Gerakan Masyarakat Kalbar Cinta Damai

Gerakan Masyarakat Kalbar Cinta Damai Tolak Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) –  Gerakan Masyarakat Kalbar Cinta Damai menegaskan menolak paham radikal dan mengutuk keras aksi-aksi terorisme yang dapat memecah belah persatuan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya Kalimantan Barat (Kalbar).

Hal itu dinyatakan Gerakan Masyarakat Kalbar Cinta Damai pada hari kamis (3/12/20) di D’Sodedoet, Pontianak.

Menurut Rival Aqma Rianda selaku Koodinator kegiatan, akhir-akhir ini gerakan intoleran, radikal, dan paham-paham radikalisme semakin massif menyebar ke dalam sendi kehidupan berbangsa kita.

“Masyarakat dibuat resah atas aksi-aksi yang di gencarkan oleh kelompok yang membenarkan kekerasan,” terangnya.

Lebih lanjut, Rival menjelaskan, kini radikalisme, intoleransi, dan paham Ormas Radikal bagaikan momok yang menakutkan dan mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Hingga berbagai komponen masyarakat, dari tingkat pendidikan sekolah, kampus, hingga di lembaga pemerintahan menyatakan perang untuk melawan musuh bersama yaitu radikalisme, intoleransi, dan ormas yang paham radikal melalui aksi-aksi kebangsaan,”ujarnya.

Rival melanjutkan, opini-opini positif yang pro Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan harus digencarkan agar masyarakat tidak terpapar paham radikalisme dan terorisme.

Selain itu, dirinya juga menjelaskan, konflik global antar umat manusia yang terjadi dalam  satu abad ini telah menyadarkan kita, betapa umat manusia telah hidup dalam permusuhan dan pertikaian.

“Selalu saja, ada konflik antarumat manusia di seluruh penjuru dunia. Pertikaian antar agama dan paham adalah salah satu instrumen konflik global yang terjadi di muka bumi,” ujarnya.

Perang Irak-Iran, Perang Arab-Israel, Perang Teluk, Perang Afghanistan,  Peristiwa 11 September dan Tragedi Bali, Bom di Surabaya, Samarinda, dan yang terakhir pembantaian di Sigi, Sulawesi Tengah adalah bukti keterkaitan agama dengan konflik politik dunia global.

“Sengketa perbatasan, klaim wilayah, pelanggaran zona ekonomi eksklusif dan sebagainya, baik antara negara-negara tetangga maupun antara Indonesia dengan negara tetangga merupakan masalah yang perlu diselesaikan secara damai,” ujar Rival.

Menurut Rival, meskipun sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan telah diselesaikan di Mahkamah Internasional, tetapi tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan muncul sengketa-sengeketa perbatasan atau klaim wilayah dengan negara-negara tetangga lainnya yang dapat meningkat menjadi konflik terbuka.

Kondisi ini, menurutnya, semakin memperkuat solidaritas agama lintas teritorial negara.  Umat manusia benar-benar diikat oleh keyakinan agama untuk membela saudara-saudara seagama mereka di negara lain, bukan lagi solidaritas kemanusiaan kaum tertindas.

“Ini sudah menjadi isu agama secara global. Inilah yang selama ini terjadi di negara-negara Muslim  ketika terjadi benturan dengan sesama Muslim, dan bahkan dengan dunia non-Muslim, konflik politik berubah menjadi konflik agama oleh karena agama digunakan sebagai basis dukungan politik. Fenomena ini menunjukkan betapa tata dunia yang damai  belum menjadi kesadaran hidup,” ujarnya.

Dikatakannya lagi, impian akan dunia yang damai seakan sirna oleh ego politik, ekonomi, dan agama umat manusia.

” Di sinilah, agama kehilangan makna otentiknya sebagai petunjuk jalan menuju kedamaian,” jelasnya.

Sebab, agama sekedar memperkuat makna teologis yang ekslusif dan intoleran. Dan yang terjadi adalah radikalisasi umat beragama yang menjurus kepada Terorisme, bukan kulturalisasi yang inklusif dan toleran.

“Tidak terkecuali di Kalimantan Barat itu sendiri yang selalu menampilkan wajah keberagaman sebagai Provinsi yang kaya dengan etnisitas, agama, dan nilai-nilai luhur. Perbedaan adalah suatu keniscayaan yang mesti di jaga dan di rawat bersama guna memelihara kesejukan, kasih sayang dalam kerukunan umat beragama,” ujar Rival.

Dirinya berharap, kehadiran gelombang aksi terorisme, intoleransi, dan paham-paham ormas radikal mesti ditindak dengan tegas sesuai dengan supremasi hukum yang ada.

” Dengan begitu, gejolak di ruang publik dan perpecahan antar umat beragama tidak terjadi,” pungkas Rival.