Program Short Sea Shipping Harus di Moratorium

Loading

JAKARTA (Independensi.com) Rencana Kementerian Perhubungan membangun pelayaran laut singkat atau short sea shipping akan memberikan dampak negatif pada industri pelayaran khususnya perusahaan penyeberangan yang selama ini posisinya sudah tertekan.

Demikan benang merah dari hasil diskusi online dengan tema : Menakar Dampak Kebijakan Short Sea shipping terhadap Angkutan Penyeberangan, dengan pembicara Anggota Ombudsman Alvin Lie, pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dsn Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo Rabu (16/9)

Agus minta Kementerian Perhubungan segera melakukan moratorium terhadap pemain baru perusahaan penyeberangan. “Kalau program short sea shipping tetap harus dilanjutkan, sebaiknya diberikan kepada perusahaan penyeberangan yang sudah ada, tinggal menggeser armadanya ke lokasi yang dibutuhkan,” jelas Agus.

Agus juga menyoroti kebijakan tumpang tindih yang dilakukan kementerian perhubungan, khususnya di sektor Ditjen perhubungan Darat dengan Ditjen Perhubungan Laut. “Padahal wilayah yang dikelola sama-sama laut yang airnya asin,” seloroh Agus.

Sementara itu Khoiri menyoroti rencana pemerintah yang bukan hanya menghantam bahkan bisa tapi bisa saling membunuh.

Selama ini lintasan-lintasan gemuk seperti penyeberangan Merak-Bakauheni, Ketapang-Gilimanuk maupun Padang Bai-Lembar sudah over capacity. Padahal rata-rata hari operasional hanya 34% setiap bulannya.

Tingkat okupansi penumpang yang dibatasi maksimal 50% semasa Covid 19 juga tidak pernah tercapai. “Sementara kami harus tetap beroperasi sesuai jadwal meski pelayaran saat itu merugi,” keluhnya.

Mulai dioperasikannya lintasan short sea shipping yang berhimpitan dengan lintasan penyeberangan akan menimbulkan masalah baru jika tidak dikoordinasikan dengan baik.

Potensi lintasan berhimpit tersebutcdapat terjadi dikarenakancperijinanyang dikeluarkancoleh 2 (dua) Direktorat dalam satu Kementrian Perhubungan yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tanpa adanya koordinasi dan batasan yang jelas, baik dari sisi jarak lintas maupun spesifikasi kapal yang digunakan.

Terlihat sekali pelaksanaan lintas short sea shipping.yang telah ada terkesan tidak ada sinkronikasi kebijakan.dalam satukementrian terhadap moda yang sama dan segmen pasar yang sama.

Kondisi ini tentanya berpotensi saling “membunuh” antara lintas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Contoh : intasan Merak – Bakauheni (Hubdat) vs rencana Lintasan Ciwandan–Panjang (Hubla). juga Lintasan Lembar–Padangbai dan Ketapang Gilimanuk (Hubdat) vs Lintasan Tanjung Wangi- Lembar(Hubla). (hpr)