Petrus Selestinus

Dio dan MHADN Dukung Pembubaran FPI

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, dan Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) Tobias Ranggie SH, mendukung kebijakan terintegratif Pemerintah Republik Indonesia membubarkan Front Pembela Islam (FPI).

“Karena di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Front Pembela Islam, tidak mencantumkan Pancasila sebagai ideologi Negara, berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika,” kata Yulius Yohanes dan Tobias Ranggie, Rabu, 6 Januari 2021.

DR Yulius Yohannes M.Si

Menurut Yulius Yohanes, pembubaran FPI mengacu kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), sebagaimana hal serupa dilakukan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 10 Juli 2017, karena berupa mengganti ideologi Pancasila ke dalam paham kekhilafahan.

“Pembubaran HTI dan FPI, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia bukan negara agama. Indonesia adalah negara kesatuan, dengan menghargai keberagaman, dimana setiap warga memiliki hak dan kewajiban sama,” kata Yulius Yohanes.

Tobias Ranggie, mengatakan, Pemerintah Indonesia memang harus mengambil langkah tegas, tapi terukur, di dalam menangani kelompok radikal dan intolerans demi terjaminnya stabilitas politik dan keamanan di dalam negeri.

Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 30 Desember 2020, ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate, Jaksa Agung S.T. Burhanudin, Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Polisi Idham Aziz, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafly Amar.

Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Rabu, 30 Desember 2020, tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentikan kegiatan Front Pembela Islam (FPI) dibacakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej SH, MH.

Dalam SKB, Rabu, 30 Desember 2020, disebutkan, alasan pelarangan FPI, karena organisasi yang berkolerasi dengan organisasi terorisme internasional, di antaranya The Islamic State of Iraq dan Syuria (ISIS), sudah tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri sejak 21 Juni 2019.

Di dalamnya disebutkan, sebanyak 35 orang anggota FPI terlibat tindak pidana terorisme, dimana 29 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana penjara, 206 orang terlibat tindak pidana umum, dimana 106 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Prof Dr Mahfud MD, menegaskan, SKB pada 30 Desember 2020, sudah melalui kajian matang, termasuk di antaranya masukan dan pendapat dari kalangan masyarakat, demi keutuhan NKRI, agar Pemerintah Republik Indonesia, bersikap terhadap Mohammad Rizieq Shihab (MRS) dan FPI.

MRS dan 5 pentolan FPI sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Senin, 7 Desember 2020. MRS dijaring melakukan penghasutan untuk melawan negara, hate speech, didasaarkan 14 laporan masyarakat di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Polisi Daerah Jawa Barat dan Polisi Daerah Bali, 2017 – 2020.

Ketua Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), Petrus Selestinus, SH, MH, mengatakan, mencermati fenomena pasca MRS ditahan sejak 13 Desember 2020. dan pasca Pemerintah mengeluarkan Keputusan larangn melakukan kegiatan, menggunakan atribut dan menghentikan kegiatan FPI, muncul resistensi dari pengurus, anggota dan simpatisan FPI.

Keputusan Pemerintah tentang “Larangan Kegiatan, Menggunakan Atribut dan Penghentian Kegiatan FPI, merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Ormas, khusus penjatuhan sanksi administratif, karena FPI terbukti melakukan kegiatan ormas yang bertentangan dengan pasal 21, 51, 52 dan 59 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Ormas.

“Pemerintah masih mencadangkan wewenangnya untuk menindak secara pidana terhadap elit-elit FPI, meskipun Polri sudah memiliki bukti dan memastikan bahwa FPI dalam aktivitas keormasannya telah melakukan pelanggaran hukum,” kata Petrus Selestinus.

Sanksi administratif berupa “Larangan Melakukan Kegiatan, Menggunakan Atribut dan Menghentikan Kegiatan” FPI, adalah sanksi administratif, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran untuk kembali ke jalan yang benar, namun tampaknya elit-elit FPI masih bandel, sehingga sanksi pidana yang berdampak memberikan efek jera, sangat urgent untuk dimulai.

Dikatakan Petrus Selestinus, tindak pidana yang diduga dilakukan oleh MRS dan FPI terkait dengan kepentingan ideologi FPI ada pada belasan dugaan tindak pidana sebagaimana laporan masyarakat di Polda Metro Jaya selama tahun 2016 – 2017, yaitu Penodaan Agama, Ujaran Kebencian, Pencemaran Nama Baik, dll. namun hingga sekarang belum ada satupun penyidikannya dibuka.

Dikatakan Petrus Selestinus, melihat reaksi yang muncul baik dari Rizieq Shihab maupun fungsionaris FPI lainnya, nampak bahwa sanksi administratif yang dijatuhkan berupa larangan kegiatan, menggunakan atribut dan menghentikan kegiatan FPI, tidak berpengaruh di internal FPI, kecuali berdampak simptomatik, tidak efektif menghentikan aktivitas FPI.

Buktinya sebelum dijatuhi sanksi administratif, FPI sudah punya alternatif nama FPI lain tanpa harus mengubah struktur, komposisi dan personalia kepengurusan FPI, bahkan hanya dalam hitungan jam pasca pelarangan kegiatan FPI sejumlah elit FPI, mendeklarasikan pendirian Front Persatuan Islam (FPI), akronimnya sama yaitu FPI dan ini sudah politicking.

Dikatakan Petrus Selestinus, suka atau tidak suka Pemerintah akan terus terjebak dalam politicking yang diperankan oleh FPI, manakala Pemerintah hanya main di zona sanksi administratif, karena pada dasarnya ideologi FPI dalam jangka pendek adalah mengganggu kohesivitas masyarakat, memecahbelah bangsa hingga mengubah Ideologi negara.

“Jadi buat mereka, FPI berbadan hukum atau tidak, mau ganti nama dan pengurus, entah pake Muktamar atau tidak, itu tidak penting, yang penting ada wadah buat mereka untuk membangun konsolidasi gerakan, mengganggu, memperlemah bahkan memperdaya Pemerintah dan Masyarakat,” kata Petrus Selestinus.(Aju