GMNI Ikut aksi unjuk rasa penolahan Omnibus Law Cipta Kerja

Forum Cipayung Plus Nasional Minta Batalkan UU Cipta Kerja

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR beberapa waktu lalu menimbulkan gelombang penolakan yang sangat besar di masyarakat. Menanggapi hal tersebut, forum Cipayung Plus nasional yang terdiri dari GMNI, HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM, KAMMI, KMHDI, LMND dan HIKMABUDI melakukan aksi massa dalam jumlah besar di Istana Negara pada Kamis, 8 Oktober 2020.

Dalam orasinya, mereka mendesak pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja tersebut karena dianggap lebih memihak ke investor daripada rakyat kecil.

Sekretaris Jenderal DPP GMNI Sujahri Somar mengatakan aksi massa yang cukup besar ini menandakan bahwa masyarakat sudah tidak percaya pemerintah dan DPR. Apalagi, titik aksi tidak hanya terpusat di Jakarta, namun juga terjadi di seluruh daerah di Indonesia.

Gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat dalam skala nasional, dari tingkat daerah sampai ke pusat. “Kami (DPP GMNI) telah mengeluarkan surat instruksi agar DPC dan DPD GMNI di seluruh tanah air ikut menyikapi terbitnya UU Cipta Kerja ini”, ujar Sujahri.

Sujahri menjelaskan GMNI bersama dengan seluruh organisasi pemuda yang tergabung dalam forum Cipayung Plus nasional melakukan aksi massa karena menganggap UU Cipta Kerja yang disahkan DPR tidak sesuai dengan semangat Pancasila, khususnya sila ke-5.

“Kami bersama seluruh elemen forum Cipayung Plus nasional bersepakat untuk menolak UU Cipta Kerja ini dan mendesak pemerintah untuk segera mencabut UU tersebut. UU ini sangat tidak sesuai dengan semangat pancasila dan pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,”jelas Sujahri.

Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja ini berpotensi mengebiri hak hidup masyarakat kecil dan menguntungkan para investor dan oligarki. Untuk itu,  kawan-kawan  sepakat akan mengajukan Judicial Review terhadap pasal-pasal yang bermasalah di dalam UU Cipta Kerja ini.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi juga turut memberikan keterangannya terkait disahkannya UU Cipta Kerja ini. Ia beranggapan bahwa pemerintah tidak kreatif dalam mencari solusi menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

“Negara membuka keran impor seluas-luasnya yang berpotensi mengancam petani, buruh, dan masyarakat lain seperti sektor ekonomi perikanan, perkebunan, peternakan, dll. Dari konsep awal RUU ini pemerintah terkesan tidak kreatif dan inovatif dalam menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia, namun lebih memilih bergantung dan mengandalkan investasi asing”, ungkap Imanuel.

Imanuel juga menjelaskan mengenai berbagai pokok persoalan yang dianggap menimbulkan kontroversi di masyarakat.

“Muatan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja sangat bernuansa eksploitatif di seluruh sektor ekonomi. Ruang impor komoditas dan produk tani dibuka lebar-lebar. Ruang impor bibit dan ternak dibuka lebar-lebar,”kata Imanuel.

Di sektor perkebunan, modal asing diberikan ruang selebar-lebarnya untuk masuk dengan dalih azas kemanfaatan. Ruang impor dan komoditas produk perikanan dan pergaraman dibuka lebar-lebar. Eksistensi hutan lindung terancam. Eksploitasi besar-besaran di sektor pertambangan. Hak-hak buruh dan tenaga kerja terabaikan. “Terakhir, metode Omnibus Law bertentangan dengan metode pembentukan suatu undang-undang di Indonesia”, pungkasnya.

Aksi tersebut awalnya berjalan damai yang dimulai dengan long march dari Margasiswa ke Istana Negara. Massa aksi dari forum Cipayung Plus nasional kemudian bergabung dengan kelompok aksi lain yang sudah lebih dulu melakukan aksi di Istana Negara.

Namun, saat orasi sedang berlangsung, pihak keamanan menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa secara paksa. Massa aksi yang didesak mundur oleh aparat kemudian sebagian memisahkan diri dan melanjutkan aksi menuju Senayan.

Aksi yang terjadi di Istana Negara akhirnya berujung ricuh karena pihak aparat mendesak massa aksi menggunakan gas air mata. Terdapat sedikitnya belasan orang yang harus diangkut ambulance untuk diberi pertolongan pertama.

Kecewa dengan sikap aparat yang tidak mengakomodir keinginan peserta aksi, massa aksi akhirnya meluapkan kekecewaannya dengan bertindak anarkis, membakar salah satu pos polisi di Perempatan Bawaslu. Massa aksi akhirnya membubarkan diri pada pukul 5 sore.

Menurut keterangan Sujahri, terjadinya pembakaran pos polisi itu bukan merupakan tindakan dari kelompok Cipayung Plus, melainkan dari kelompok lain yang tidak dikenal.

“Itu bukan kita (Cipayung Plus), itu bagian dari massa aksi yang lain yang sudah lebih dulu aksi di Istana Negara. Kita tidak pernah menginstruksikan kepada kader-kader untuk berbuat anarkis. Konsep kita dari awal ingin aksi damai dan menyampaikan aspirasi kita agar didengar oleh Pak Presiden”, tutup Sujahri. (pr)