Oleh Aju
JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Partai Solidariti Tanah Airku (STAR) Datuk Dr Jeffrey G Kitingan (72 tahun), dilantik menjadi Wakil Gubernur (Deputi Ketua Menteri) Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, di Kota Kinabalu, Sabah, Federasi Malaysia, Selasa, 29 September 2020.
Jeffrey G Kitingan langsung bergabung dengan pemerintahan baru di Negara Bagian Sabah, setelah berhasil mengantongi kursi Ahli Dewan Undangan Negeri (ADUN) atau Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai ketentuan untuk merebut posisi Deputi Ketua Menteri Sabah.
Jeffrey G Kitingan, Presiden Dayak International Organization (DIO), ini, bersama Barisan Nasional pimpinan Perdana Menteri Malaysia, Muhyidin Yasin melalui partai United Malay National Organisation (UMNO) dengan koalisi Gabungan Rakyat Sabah (GRS) mengantongi perolehan kursi terbanyak di dalam Pilihan Raya Umum (PRU) yang di Indonesia dikenal Pemilihan Umum (Pemilu) Negara Bagian Sabah, Sabtu, 26 September 2020.
Bertindak sebagai Ketua Menteri Sabah, Datuk Hajiji Mohammad Noor, ADUN Sulaman dari Parti Pribumi Bersatu Malaysia (BERSATU) Sabah. Selain Jeffrey G Kitingan, ada dua Deputi Ketua Menteri yang dilantik, yaitu Datuk Seri Bung Moktar Radi dari partai United Malay National Organisation (UMNO), dan Datuk Dr Joachim Gunsalam dari Partai Bersatu Sabah (PBS).
Jeffrey G Kitingan dan Joachim Gunsalam berasal dari Suku Dayak, sementara Hajiji Mohammad Noor dan Moktar Radi, berasal dari Suku Melayu. Atas kemenangan Barisan Nasional di dalam PRU di Sabah, Perdana Menteri Malaysia, Datuk Muhyiddin Yassin, mengeluarkan wacana PRU Federal dipercepat, karena secara normal baru akan digelar paling lambat Mei 2023 mendatang.
Setelah berkuasa 4,5 bulan sejak 1 Maret 2020, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin berhasil mengakhiri spekulasi mengenai mayoritas koalisi Perikatan Nasional pimpinannya di parlemen.
Muhyiddin Yassin yang terus digoyang terutama oleh pendahulunya, Mahathir Mohamad, saat ini menguasai 113 kursi parlemen setelah koalisinya berhasil mendepak mantan Ketua Parlemen Mohamad Ariff Md Yusof, Kamis, 28 September 2020.
Angka 113 ini sangat tipis karena hanya lebih 1 kursi dari minimal 112 kursi yang diperlukan di Dewan Rakyat Malaysia. Koalisi oposisi Pakatan Harapan pimpinan Datuk Anwar Ibrahim memegang 109 kursi dari total 222 kursi.
Posisi Jeffrey G Kitingan
Banyak kalangan mempertanyakan, keputusan Jeffrey untuk memilih menjadi Deputi Ketua Menteri Sabah, karena konsekuensi jabatannya sebagai Deputi Menteri Pelancongan, Seni Rupa dan Budaya Federasi Malaysia harus ditinggalkan, tidak bisa dirangkap.
Pertanyaan kemudian menjadi relevan, karena dalam posisi Barisan Nasional melalui koalisi Gerakan Rakyat Sabah (GRS) memenangkan PRU di Sabah, Sabtu, 26 September 2020, maka terbuka peluang lebar bagi Jeffrey G Kitingan untuk menduduki Menteri atau Deputi Perdana Menteri dalam hasil PRU di tingkat federal selanjutnya.
Jabatan Menteri atau Deputi Perdana Menteri di tingkat Federasi Malaysia di Putera Jaya, Kuala Lumpur, akan lebih bergengsi daripada sebagai Deputi Ketua Menteri Sabah.
STAR merebut 6 kursi DUN dalam PRU di Sabah. Total perolehan kursi GRS di Sabah hasil PRU, Sabtu, 26 September 2020, di mana ada STAR di dalamnya, mencapai 38 kursi dari 73 kursi diperebutkan.
Sisanya 35 kursi milik koalisi Warisan Sabah, milik Syafie Abdal. Kalah dalam PRU 2020, membut Syafie Afdal mesti turun dari jabatannya sebagai Ketua Menteri Sabah, untuk diganti Datuk Hajiji Mohammad Noor, dengan 3 orang Deputi Ketua Menteri, yaitu Jeffrey G Kitingan, Moktar Radi dan Joachim Gunsalam.
Perolehan kursi DUN di Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak di Pulau Borneo, selalu menjadi acuan di dalam menentukan koalisi pemerintahan di tingkat federal, karena jumlah kursi diperebutkan cukup banyak, dengan memperhitungkan luas wilayah dan jumlah masyarakat pemilih.
Geopolitik Borneo
Jeffrey G Kitingan, profil pejuang sejati. Hidup matinya semata-mati untuk masyarakat Dayak di Sabah. Pernah dipenjara tanpa proses pengadilan selama 2,7 tahun oleh Perdana Menteri Mahathir Mohammad, di bawah undang-undang darurat sangat represif, yaitu Internal Security Act (ISA) atau Akta Keselamatan Dalam Negeri.
Pada 10 Mei 1991 pagi, Jeffrey G Kitingan ditangkap ISA, dan tiga hari kemudian, 13 Mei 1991, dijebloskan di Penjara Kepayan, Sabah. Sore hari, 13 Mei 1991, Jeffrey diterbangkan ke Kuala Lumpur.
Jeffrey, adik kandung Josep Pairin Kitingan (80 tahun), Ketua Menteri Sabah, 1985 – 1994, ditangkap, karena aktifitas politiknya di Partai Bersatu Sabah (PBS), saat itu, di dalam menuntut hak-hak masyarakat Sabah sejak bergabung dengan Federasi Malaysia terhitung 13 Septemer 1963, dinilai bisa mengancam stabilitas keamanan di dalam Negeri.
Sebelum ditangkap ISA, Jeffrey G Kitingan, pernah sembunyi berbulan-bulan di salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan Barat, untuk menghindari pengejaran aparat kepolisian Malaysia. Tapi saat akan kembali masuk ke wilayah Sarawak lewat jalan setapak, untuk melanjutkan perjalanan ke Sabah, Jeffrey G Kitingan ditangkap Polisi Malaysia.
Setelah menjalani status tahanan politik selama 2,7 tahun, dengan berbagai bentuk teror fisik dan mental, Jeffrey, akhirnya dibebaskan tahun 1994, sehingga bisa kembali berkumpul dengan keluarganya di Sabah. Seiring situasi kehidupan politik di Malaysia semakin kondusif, ISA akhirnya dihapus.
Jeffrey G Kitingan, memilih menjadi Deputi Ketua Menteri Sabah, karena sangat memahami geopolitik di Pulau Borneo.
Lihat saja, politisasi kedatangan imigran gelap Suku Sulu dari Filipina yang tiba-tiba bisa memiliki hak memilih setiap kali digelar PRU di Sabah. Tahun 1985, misalnya, Presiden Partai Bersatu Sabah (PBS), Datuk Josep Pairin Kitingan, barhasil menjadi Ketua Menteri di Sabah hingga tahun 1994, karena keterpilihan kalangan masyarakat Suku Dayak di Sabah bisa diandalkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedatangan imigran illegal Suku Sulu menjadi problem politik tersendiri, ketika mereka memiliki hak memilih, sementara sesuai ketentuan warga asing tidak punya hak untuk itu.
Hak pilih bagi warga imigran illegal Suku Sulu, ini, membuat Koalisi Warisan Sabah, bisa menghantarkan Syafi Afdal menjadi Ketua Menteri Sabah, sebelumnya. Ini yang sering diprotes kelompok Jeffrey G Kitingan, hingga sempat menggelar aksi unjuk rasa di Kota Kinabalu.
Jeffrey G Kitingan, menjadi Deputi Ketua Menteri Sabah, bertujuan paling tidak menertibkan kedatangan imigran illegal dari Suku Sulu. Karena berbagai bentuk instabilitas keamanan regional, seperti berbagai kasus kriminal di Sabah dalam dua dasawarsa terakhir, identik dengan Suku Sulu.
Imigran illegal Suku Sulu ini, menguasai perekonomian sektor riil di Sabah, seperti pekerja buruh kasar, petugas keamanan mandiri, pekerja kebun milik warga lokal dengan upah murah, sehingga membuat peluang serupa bagi penduduk asli menjadi hilang.
Tugas lain bagi Jeffrey G Kitingan, karena ada di koalisi Barisan Nasional lewat Gabungan Rakyat Sabah (GBS) akan mempermudah akses untuk menuntut hak-hak masyarakat Sabah terhadap royalti hasil minyak bumi sebagaimana hasil perjanjian saat bergabung dengan Federasi Malaysia tahun 1963.
Jeffrey G Kitingan, kemudian akan memainkan peranan penting di balik klaim Filipina atas kepemilikan Pulau Sabah berdasarkan historis, sehingga mengundang berbagai implikasi sensitifitas politik di Federasi Malaysia.
IKN, Kecurangan Indonesia
Bagi Federasi Malaysia, terutama di tingkat Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, berdasarkan pengumuman Presiden Joko Widodo, Senin, 26 September 2019, memiliki penilaian tersendiri.
Malaysia melihat tidak lebih dari bentuk kecurangan dan kelicikan Indonesia, di dalam menghadapi geopolitik di Pulau Borneo, sehubungan memanasnya konflik perebutan kepemilikan di Laut China Selatan.
Suka atau tidak suka, pada kenyataannya, Kalimantan dengan Suku Dayak sebagai penduduk asli, harus siap-siap jadi bumper (penahan/penyangga) berbagai potensi konflik/pertarungan berebut pengaruh antara Amerika Serikat dan China di Asia Pacifik, pasca Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019, mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.
Lokasi IKN berada di bagian utara pesisir Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) dan Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Provinsi Kalimantan Timur. Persis di pertemuan wilayah Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Jadi bumper pertarungan kepentingan antara China dan Amerika Serikat, sehubungan di sektor barat dan utara di Pulau Kalimantan, tengah terjadi konflik kepemilikan terhadap perairan Laut China Selatan. Amerika Serikat campur tangan di dalam perebutan pengaruh, dengan berada di belakang negara-negara yang berseteru dengan China masalah kepemilikan perairan Laut China Selatan.
Selaku politisi senior yang memiliki akses berdiskusi dengan berbagai pengamat politik dan kalangan intelijen, baik dalam maupun luar negeri, maka Datuk Jeffrey G Kitingan, sangat menyadari kondisi yang terjadi di Laut China Selatan, dan sikap licik dan curang yang ditempuh Pemerintah Indonesia.
Ini salah satu potensi sumber konflik cukup menonjol di awal abad ke-21. Sudah diperingatkan Henry Alfred Kissinger, Peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1973, dimana pasca Perang Dingin, sumber konflik akan beralih kepada perebutan sumber daya alam (A.M. Hendropriyono, 2013).
Henry Alfred Kissinger, lahir pada 27 Mei 1923, merupakan seorang politisi, diplomat, dan konsultan geopolitik Amerika Serikat yang menjabat sebagai Sekretaris Amerika Serikat Bidang Keamanan Negara.
Henry Kissinger, seorang Yahudi, melarikan diri dari Nazi Jerman bersama keluarganya pada tahun 1938, menjadi Penasihat Keamanan Nasional pada tahun 1969 dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun 1973. Atas jerih payahnya menegosiasikan gencatan senjata di Vietnam, Henry Kissinger menerima Hadiah Nobel Perdamaian 1973.
Momentum Geopolitik
Dari aspek geopolitik, pemindahan IKN dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, menempatkan posisi Indonesia agar cermat menghadapi perebutan pengaruh global di sektor barat dan utara Kalimantan, sehubungan semakin memanasnya situasi di Laut China Selatan.
Indonesia mesti jeli memanfaatkan momentum geopolitik, dengan tetap berpegang kepada kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Indonesia menyampaikan visi Poros Maritim Dunia yang menekankan arti penting peningkatan kerja sama maritim baik di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sebagai Single Geo-Strategic Theatre.
Konsep Pemerintah Republik Indonesia, menanggapi skema satu sabuk satu jalan atau One Belt One Road (OBOR) pada tahun 2013 dan pada tahun 2020 berubah menjadi Belt Road Initiative (BRI) yang diusung Pemerintah China di Asia Pacifik.
Demi membendung pengaruh BRI, pihak Amerika Serikat mengembangkan Indo-Pasifik bersama Australia, Jepang, dan India, lewat konsep Official Development Assistance (ODA) untuk mempromosikan Free and Open Indo-Pacific Strategy (FOIPS).
Potensi pemicu konflik global pada abad ke-20 dan abad ke-21 memang berbeda. Abad ke-20, merupakan era Perang Dingin, perang ideologi sosialis komunis dan dan ideologi kapitalis liberalis, 1945 – 1991. Abad ke-21 merupakan era hegemoni perebutan sumberdaya alam.
Pasca Perang Dunia II (saat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu di bawah kendali Amerika Serikat, 14 Agustus 1945), muncul pertarungan ideologi saling berhadap-hadapan antara Amerika Serikat dan Union of Soviet Socialist Republics (USSR).
Amerika Serikat mengusung ideologi kapitalis liberalis beranggotakan Negara Barat (Inggris, Australia, Selandia Baru, Perancis). USSR beranggotakan China, menganut ideologi sosialis komunis.
Dalam Perang Dingin, China secara mengejutkan memilih mendekat Amerika Serikat melalui penandatangan Komunike Shanghai pada 28 Februari 1972, supaya bisa menerima transfer teknologi pembangunan reaktor nuklir yang tidak pernah ditepati USSR.
Perang Dingin berakhir, setelah USSR bubar menjadi Federasi Rusia pada 25 Desember 1991, menandai runtuhnya ideologi komunis global.
Di awal abad ke-21, pemicu pontensi konflik global, perebutan sumber daya alam. Pertarungan hegemoni di awal abad ke-21 terjadi antara guru dan murid, yaitu antara Amerika Serikat dan China. Sebuah pertarungan hegemoni di dalam perebutan kepemilikan Laut China Selatan.
China yang selama Perang Dingin (1945 – 1991) menjadi murid yang baik demi mengantongi kemampuan membangun ekonomi, reaktor nuklir dan teknologi inovasi lainnya, kini secara lantang menantang gurunya sendiri, yaitu Amerika Serikat di dalam mengklaim kepemilikan terhadap Laut China Selatan.
Peran China di IKN
Dengan melihat sejarah pergolakan politik di Pulau Kalimantan, dimana wilayahnya milik tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, maka Pemerintah Republik Indonesia, harus jeli melihat keamanan ibu kota baru Republik Indonesia, khususnya Pulau Kalimantan, karena lokasinya terkepung di antara armada maritim Amerika Serikat dan China.
Ibu Kota Negara di Kalimantan, Indonesia berpotensi menjadi bumper dari pertarungan global antara Amerika Serikat dan China di Asia Pasifik.
Inggris terutama Amerika Serikat, lebih dahulu menguasai wilayah itu (Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam) sebagai salah satu sphere of influence (wilayah pengaruh), sejak menjajah negara-negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam (sebagai sekutu Inggris), dan Filipina (sebagai sekutu Amerika Serikat).
China menyadari wilayah Asia Tenggara ini sebagai sphere of influence-nya wilayah Barat (Tagar.id, Jumat, 6 September 2019). Ini pula yang disadari kalangan politisi Malaysia, termasuk Datuk Jeffrey G Kitingan yang sekarang menjadi Deputi Ketua Menteri Sabah.
Dalam kondisi inilah, bisa dipahami, apabila muncul pendapat sementara pihak, bahwa China memang ada di balik skema pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.
Apalagi, Pemerintah Republik Indonesia sepertinya tertarik dengan skema satu sabuk satu jalan atau One Belt One Road (OBOR) pada tahun 2013 dan pada tahun 2020 berubah menjadi Belt Road Initiative (BRI) yang diusung Pemerintah China.
Pemindahan IKN Indonesia dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, dipandang Pemerintah China sebagai negara yang netral di Asia Tenggara di dalam merebut pengaruh di Laut China Selatan, karena tidak ikut dengan sikap politik saling klaim.
China memiliki kepentingan untuk mengimbangi kekuatan Amerika Serikat dan sekutu di sekitar wilayah Kalimantan bagian utara dan barat dikelilingi Laut Cina Selatan, dengan menarik simpati Indonesia.
Apa lagi, jika Amerika Serikat mengembangkan Indo-Pasifik bersama Australia, Jepang, dan India untuk membendung skema OBOR atau BRI yang diusung Pemerintah China.
Ketika Ibu Kota Negara Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, maka posisi Kalimantan berpotensi sebagai menjadi sasaran tembak dua kubu, yaitu Amerika Serikat dan China. Posisi Kalimantan sangat strategis.
Kalimantan wilayah Indonesia yang akan jadi pusat keseimbangan (episentrum). Akan tetapi, kalau musuh di sana, Kalimantan akan terkepung (Tagar.id, Jumat, 6 September 2019).
Sabah dan Sarawak (Malaysia) dan Brunei Darussalam, berada pada titik keseimbangan itu, bersama Provinsi Kalimantan Utara dan dan Provinsi Kalimantan Barat di di Indonesia.
Kalimantan secara posisi sangat strategis. Pulau terbesar di Indonesia itu dekat dengan Sulawesi, Pulau Jawa, bahkan Selat Malaka dan Filipina. Tetapi, pada saat yang sama, hal itu bisa menjadi titik rawan, karena posisinya yang serba dekat.
Titik rawan itu disebabkan pertarungan global Amerika Serikat dan China sekarang ada di Laut Cina Selatan.
Apalagi, sejak masa pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama (20 Januari 2009 – 20 Januari 2017) yang membuat Maritime Security Plan for Asia-Pacific, sekarang ada 60 persen kapal perang Amerika Serikat berada di perairan di Laut Cina Selatan.
China sadar itu. Akan tetapi, China tidak akan berani frontal secara militer menghadapi kekuatan militer Amerika Serikat dan sekutunya (Inggris, Perancis, Belanda, Australia, Selandia Baru).
Hal ini yang harus jeli dilihat Pemerintah Republik Indonesia, Malayasia dan Brunei Darussalam sehubungan geopolitik Pulau Kalimantan, bahwa situasi di Barat dan Utara di Pulau Kalimantan, sedang tidak normal, bahkan menjadi perebutan antar angkatan laut Amerika Serikat dan China (Tagar.id, Jumat, 6 September 2019).
Indonesia dalam BRI
Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi kebijakan yang datang dari China dengan melakukan pengawalan terhadap kepentingan nasional Indonesia dalam BRI.
Visi Poros Maritim Dunia harus menjadi acuan dalam melakukan upaya pembangunan di sektor ekonomi dan pertahanan Indonesia, sehingga dalam praktiknya keberadaan BRI 21 Century Maritime Silk Road bisa memberikan keuntungan absolut bagi Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui kementerian terkait seperti Kementerian Koordinator Ekonomi dan Maritim perlu memaksimalkan implementasi kebijakan kelautan nasional yang sudah ada, sehingga tercipta sinergitas dalam upaya pembangunan ekonomi berkelanjutan di bidang maritim (Samti Wira Wibawati, Marina Ika Sari & Yuli Ari Sulistyani, 2018).
Selanjutnya, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, seyogyanya memanfaatkan posisi penting dalam aktivitas kerjasama ekonomi dalam BRI, seperti melakukan peningkatan kualitas dari setiap komoditas ekspor dengan melakukan intensiikasi dan/atau ekstensiikasi sehingga produk domestik dapat bersaing dengan produk impor.
Kemudian Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, memegang peranan penting terutama untuk meminimalisir masifnya jumlah tenaga kerja asing dengan menegaskan aturan mengenai jumlah tenaga kerja asing yang dapat diserap jika para investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemangku kepentingan lainnya yang juga turut berperan dalam upaya menjaga kepentingan nasional Indonesia ialah Kementerian Luar Negeri bersama Kementerian Pertahanan dan TNI khususnya TNI AL, yang dalam hal ini perlu mensinergikan kebijakan yang memperkuat posisi strategis Indonesia di kawasan ini.
Upaya pemaksimalan kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan anggaran postur pertahanan Indonesia dan proyeksi kekuatan laut yang dilalui BRI yaitu di Selat Malaka dan Kepulauan Natuna (Samti Wira Wibawati, Marina Ika Sari & Yuli Ari Sulistyani, 2018).
Indonesia sendiri, boleh saja khawatir dengan skema One Belt One Road (OBOR) atau BRI Cina.
Namun upaya empat negara (Amerika Serikat, Australia, Jepang dan India) untuk membangun Infrastruktur Regional Bersama menyaingi BRI China, kiranya perlu juga diwaspadai potensinya untuk melakukan ekspansi ekonomi dan perdagangan di Asia Pasifik. Seraya meningkatkan kekuatan politik dan militernya melalui persekutuan Quad.
Persekutuan empat negara yang kemudian disebut Quad yang melibatkan Amerika Serikat, Australia, Jepang dan India, dalam jangka pendek ini agaknya ditujukan sepenuhnya untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik.
Utamanya di sektor maritim. Dalam pertemuan para pejabat senior keempat negara tersebut pada akhir 2017, sepakat membentuk Dialog Keamanan Empat Negara atau Quad.
Namun yang menarik seturut dengan terbentuknya persekutuan empat negara tersebut adalah upaya bersama untuk membangun infrastruktur dalam rangka meningkatkan perdagangan global. Ini menarik, sebab berarti keempat negara blok Barat tersebut mengakui semakin meningkatnya pengaruh ekonomi dan perdagangan China (Hendrajit, 2018).
Selain itu, terkait Kebijakan Jalur Sutra Maritim yang dicanangkan Presiden Cina Xi Jinping yang kemudian menjelma menjadi One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI), keempat negara blok Barat itu memandang kebijakan maritim China yang diarahkan ke Asia Pasifik ini merupakan ancaman.
Maka, gagasan untuk membangun infrastruktur dalam rangka meningkatkan perdagangan global, sejatinya merupakan Kontra Skema terhadap Skema BRI pihak Cina.
Ternyata hal ini bukan sekadar wacana atau omong kosong. Februari 2018, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, menyatakan bahwa para pejabat senior Australia, Amerika Serikat, Jepang dan India tengah membahas pembangunan Infrastruktur Regional bersama.
Secara terang-terangan menggambarkan skema Pembangunan Infrastruktur Regional Bersama itu sebagai alternatif dari proyek BRI China.
Meskipun seorang pejabat senior pemerintahan Amerika Serikat mengakui bahwa gagasan ini masih belum matang, namun adanya rencana untuk menindaklanjuti pembahasan skema ini antara Presiden Amerika Serikat Donald John Trump (20 Januari 2017 – 20 Januari 2020) dan Perdana Menteri Australia Melcolm Tumbul, mengindikasikan betapa penting dan strategisnya skema Pembangunan Infrastruktur Regional Bersama ini sebagai tandingan dari BRI diusung China.
Meskipun Persekutuan Quad mengistilahkan skema ini sebagai alternatif, namun sesungguhnya ini merupakan tandingan dan ditujukan untuk menyaingi proyek BRI China. Seperti dilansir Kantor Berita Reuters, Februari 2018, seorang pejabat senior Amerika Serikat mengeritik skema BRI sebagai proyek yang tidak ekonomis.
China bisa saja membangun pelabuhan, namun belum ekonomis. Amerika Serikat bisa membuatnya lebih ekonomis dengan membangun jalan dan rel yang terhubung dengan pelabuhan itu.
Antisipasi Persekutuan Quad
Menghadapi tren global ini, maka bagi Indonesia dan Association of South East Asian Nation (ASEAN) harus memandang persekutuan Quad dan skema Pembangunan Infrastruktur Regional Bersama sebagai satu kesatuan untuk menandingi semakin kuatnya pengaruh Cina di Asia Pasifik.
Maka dari itu, Indonesia dan ASEAN, mengantisipasi manuver politik dan diplomatik persekutuan Quad dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dan KTT Asia Timur November 2018.
Pemerintah Republik Indonesia resmi konsep Indo-Pasifik secara komprehensif dan lengkap dalam KTT ke-13 Asia Timur di Suntec Convention Centre, Singapura, Kamis, 15 Nopember 2018.
Pada pertemuan East Asian Summit (EAS) tahun 2014, Indonesia menyampaikan visi Poros Maritim Dunia yang menekankan arti penting peningkatan kerja sama maritim baik di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sebagai Single Geo-Strategic Theatre.
Indonesia menyerukan agar Samudera Hindia – Samudera Pasifik tetap damai dan aman, serta tidak dijadikan ajang perebutan sumber daya alam (Antaranews.com, Kamis, 15 November 2018).
Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia secara konsisten terus mendorong kerja sama terkait isu-isu kemaritiman sebagai bentuk terjemahan visi maritim Indonesia. Pada tahun 2017, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Indian Ocean Rim Association (KTT IORA), KTT pertama IORA dan menghasilkan “Jakarta Declaration and Plan of Action”.
Pada 29 – 30 Oktober 2018, Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan ke-5 Our Ocean Conference yang menghasilkan komitmen “multistakeholders” mengenai Ocean.
Pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia juga menjadi tuan rumah Indonesia – Africa Maritime Dialogue, 29 Oktober 2018 yang menekankan kerja sama pada dua hal yaitu ‘sustainable fisheries’ dan ‘maritime security’ (Antaranews.com, Kamis, 15 November 2018).
Indonesia mengingatkan bahwa kerja sama maritim juga terus dikembangkan bersama ASEAN. Saat ini, Indonesia bersama ASEAN sedang mengembangkan satu konsep kerja sama “Indo-Pasifik”.
Indonesia siap berdiskusi secara terbuka mengenai konsep Indo-Pasifik di dalam KTT Asia Timur. Banyak sekali negara yang bicara mengenai Indo-Pasifik. Hal itu menunjukkan bahwa isu Indo-Pasifik itu menjadi perhatian bagi kepala negara lain.
Indonesia menyampaikan bahwa pengembangan kerja sama Indo-Pasifik ini tidak memerlukan pembentukan sebuah institusi baru.
Pengembangan kerja sama Indo-Pasifik dilakukan melalui penebalan kerja sama antara negara peserta East Asian Summit (EAS), dan ke depan, penting untuk meningkatkan kerja sama dengan mitra lain di Samudera Hindia (Antaranews.com, Kamis, 15 November 2018).
Hal ini mesti digarisbawahi, karena Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan AS sudah mengisyaratkan bahwa Amerika Serikat, Jepang, India dan Australia akan mengadakan pembicaraan di Manila, yang bersamaan momentumnya dengan KTT ASEAN dan Asia Timur. (Hendrajit, 2018)
Bagi Indonesia dan ASEAN, konsepsi dan skema Pembangunan Infrastruktur Regional Bersama dan konsepsi Indo Pasifik nampaknya juga harus dibaca sebagai satu rangkaian yang terintegrasi. Untuk membendung pengaruh China khususnya dalam bidang pembangunan maritim.
Dalam istilah negara-negara yang tergabung dalam Quad, mereka berupaya membangun visi bersama meningkatkan kemakmuran dan keamanan di wilayah Indo-Pasifik, seraya secara bersama-sama memastikan kawasan Indo-Pasifik tetap bebas dan terbuka. Jelas ini merupakan skema perdagangan bebas khas Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Adapun terkait dengan persekutuan Quad, keempat negara sepakat untuk memperkuat kerjasama di bidang keamanan dan sebagai alternatf koordinasi pembayaran infrastruktur regional yang ditawarkan Cina.
Dengan begitu jadi jelas, bahwa konsepsi Indo-Pasifik, Quad, dan Infrastruktur Regional Bersama, merupakan satu rangkaian terintegrasi dan tak terpisahkan satu sama lain.
Free and Open Indo-Pacific Strategy
Selain daripada itu, skenario Jepang dalam keikutsertaannya dalam persekutuan Quad dan Skema Indo-Pasifik juga perlu perhatian khusus para stakeholders kebijakan luar negeri Republik Indonesia, Malaysia dan Malaysia, berkaitan geopolitik Pulau Borneo.
Meskipun Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Saga mengatakan bahwa skema Infrastuktur Regional Bersama bukan dimaksudkan untuk menyaingi China, namun pada sisi lain Jepang mengisyaratkan ekspansi ekonomi yang tak kalah berbahaya bagi Indonesia dan ASEAN ke depan (Hendrajit, 2018).
Yaitu rencana Jepang untuk menggunakan Official Development Assistance (ODA) untuk mempromosikan Free and Open Indo-Pacific Strategy (FOIPS). Ini tentu saja mengkawatirkan dalam jangka panjang bagi Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam di dalam melihat geopolitik Pulau Borneo.
Bukan sekadar soal strategi membendung China, namun konsepsi Indo-Pasifik pada perkembangannya bisa mengkondisikan pergantian peta Asia Pasifik yang lebih menguntungkan persekutuan Blok Barat yang dimotori oleh Quad.
Maka dari itu, skema Infrastruktur Regional Bersama maupun skema Jepang dalam kerangka Free and Open Indo-Pacific Strategy, tidak boleh dipandang hanya sebagai mekanisme kerjasama ekonomi saja. Namun harus dipelajari dan diverifikasi dampak buruknya bagi geopolitik Indonesia dan ASEAN pada umumnya (Hendrajit, 2018).
Dalam perspektif inilah kita mesti melihat keputusan Jeffrey G Kitingan lebih memilih menjadi Deputi Ketua Menteri Sabah, hasil Pemilihan Raya Umum (PRU), Sabtu, 26 September 2020. (*)
Penulis, adalah Wartawan, Penulis Buku dan Sekretariat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) dan Dayak International Organization (DIO) di Pontianak.