JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, menegaskan, Suku Dayak di Borneo (wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) menolak praktik radikalisme, arabisme dan intolerans di dalam kehidupan berbangsa dan negara di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes, Sabtu malam, 5 Desember 2020, menanggapi sikap tegas Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Polisi Idham Azis di Jakarta, Jumat, 4 Desember 2020, sehubungan penanganan hukum bagi Mohammad Rizieq Shihab (MRS), pentolan Front Pembela Islam (FPI).
“Masyarakat Suku Dayak mendukung sepenuhnya sikap Pemerintah Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia di dalam menciptakan rasa aman dan ketertiban masyarakat,” ujar Yulius Yohanes.
Yulius Yohanes, mengatakan, tindakan kelompok radikal dan intolerans menggiring masyarakat Indonesia berperilaku kearaban-araban, tidak sesuai dengan ideologi Pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dikatakan Yulius Yohanes, bagi masyakarat Suku Dayak di dalam mengamalkan ideologi Pancasila, agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman dan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia yang melahirkan ideologi Pancasila, sebagai filosofi etika berperilaku.
“Keduanya harus dimaknai di dalam konteks yang berbeda, tidak bisa dipertentangkan, karena keduanya bersinergi di dalam pembentukan karakter dan jatidiri bangsa Indonesia,” ujar Yulius Yohanes.
Yulius Yohanes, menuturkan, gerakan arabisme, intolerans dan radikalisme di Indonesia harus dilawan karena bertentangan dengan Konsepsi Trisaksi (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya), langkah bangsa Indonesia kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Suku Dayak menolak aksi premanisme, radikalisme, arabisme dan intolerans yang selalu berkolerasi dengan aksi terorisme. Karena hanya dengan ideologi Pancasila menjamin keutuhan NKRI. Upaya mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi khilafah sebagaimana digaungkan kaum radikalisme dan intolerans kearab-araban, harus dilawan,” kata Yulius.
Idham Aziz, menegaskan, Polri bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) siap menegakkan keutuhan NKRI, karena Negara tidak boleh kalah akan aksi premanisme, anarkisme dan radikalisme di Indonesia dari MRS dan FPI.
Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran, menegaskan, akan bertindak keras dan tegas kepada FPI, apabila masih berani mengerahkan massa di tengah pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) saat pemeriksaan terhadap MRS di Jakarta, Senin, 7 Desember 2020.
MRS segera diperiksa Polisi atas ujaran kebencian kepada Pemerintah Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri) dan sebut kata lonte terhadap artis Nikita Mirzani.
MRS kemudian diperiksa penyidik Polisi Daerah Jawa Barat di Bandung. Pemeriksaan dilakukan pada dua tempat, karena menolak melakukan karantina mandiri 14 hari sesuai ketentuan sepulang dari Arab Saudi, dalam upaya mengantisipasi penularan Covid-19, Selasa, 10 Nopember 2020. Akfitas pelanggaran hukum dilakukan MRS, 10 – 20 Nopember 2020.
Polisi Republik Indonesia, sudah menegaskan, seluruh laporan kepolisian dari masyarakat terhadap MRS atas ujaran kebencian, dan pelanggaran hukum, di antaranya chat mesum dengan janda bahenol Firza Hussein sebelum kabur ke Arab Saudi, 26 April 2017, segera dibuka kembali. Paling tidak ada 14 laporan polisi dari masyarakat hadap MRS periode 2007 – 2020.
MRS Aktor Arabisme
Richard C. Paddock, dalam The New York Time, Amerika Serikat, Selasa, 2 Desember 2020, dengan judul: “He Is a Thug: Polarizing Muslim Cleric Returns to Indonesia”, dan Krithika Varagur, dalam The Guardian.com, Inggris, Kamis, 16 April 2020, dengan judul: “How Saudi Arabia’s religious project transformed Indonesia”, mengatakan, MRS merupakan aktor arabisme, radikalisme dan intolerans, karena manuvernya tukang tebar ujaran kebencian, baik kepada Pemerintah Republik Indonesia maupun kepada kelompok minoritas.
FPI metamorfosa dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Baik FPI dan HTI selalu berafiliasi dengan aksi terorisme di Indonesia dengan induk organisasi bernama The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Indonesiacomment – The Wawan Kuswandi Forum (IWKF), Selasa, 3 Desember 2019, dalam analisis berjudul: “Radikalisme dan Arabisme Ancam NKRI, Bertindaklah Pak Presiden!”, mengatakan, arabisme, radikalisme dan intolerans, bagian dari upaya menciptakan ketidakstabilan politik dan keamanan, karena selalu berakhir dengan aksi terorisme.
Krithika Varagur, mengatakan, kelompok radikal dan intoleran di Indonesia, seakan mendapat legimitasi, setelah berhasil memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dalam pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tahun 2017. Petahana Ahok kalah di dalam pemilihan. Pemenangnya Anies Baswedan, setelah berbagai isu agama dihembuskan, sehingga Ahok dipenjara 1,5 tahun karena dituduh menista Agama Islam.
Richard C. Paddock, mengatakan, MRS adalah seorang preman dan provokator yang tukang menjual isu agama, mengklaim keturunan Nabi Muhammad, dan selalu dimanfaatkan kelompok oposisi terhadap Pemerintahan Presiden Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024) di dalam menciptakan ketidakstabilan politik dan keamanan.
IWKF mengatakan, berdasarkan fakta yang terungkap, pengikut paham arabisme dan radikalisme di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Lantas, kapan Presiden Indonesia, Joko Widodo, bertindak keras dan tegas?
Dikatakan IWKF, arabisme (menerapkan budaya Arab) dimaknai oleh sebagian muslim kebanyakan di Indonesia sebagai ajaran Islam. Contohnya, bila seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari tidak menggunakan bahasa, tulisan atau istilah Arab, maka dicap tidak islami.
Seorang muslim yang tidak berpakaian gamis (jubah panjang) saat ibadah dinilai kurang islami. Seorang perempuan muslim yang tidak berjilbab dan bercadar dituding belum bisa disebut muslimah.
Tidak menerapkan hukum Islam seperti di Arab Saudi dituduh melanggar ajaran Islam. Fenomena lainnya yang juga mewabah ialah dipasangnya label halal pada sejumlah destinasi wisata umum dan beberapa pusat perbelanjaan alias mall. Sungguh, semua penilaian di atas sangat sesat dan sangat mengkhawatirkan.
“Ajaran Islam bukanlah Arab Saudi dan Arab Saudi adalah sebuah negara bukan ajaran Islam. Kaum muslim Indonesia seharusnya memahami hal ini dengan cara mempelajari sejarah lahirnya agama Islam dan berdirinya negara Kerajaan Arab Saudi. Agama Islam dan Arab Saudi adalah dua hal yang sangat berbeda,” kata IWKF.
Penerapan Arabisme berarti mencabut karakter, jati diri dan kebudayaan Indonesia. Sekelompok ormas radikal berbasis agama, partai politik berbasis agama dan sejumlah oknum yang mengklaim dirinya sebagai tokoh agama (ulama, kiai, ustadz, habib, da’i) dalam berbagai contoh kasus ceramah dan tulisannya di sosial media (YouTube, Facebook, Instagram, Pinterest, WhatsApp (WA) terus mempropagandakan Arabisme.
“Lantas, kapan Jokowi melakukan tindakan keras dan tegas?” tanya IWKF.
Proses cuci otak yang dilakukan tokoh agama ‘mendadak ulama’ terhadap kaum muslim Indonesia berlangsung sangat cepat dan radikal. Bagi umat muslim yang pemahaman agamanya mungkin masih sangat terbatas, maka akan mudah dipengaruhi Arabisme.
Untuk menghadapi darurat Arabisme ini, negara bersama ormas islam terbesar, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan kelompok islam moderat lainnya harus bertindak cepat. Jangan terjadi pembiaran, bila tidak ingin Indonesia hancur dan terjadi perang saudara.
Selain persoalan darurat Arabisme, negeri ini juga sudah disusupi kelompok pengusung negara khilafah dengan membawa-bawa ideologi wahabi, salafi, jihadi dan takfiri. Siapa saja yang menolak ideologi mereka, disebut kafir dan wajib diperangi.
Doktrin Radikalisme
Saat ini, menurut IWKF, paham wahabi, Salafi, Jihadi, takfiri sudah menyebar secara mendalam ke sejumlah ke lembaga pendidikan nasional dan pesantren di Indonesia. Menurut sejumlah sumber yang saya baca ada sekitar 32 pondok pesantren di Indonesia yang terpapar paham wahabi dan salafi.
Negara, dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, harus secepatnya melakukan pembersihan dengan mengubah kurikulum pendidikan dan menerapkan sertifikasi pengajar, baik di pesantren maupun lembaga pendidikan nasional.
Donatur Radikalisme
Bukan hanya lembaga pendidikan yang terpapar radikalisme, sejumlah lembaga donasi amal di Indonesia yang bergerak secara online juga telah terpapar paham wahabi, salafi, jihadi, takfiri.
Mereka mendukung pendanaan pembentukan negara khilafah. Dari data yang saya baca, ada sekitar sembilan lembaga donasi di Indonesia yang mendukung berdirinya negara khilafah.
Salah satu contohnya ialah Indonesia Humanitarian Relief (IHR) yang beberapa waktu lalu dituding memberi bantuan makanan dan dana kepada kelompok pemberontak yang berafiliasi dengan The Islamic of State and Syria (ISIS) di Suriah. IHR dalam operasionalisasinya bekerja sama dengan IHH (Insan Hak ve Hurriyetleri ve Insani Yardim Vakfi atau Yayasan untuk Hak Azasi Manusia, Kebebasan dan Bantuan Kemanusiaan) sebuah lembaga swadaya masyarakat terbesar di negara Turki.
Dalam berbagai laporan penyelidikan, lembaga swadaya masyarakat, IHH ternyata mensuplai senjata kepada kelompok Mujahidin. Tanggal 3 Januari 2014, Harian Turki Hurriyet melaporkan bahwa polisi Turki mempergoki truk-truk bantuan IHH berisi amunisi dan senjata yang akan dikirim kepada pasukan-pasukan jihad di Suriah.
Bahkan, truk itu didampingi pejabat dari Organisasi Intelijen Nasional, yaitu Millî İstihbarat Teşkilati (MIT) Turki. Beberapa hari sebelumnya, pemerintah Suriah secara resmi mengirimkan surat protes ke Perserikatan Bangasa-Bangsa (PBB) atas tindakan Turki yang secara sistematis menyuplai senjata kepada para militan yang ingin menggulingkan pemerintahan Suriah.
Menurut Duta Besar Suriah untuk PBB, mereka [para teroris] dilatih di perbatasan Turki-Suriah, dan setelah itu otoritas Turki membantu mereka untuk masuk ke wilayah Suriah.
Mengetahui kebusukannya terbongkar, Presiden Turki Erdogan langsung menghalangi media massa untuk mengekspos masalah ini. Tanggal 26 November 2014, dua wartawan dipenjara karena menulis mengenai kasus ini yaitu Pemred Cumhuriyet Can Dundar dan pimpinan biro harian Ankara, Erdem Gul.
Mantan pejabat polisi Turki Ahmet Sait Yayla yang langsung menyelidiki kasus ini menyebut pemimpin IHH ditangkap karena IHH terbukti mendukung ISIS. Polisi anti-teror Turki menggerebek beberapa kantor IHH di perbatasan Turki-Suriah dan menangkap beberapa orang dengan tuduhan terkait dengan Al Qaida.
Infiltrasi Radikalisme
Penyebaran paham radikalisme di Indonesia semakin massif dan gerakan mereka sudah sangat terbuka. Ini sungguh mengerikan. Kelompok-kelompok wahabi, salafi, jihadi, takfiri dengan sengaja menantang negara untuk mengganti Pancasila dengan ideologi khilafah dan menerapkan hukum Islam versi mereka. Untuk memuluskan rencana ini, mereka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid BUMN dan sejumlah kampus negeri bonafit.
Gerakan ini tercium Badan Intelijen Negara (BIN). Buktinya staf khusus Kepala BIN Arief Tugiman menyatakan, ada 500 masjid di seluruh Indonesia terpapar paham radikalisme. Ada 41 dari 500 masjid itu berada di kompleks kantor pemerintahan alias Badan Usaha Milik Negara dan kantor-kantor kementerian.
Sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) terkontaminasi paham radikalisme. “Berdasarkan level radikalisme dari 41 masjid itu, 7 masjid kategori rendah, 17 masjid kategori sedang dan 17 masjid kategori tinggi,” ucap Tugiman kepada IWKF.
Para pemimpin khilafah yakin bahwa selain masjid, kampus juga menjadi sarana ideal untuk menyebarkan ideologi mereka. Kaum intelektual kampus dicuci otaknya dengan ajaran dan nilai-nilai islam bermazhab wahabi, salafi, jihadi dan takfiri. Dengan berhasil dikuasainya kampus dan masjid, para pengusung khilafah yakin bahwa langkah untuk mendirikan negara khilafah akan berhasil.
Mereka sangat agresif melakukan penyusupan ke kampus-kampus di seluruh Indonesia. Menurut data BIN, sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia tertarik paham radikalisme. Daerah-daerah yang mengidolakan khilafah di antaranya Jawa Barat, Banten, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, dan Riau.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah mengeluarkan daftar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama yang terpapar paham radikalisme yaitu Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Mataram.
Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Ryamizard Ryacudu (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), memaparkan data hasil penelitian yang dimilikinya. Ryamizard, mengatakan, ada sekitar tiga persen anggota TNI terpapar paham radikalisme. Hal tersebut disampaikannya saat acara halal bihalal Mabes TNI di GOR Ahmad Yani, Cilangkap, Rabu, 19 Juni 2019.
Ryamizard mengungkapkan, sebanyak 23,4 persen mahasiswa setuju dengan negara khilafah, lalu ada 23,3 persen pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu, ada 18,1 persen pegawai swasta menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Kemudian 19,4 persen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila dan 19,1 persen pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak setuju dengan Pancasila.
Ormas Radikal
Pihak Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut ada 19 nama organisasi massa (ormas) di Indonesia yang tergolong radikal. Hal itu diungkapkan Kepala Satuan Koordinator Wilayah (Satkorwil) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Jawa Timur Dr H. Umar Usman.
Di hadapan sekitar 350 peserta Pendidikan Dan Latihan Dasar (Diklatsar) Banser Angkatan III Satkorcab Banser Trenggalek di Pondok Pesantren Hidayatulloh Kecamatan Pule, Trenggalek, Sabtu, 28 Mei 2019, Umar Usman mengatakan ke-19 organisasi itu antara lain Jamaah Islamiyah, Tauhid Wal Jihad, Negara Islam Indonesia (NII), Majelis Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat.
Kemudian, Ring Banten, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Al-Tawhid wal-Jihad, Pendukung dan Pembela Daulah Islamiah, Jamaah Anshauri Daulah, Ma’had Ansharullah, Laskar Dinullah, Gerakan Tauhid Lamongan, Halawi Makmun Grup, Ansharul Khilafah Jawa Timur, IS Aceh, Ikhwan Muahid Indonesia fil Jazirah al-Muluk, Khilafatul Muslimin, dan Al Muhajirin (sempalan HTI).
“Ke-19 organisasi ini terus menggunakan kekerasan mulai dari mengkafirkan selain kelompoknya, melakukan teror, menembak, meledakan bom, dan kegiatan lain yang mengandung teror. Ada organisasi yang dikelompokkan anti NKRI dan Pancasila diantaranya, neo-PKI dan HTI. Ini yang harus juga diwaspadai,” kata Umar Usman sebagaimana dikutip IWKF. (Aju)