Febri, Ferdi dan Agus

Loading

Independensi – Ada berita menarik dari tiga figur berbeda dalam beberapa waktu terakhir. Ketiganya membuat keputusan penting berdasarkan nuraninya. Yakni mereka  mengundurkan diri dari instansinya masing-masing.

Febri Diansyah mengakhiri tugasnya sebagai juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelutinya sejak 2016, untuk menggantikan posisi Johan Budi yang memilih menjadi anggota DPR.

Febri mengundurkan diri setelah merasa dirinya tidak cocok lagi dengan langgam kerja dan kebijakan badan anti rasuah itu yang mungkin terjadi pergeseran setelah Undang-undang baru.

Di akhir masa tugasnya Sabtu, 17 Oktober 2020, Febri memamerkan slip gaji sewaktu masih diterima secara fisik dalam amplop bertuliskan “Penghasilanku berasal dari rakyat”, mengingatkan bahwa hasil keringat rakyatlah yang diterima para abdi negara itu termasuk KPK, sarat dengan pesan moral, mengingatkan supaya tidak korupsi, sebab tindak pidana seperti itu adalah “perampokan” atas hak-hak rakyat.

Febri yang berpenampilan tenang, sopan dan ucapannya runut dengan bahasa sederhana dan gampang dimengerti, sangat menguasai persoalan dan peraturan perundang-undangan, karenanya mudah baginya untuk mematahkan berbagai “serangan” termasuk dari anggota DPR.

Ada hal yang menarik, ketika Febri menyebutkan dari analisis pemberitaan dan media sosial, serta kombinasi review reputasi organisasi yang dilakukan Biro Humas KPK, terpotret harapan publik pada KPK.  Yaitu: pertama; KPK menangani kasus korupsi kakap (pelaku high level).

Kedua; Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sangat dirindukan. Ketiga; Pencerahan yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, termasuk sumber daya alam. Keempat; Komunikasi yang utuh tak berjarak (tidak hanya formalitas dan seremonial) pada jejaring anti korupsi.

Hal-hal tersebut di atas sekarang seolah telah sirna.

Febri, selama di KPK, merasa menjadi manusia seutuhnya dan bukan hanya pencari penghasilan semata. Mungkin apa yang dia kerjakan menyatu hati, jiwa dan pikirannya.

Dia menunjukkan kepribadiannya, sederhana dan tidak mencari publitas apalagi sensasi, dia justru memberi dorongan agar KPK tetap bersemayam di hati rakyat. Kalau dibandingkan dua tiga tahun lalu, KPK mengisi ruang dan waktu televisi, pemberitaan hasil OTT, tuntutan sampai putusan majelis hakim.

Sekarang semuanya telah tiada. Padahal itu sangat dirindukan pencinta pemberantasan korupsi. Mungkin itulah salah satu keprihatinan Febri, ketajaman pisau bedah yang dimiliki KPK seperti sudah disarungkan dan tidak termanfaatkan lagi.

Selain Febri ada lagi yang mengundurkan diri dari “habitatnya” yaitu politisi Ferdinand Hutahaean, mundur sebagai kader Partai Demokrat.  Kita tidak tahu alasan dan masalah yang menjadi alasan mereka, hanya kita ingin mengemukakan adanya keberanian moral untuk mundur yang didasarkan (semoga) berdasarkan hati nuraninya.

Mundur dan berganti partai sudah hal biasa di era multi partai ini, partai sama saja berideologi Pancasila, penjabarannya dalam menampung dan menyalurkan aspirasi saja mungkin yang berbeda tergantung dari untung rugi partai tersebut.

Bagi Partai Demokrat juga hal seperti itu sudah biasa, akan tetapi alasan mundur Ferdinand kepada media yang sedikit tanda tanya, ada apa? Walaupun tidak perlu dijawab.

Dia mengatakan kini menjadi pendukung Pemerintahan Joko Widodo, dirinya bukan penjilat kekuasaan. Keberpihakannya kepada pemerintah merupakan keberpihakan kepada negara. Ditambahkannya, pemerintah sedang bekerja keras, “tapi di sisi lain ada sekelompok orang berpolitik untuk kelompok, bahkan tega merusak NKRI, saya akan lawan”.

Bahasa dan perilaku politik susah diduga, dan butuh waktu menyimpulkan serta wujud-nyatanya, tentu Ferdinand tidak sembarang atas pernyatannya itu. Apakah ungkapan itu benar, atau mungkin saja yang lain, dia kecewa karena sesuatu? Itu akan terlihat kemudian walau tidak ada pengaruh.

Tetapi kita harus angkat topi kepada Febri Diansyah dan Ferdinand Hutahaean, yang berani mundur dari suatu komunitas yang menempa dirinya, tetapi harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan hati nuraninya, yang sudah jarang kita temui. Selamat berkarya di tempat lain Bung Febri dan Bung Ferdi.

AKP Agus Hendro Tri Susetyo

Masih ada satu lagi yang perlu kita catat tentang pengunduran diri ini, yaitu Kasat Sabhara Polres Blitar Jawa Timur, AKP Agus Hendro Tri Susetyo yang sudah sempat mengajukan pengunduran diri karena diperlakukan tidak senonoh oleh atasannya.

Walaupun telah mengemukakan kepada isterinya: “jangan khawatir, kita masih bisa makan pake garam”, dengan pengunduran dirinya, tetapi ternyata niat itu “patah” di tengah jalan, malah AKP Agus Hendro Tri Susetyo berpelukan dengan atasannya, pada hal sudah dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan oleh Polda Jawa Timur.

Damai itu memang indah, mungkin itulah alasan Polda Jawa Timur menangani kasus tersebut sehingga tidak dituntaskan, semoga AKP Agus Hendro Tri Susetyo ikhlas, kepribadiannya tidak “hilang”. Pengabdian baru menanti Febri dan Ferdi. (Bch)