JAKARTA – Direktur Setara Institut, Hendardi, menegaskan, Polisi Republik Indonesia (Polri) dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, didukung Komando Daerah Militer Jakarta Raya, menembak mati 6 orang Front Pembela Islam (FPI) pengawal Mohamma Rizieq Shihab (MRS) di Jakarta, Senin dihinari, 7 Desember 2020, dalam rangka melaksanakan tugas negara.
“Upaya Upaya Polri menegakkan hukum atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang mengiringi kepulangan dan safari dakwah Muhammad Rizieq Shihab (MRS) pada November 2020, memasuki babak baru dan menimbulkan kontroversi lanjutan,” ujar Hendardi, Senin malam, 7 Desember 2020.
Menurut Hendardi, selain pembangkangan hukum dengan tidak menghadiri panggilan Polri dan menghalang-halangi anggota Polri menjalankan tugasnya (obstruction of justice), MRS juga menebarkan kecemasan baru potensi penyebaran Covid-19 dengan kabur dari Rumah Sakit UMMI dengan kondisi yang belum jelas, apakah positif atau negatif Corona Virus Disease-19 (Covid-19).
Peristiwa terbaru, penembakan terhadap 6 orang pengikut MRS oleh anggota Polri pada Senin (7/12/2020) dini hari telah menjadi kontroversi baru. Di satu sisi Polri memaparkan alasan obyektif adanya ancaman terhadap jiwa manusia anggota Polri sebagai pembenaran atas tindakan represif yang dilakukan anggotanya.
Di sisi lain, ujar Hendardi, penggunaan senjata api oleh Polri dalam mengatasi peristiwa tertentu, tetap harus mengacu pada prosedur-prosedur yang ketat dan harus dapat dipertanggung-jawabkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Diungkapan Hendardi, tertembaknya 6 orang warga sipil tentu menjadi keprihatinan dan tidak seharusnya terjadi. Tetapi jika betul senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya adalah senjata milik anggota FPI, maka pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam bisa diterima.
Namun demikian, untuk memenuhi standar yang diterapkan dalam Perkap 8/2009 tersebut, Polri harus melakukan evaluasi pemakaian senjata api oleh anggotanya. Kapolri dapat memerintahkan Divisi Pengamanan Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk melakukan evaluasi atas fakta-fakta yang menjadi alasan pembenar penggunaan senjata api.
Pada saat yang bersamaan, SETARA Institute mendorong agar MRS kooperatif memenuhi panggilan Polri dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran protokol kesehatan termasuk kasus-kasus lain yang mangkrak dan melibatkan dirinya sebelum menetap di Arab Saudi.
“Pembangkangan MRS atas upaya penegakan hukum dan kapitalisasi kharisma dirinya sebagai habib telah memicu kepatuhan buta beberapa orang pengikutnya yang merasa dirinya syahid saat membela MRS,” ungkap Hendardi.
Setara Institute mengingatkan bahwa jika benar senjata api yang ditunjukkan oleh Polri adalah milik anggota FPI, mereka bukanlah syuhada sebagaimana klaim FPI tetapi pengikut buta yang dijadikan martil oleh MRS dan elit FPI untuk memupuk simpati. Mereka telah memiliki senjata api secara ilegal dan ditujukan untuk menghalang-halangi penegakan hukum. Oleh karenanya tindakan mereka merupakan kejahatan.
“Paralel dengan upaya evaluasi Polri, SETARA Institute mendorong Polri terus melakukan tindakan hukum yang tegas, terukur dan akuntabel menangani berbagai tindak pidana yang dilakukan anggota-anggota organisasi pengusung aspirasi intoleran, premanisme berjubah agama, dan elit-elit yang menjadi conflict entrepreneur di belakang mereka. Episode pasca kepulangan MRS adalah ujian bagi Polri untuk menegakkan hukum,” demikian Hendardi.
Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran, mengatakan, ada bukti rekaman langkar FPI pengawal MRS terlebih dahulu menyerang polisi, sebelum dilakukan penembakan balasan, sehingga menewaskan 6 orang dari 10 orang di dalam mobil pengawal.
Menurut Fadil Imran, Polisi sekarang tengah memburu 4 orang lain yang melarikan diri saat baku tembak terjadi. Sampai Senin malam, 7 Desember 2020, MRS belum menampakkan diri untuk diperiksa, sehubungan berbagai ujaran kebencian dan penghinaan terhadap Negara, Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), semenjak kepulangan dari Arab Saudi, Selasa, 10 Nopember 2020.
Jurubicara FPI, Munarman, mengatakan, MRS sekarang berada sebuah tempat yang dijamin keamanannya. FPI tidak bisa menyebutkan lokasi MRS berada, karena nyawanya terancam. (Aju)