JAKARTA (Independensi.com) – Akhmad Sahal, Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat, mengatakan, Mohammad Rizieq Shihab (MRS), pentolan Front Pembela Islam (FPI) harus dikecam dan ditentang, karena dengan inilah Umat Islam menjaga kehormatan dan marwah para habaib.
Hal itu dikemukakan Ahmad Sahal dalam channel Cokro TV: Rizieq Perusak Citra Habib, https://t.co/51loqc8mqi, Jumat, 27 Nopember 2020. MRS dituding Akhmad Sahal, merusak citra para Habib, karena perilaku buruknya yang suka menebar ujaran kebencian kepada pihak lain. Habib yang bertemperamen buruk, tidak perlu dipuji.
Menurut Akhmad Sahal, Habib merupakan bentuk penghormatan dari masyarakat, Habib merupakan keturunan yang memiliki garis lurus dengan Nabi.
Habib dihormati karena garis keturunan, temperamen yang baik, dan pengetahuan yang tinggi. Habib seharusnya tidak hanya memiliki kualitas yang disayangi, tetapi mereka juga harus penuh kasih sayang.
“Para habib tidak memiliki sifat ma’sum, ingat, hubungan darah tidak menjamin kesamaan sifat,” kata Akhmad Sahal.
Habib adalah manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan dan kelebihan. Ini karena Habib tidak memiliki sifat ma’sum yang merupakan sifat Nabi karena Allah menjauhkannya dari perbuatan dosa.
Namun, bukan berarti masyarakat tidak menghormati Habib. Menurut cendekiawan muda NU ini, masyarakat tetap harus menghormati keturunan para rasul, tetapi harus memilih mana yang akan diikuti dan mana yang tidak.
Kasus terkini yang mengaitkan MRS sebagai salah satu dalang, dianggap Sahal sebagai salah satu perilaku Habib yang menyimpang. Banyak orang awam yang mentolerir kesalahan yang dilakukan oleh Habib, dengan dalih akan mendapat pertolongan dari Nabi nanti saat hari kiamat.
“Banyak masyarakat awam yang menyebut Habib, padahal perilakunya buruk, bahkan masyarakat awam memaklumi, dan tidak merasa sang habib berperangai buruk. Karena adanya kepercayaan adanya syafaat Rasul,” tutur Akhmad Sahal.
Akhmad Sahal, menegaskan, sikap buruk Habib Rizieq yang cenderung memprovokasi merupakan tindakan yang patut dikritik karena dapat merusak citra Habib.
Direktur Nusantara Institute, dosen King Fahd University, senior scholar Middle East Institute, dan anggota Scientific Studies Association, Sumanto Al Qurtuby, mengatakan, negara yang didirikan atas fondasi Islamisme tidak bisa dan tidak akan pernah bisa maju.
“Hal itu karena Islamisme dibangung atas dasar nalar, rationale, persepsi dan argumen yang lemah, letoy, keliru, parsial dan bias,” ujar Sumanto.
“Bagaimana mungkin mau membangun sebuah negara yang super-kompleks di abad modern dengan ‘logika’ dan premis-premis kuno yang dalam banyak hal sudah tak relevan lagi?” tanya Sumanto.
Bagaimana mungkin membangun sebuah negara yang penduduknya sangat plural/majemuk dari aspek agama dan etnisitas dengan logika dan premis-premis spesifik dan partikular (misalnya, konteks kearaban)?
Bagaimana mungkin mau membangun sebuah negara melalui jalan pikiran sempit, kaku-njeku, dan saklek dan tak mau menerima perubahan dan pluralitas pemikiran?
Islamisme belum siap menjadi sebuah “ideologi politik” untuk memimpin sebuah negara modern yang kompleks dan majemuk. Islamisme juga masih terlalu prematur untuk “mengambil alih” ideologi-ideologi yang ada yang sudah sangat mapan dan mengakar.
Diungkapkan Sumanto, karena Islamisme dalam sejarahnya lahir sebagai “bayi prematur” yang belum siap dalam segala aspek. Ideologi Islamisme itu laksana ‘ejakulasi dini’ yang muncrat keluar karena pelakunya terlalu bersemangat untuk ‘mengeksekusi’.
Ia lahir terlalu buru-buru untuk merespons tumbangnya Ottoman atau Turki Usmani (untuk kasus Ikhwanul Muslimin), kolonialisme Barat (misalnya Inggris untuk kasus Islamisme di Indo-Pakistan), agresi asing (misalnya Israel untuk kasus Hizbut Tahrir), konflik internal antar faksi umat Islam (misalnya kasus rezim Taliban di Afghanistan), rezim pro-Barat (misalnya Iran era Khumaini), rezim lokal otoriter (misalnya kasus Mujahidin Irak di zaman Saddam), dlsb.
Karena sebagai respons kasus dan fenomena partikular yang mendesak dan memerlukan solusi cepat-saji, para aktivis dan ideolog Islamisme pun tanpa persiapan matang dan memadai dalam merumuskan dan menyiapkan ideologi Islamisme sebagai ‘ideologi tandingan’ atau ‘ideologi alternatif’ sebagai solusi untuk menyelesaikan problem keterpurukan umat Islam.
Akibatnya, lanjut Sumanto, dalam banyak hal Islamisme hanya sebatas ‘jargon kampanye’ untuk menggaet massa awam agama dan Muslim fanatik tapi miskin wawasan. Tetapi sebetulnya isinya atau ‘daleman’ Islamisme itu dikit, sudah begitu sangat lembek dan rapuh, dan karena itu sangat mudah dipatahkan basis rationale, argumen dan logikanya.
Karena lemah itulah, ungkap Sumanto, mengapa ideologi Islamisme dalam sejarahnya tak pernah mendulang sukses alias selalu terpuruk. Di Timur Tengah juga tidak laku dan nyaris selalu gagal dalam upaya mengambil alih kekuasaan. Para pengusungnya kini banyak yang ngumpet atau bermimikri atau mengalami proses bunglonisasi pura-pura tidak mendukung Islamisme.
Sebagian kecil masih berusaha teriak-teriak menyerukan Islamisme dan ndoboli generasi muda. Tapi hasilnya nihil alias nol-jumbo karena masyarakat lebih berpikir rasional, realistis dan pragmatis misalnya tentang mengatasi pengangguran dan keterpurukan ekonomi; meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, kemajuan industri dan teknologi; dan seterusnya.
Di Indonesia, sekelompok umat Islam ‘terkentu’ berusaha jualan ideologi Islamisme dan ndoboli publik Muslim untuk mengganti ideologi & konstitusi negara yang mereka anggap sebagai ‘barang sekuler’.
Padahal Islamisme sendiri adalah ‘barang sekuler’ karena diciptakan oleh sekelompok ideolog dan aktivis politik Muslim, dengan begitu Islamisme (sebagaimana Pancasila dan ideologi politik-negara lain) adalah produk kebudayaan manusia.
“Demikian sekelumit kuliah virtual kali ini. Semoga bermanfaat dan semoga bangsa dan rakyat Indonesia tetap diberi akal-sehat dan waras nalar-hatinya sehingga terhindar dari propaganda dan kampanye politik terselubung yang dibungkus dengan jargon-jargon agama. Ideologi eksklusif Islamisme jelas sangat tidak cocok dan tidak pas dengan karakter, watak, dan fakta kemajemukan bangsa Indonesia,” ungkap Sumanto.(Aju)