Petrus Selestinus

MRS dan FPI Terancam Pidana Penjara Seumur Hidup

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, SH, MH, menegaskan, Mohammad Rizieq Shibab (MRS) dan Front Pembela Islam (FPI) terancam hukuman pidana penjara maksimal seumur hidup.

“Karena MRS dan FPI, anti Pancasila, sebagaimana digariskan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2017, dan kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Ormas, maka ancaman pidana penjara, bisa sampai seumur hidup,” kata Petrus Selestinus di Jakarta, Kamis, 31 Desember 2020.

MRS dan 5 pentolan FPI sejak Senin, 7 Desember 2020, telah ditetapkan sebagai tersangka, dalam kasus hate speech, penghasutan dan sikap permusuhan terhadap Negara berdasarkan ideologi Pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.

Khusus MRS, sudah ada 14 laporan masyarakat, 2017 – 2020 di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Polisi Daerah Jawa Barat dan Polisi Daerah Bali. Kasus menyedot perhatian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 29 Desember 2020, membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tindak pidana chat mesum MRS dan janda bahenol Firza Husein.

MRS sempat melarikan diri ke Arab Saudi sejak 26 April 2017, untuk menghindari pemeriksaan tindak pidana chat mesum. Tapi saat mendarat di Jakarta, Selasa, 10 Nopember 2020, sikap anti keberagaman dan anti Pancasila, terus dipertontonkan MRS dan FPI.

Dalam rekaman video tersebar di media sosial, MRS mengakui FPI mendukung penggantian ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam garis keras, yaitu khilafah, dan simpati kepada The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang sudah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi teroris internasional.

Kehadiran Perppu Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 10 Juli 2017, sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Para penggugat berasal dari Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Karena dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017, maka HTI otomaris dibubarkan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 49/PUU-XV/2017, Selasa, 12 Desember 2017, mengukuhkan ancaman pidana penjara seumur hidup bagi Ormas anti Panacasila, sebagaimana Perppu Nomor 2 Tahun 2017, kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

HTI berupaya mengganti ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan. Gugatan dilayangkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Afriady Putra bersama Organisasi Advokat Indonesia, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, Dewan Pengurus Pusat Aliansi Nusantara, Yayasan Sharia Law Alqonuni, Tim Advokasi Cinta Tanah Air dan Eggi Sudjana.

Pada 22 Desember 2017, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tentang Ormas menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, bahkan untuk kedua kalinya kembali menegaskan, Ormas anti Pancasila terancam pidana penjara seumur hidup, sesuai putusan dibacakan pada Rabu, 22 Mei 2019.

Menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dalam amar putusan dibacakan di Jakarta, Rabu, 22 Mei 2019, seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Ormas, yaitu pidana penjara maksimal seumur hidup.

Ancaman pidana penjara seumur hidup, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dibacakan pada Rabu, 22 mei 2019, ditegaskan, jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan sengaja baik kesengajaan dengan kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn), kesengajaan dengan maksud/tujuan (opzet als oogmerk), ataupun kesengajaan dengan kepastian (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn) – dan dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

“Jadi saran saya, MRS dan 5 pentolan FPI harus dijaring melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, dengan ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup,” kata Petrus Selestinus.

Menurut Petrus Selestinus, argumentasi lain MRS dan FPI harus kena ancaman pidana penjara seumur hidup, keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 30 Desember 2020.

SKB ditandatangani Menteri Dalam Negeri Prof Dr Jenderal (Purn) Polisi Tito Karnavian, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate, Jaksa Agung S.T. Burhanudin, Kepala Polisi Republik Indonesia, Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Idham Aziz, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafly Amar.

Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Rabu, 30 Desember 2020, tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentikan kegiatan Front Pembela Islam (FPI) dibacakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof Dr Edward Omat Sharif Hiariej SH, MH.

Dalam SKB, Rabu, 30 Desember 2020, disebutkan, alasan pelarangan FPI, karena organisasi yang berkolerasi dengan organisasi terorisme internasional, di antaranya The Islamic State of Iraq dan Syuria (ISIS), sudah tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri sejak 21Juni 2019.

Di dalamnya disebutkan, sebanyak 35 orang anggota FPI terlibat tindak pidana terorisme, dimana 29 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana penjara, 206 orang terlibat tindak pidana umum, dimana 106 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Prof Dr Mahfud MD, menegaskan, SKB pada 30 Desember 2020, sudah melalui kajian matang, termasuk di antaranya masukan dan pendapat dari kalangan masyarakat, demi keutuhan NKRI, agar Pemerintah Republik Indonesia, bersikap terhadap MRS dan FPI.(Aju)