendapat penolakan dari massa intoleran.
Tragisnya, tindakan intoleransi ini bukan hanya terjadi satu kali. Pada Minggu 23 Agustus 2020, aksi serupa juga terjadi.
“Permasalahan ini muncul salah satu faktor utamanya karena sulitnya pemberian izin rumah ibadah oleh pemerintah. Hal itu menjadi pintu masuk bagi kelompok-kelompok Intoleran dalam melakukan provokasi ditengah masyarakat. Padahal, jemaat HKBP KSB hanya berharap mereka dapat difasilitasi untuk menjalankan ibadahnya dengan baik dan tenang,” ungkap Sujahri.
GMNI pun mendesak evaluasi atas Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang telah terbukti mempersulit masyarakat, terutama dari kalangan minoritas agama dan keyakinan dalam memperoleh izin membangun tempat ibadah.
“Peraturan Bersama Menteri itu juga kerap digunakan sebagai alat penekan bagi kalangan minoritas oleh kelompok dan oknum intoleran. Pemerintah seharusnya jangan menutup mata dari pelanggaran konstitusi yang sudah berulang kali terjadi ini,” tegas Sujahri. (His)