JAKARTA (IndependensI.com) – Sudah 92 Tahun yang lalu, tepatnya di bulan Oktober 1928 generasi muda terbaik bangsa ini mengikrarkan diri tentang satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda. Jika kesadaran kebangsaan ini masih kokoh, bangsa ini tidak akan pernah merasa silau dengan ideologi impor yang kerap meracuni generasi muda kita.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Prof Dr Faisal Abdullah, SH, MSi, DFM, mengatakan bahwa peringatan hari Sumpah Pemuda harus dijadikan momentum untuk mengajak masyarakat Indonesia khususnya pemuda-pemudi Indonesia untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan persatuan dalam menangkal masuknya ideologi radikal.
“Di mana seharusnya ide itu tidak berdasarkan suatu keagamaan, suku, ras maupun bahasa tertentu, tetapi membawa ideologi yang majemuk baik dari berbagai agama, suku, ras dan bahasa yang ke depannya itulah yang bisa melahirkan suatu ideologi yang bernama Pancasila hingga saat ini. Bangsa ini tetap kokoh dalam menjaga persatuan dan nilai-nilai kebangsaan,” ujar Faisal Abdullah di Jakarta, Senin (2/11/2020).
Faisal menuturkan bahwa itulah yang seharusnya dilakukan oleh para tokoh bangsa, tokoh masyarakat maupun oleh para pemuda-pemudi itu sendiri saat ini. Jadi kesadaran kebangsaan itu tidak boleh hilang dalam jati diri para pemimpin bangsa dan pemuda itu sendiri. Karena menurutnya tumbuhnya kesadaran kebangsaan itu bukanlah suatu hadiah.
“Di mana kesadaran kebangsaan ini merupakan suatu aktualisasai diri. Jadi kesadaran berbangsa ini memang harus tumbuh dan berkembang di dalam rumah tangga seorang pemuda itu. Mulai dari orang tuanya maupun anaknya sendiri yang mana kesadarana kebangsaan itu harus selalu dipelihara,” tuturnya.
Oleh sebab itu, pria kelahiran Pare-Pare, 24 Juni 1963 itu mengungkapkan bahwa jika hal tersebut telah berkembang menjadi suatu paham, maka dia akan dapat membentengi dirinya dengan kesadaran kebangsaan itu sendiri. Sehingga menurutnya mereka ini tidak mudah di provokasi, di adu domba atau diarahkan ke hal-hal yang tidak sesuai
“Karena itu saya selalu menyatakan bahwa rumah tangga itu merupakan awal daripada bagaimana kita membina suatu kesadaran untuk ber-nation, berbangsa dan bernegara. Sehingga bukan hanya pemuda itu sendiri yang harus menjadi pelaku, tetapi juga ada anak, ada orang tua yang harus menjadi pelaku juga,” ujar Faisal.
Lebih lanjut pria yang juga menjabat sebagai Deputi I bidang Pemberdayaan Pemuda di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI itu menyampaikan bahwa untuk merefleksi kembali Sumpah Pemuda dalam kehidupan sehari-hari itu harus menemukan satu titik yang namanya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa serta anak-anak muda mempunyai daya tangkal yang baik dalam membentengi diirnya.
“Oleh karena itu maka salah satu kegiatan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kita ini adalah bagaimana mensuplai hal-hal yang baik bagi para pemuda-pemuda kita dengan kegiatan-kegiatan yang positif,” terang Faisal.
Menurutnya hal tersebut bisa diberikan dalam pendidikan dan pengetahuan bela negara dengen membentengi mereka dari bahaya-bahaya destruktif misalnya radikalisme atau narkoba. Kemudian membangun suatu kultur yang tidak terputus dari tahun 1928 karena adanya paham-paham baru. Harus diarahkan tetap on the track guna membangun bangsa ini untuk menjadi lebih besar.
“Apalagi dengan cita-cita 100 tahun Indonesia merdeka kita sudah bisa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai bagi kita semua. Itu tentunya menjadi cita-cita para pendiri bangsa kita dahulu, sehingga kita bisa menarik benang mana yang masih rapuh dan mana yang sudah kuat,” ungkapnya.
Mudah Terprovokasi dan Minim Literasi
Dalam kesempatan tersebut Faisal juga mengatakan bahwa di era sekarang ini masih saja generasi muda yang mudah terprovokasi. Kalau hal ini dibiarkan tentunya akan sangat berbahaya bagi persatuan bangsa ini. Ini dikarenakan masih minimnya literasi yang dimiliki para anak muda sehingga mereka mudah terprovokasi akibat adanya hoaks dan ujaan kebencian yang disebar melalui media sosial.
“Generasi muda ini tentunya masih banyak yang jiwanya masih labil. Bahkan di masyarakat luas sendiri juga masih rendah literasinya sehingga mudah terprovokasi. Tentunya hal ini kita semua harus bersama-sama memberikan literasi yang positif kepada para generasi muda agar terhindar dari konten-kontenprovokasi tersebut. Karena ini penting bagi generasi muda untuk memperkokoh NKRI,” ujarnya
Menurutnya, di era digitalisasi ini memang satu-satunya jalan adalah bagaimana intelijen di bidang cyber itu dapat berjalan dengan baik, sehingga cyber crime itu bisa berkurang Salah satunya jalan adalah memperkuat kemampuan cyber kita, baik sebagai pengetahuan maupun sebagai bentuk alat untuk menangkal.
Selain itu Faisal juga menuturkan pentingnya sosialisasi melalui IT karena banyak hoaks maupun ujaran kebencian yang beredar dimana-mana, seperti misalnya mengajak orang untuk melakukan radikalisme, atau hoaks yang membawa suatu ideologi agama tertentu, Dimana hal itu hanya dipakai sebagai alat untuk kebenaran dan keuntungan dia atau kelompoknya sendiri.
“Maka para tokoh tentunya berperan penting dalam menguatkan ideologi bangsa ini. Dimana kita ini harus selalu bersama dalam satu bangsa, satu bahasa. Kita tidak bisa mengatakan bahwa hal itu tidak demokratif, karena dalam masalah ideologi ini kita harus tetap satu, yakni ideologi Pancasila,” jelasnya.
Ia menuturkan bahwa dalam berpolitik kita boleh berbeda pandangan atau berbeda pendapat. Tetapi dalam ideologi kita harus tetap satu. Jangan ada lagi bahwa ada pihak kanan atau ada pihak kiri lalu ada pihak tengah yang mencoba untuk menggaruk dan mengorek masalah ideologi ini. Karena ideologi Pancasila ini adalah harga mati.
“Sehingga para pemuda atau anak-anak kita ini dapat belajar dan melihat bahwa tokoh-tokoh kita ini dalam membentengi dan melindungi bangsa ini dari pengaruh ideologi lain itu sudah betul-betul harga mati. Jangsa sampai ada tawar menawar lagi,” ujarnya mengakhiri.