JAKARTA (Independensi.com) – Sudah dua kali Habib Rizeq Shihab dan kawan-kawan selaku terdakwa melakukan aksi Walk Out (WO) dalam sidang yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Timur secara online terkait kasus dugaan tindak pidana penghasutan dan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Pengamat hukum Kaspudidn Noor mengatakan jika Habib Rizieq dan kawan-kawan kembali tidak mau menghadiri sidang atau WO maka tidak bisa perkaranya disidangkan secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa.
“Karena sidang secara in absentia hanya bisa dilaksanakan jika memang orangnya tidak ada. Tapi ini orangnya atau para terdakwanya ada,” kata Kaspudin kepada Independensi.com, Senin (22/3).
Oleh karena itu, tuturnya, para terdakwa harus tetap dihadirkan oleh jaksa dalam persidangan. “Tapi secara tatap muka langsung dengan cara menghadirkannya di dalam ruang sidang,” ujarnya.
“Jadi bukan mengikuti dari tempat lain seperti dalam dua kali persidangan terdahulu yang dilaksanakan secara online sehingga menimbulkan protes dari terdakwa dan tim kuasa hukumnya,” tuturnya.
Dia pun tidak sependapat jika sidang dilaksanakan secara online dengan pertimbangan seperti disampaikan hakim karena khawatir akan membuat kerumunan massa mengingat banyaknya simpatisan Habib Rizieq.
“Masalah kerumunan massa itu sudah bukan kewenangan hakim mengurusnya. Tapi aparat kepolisian. Yang penting sidang tetap mematuhi protokol kesehatan,” ucap staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Satygama, Jakarta ini.
Dia pun menilai sidang secara online tidak memiliki dasar legal konstitusional seperti diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara, katanya, sidang langsung secara tatap muka merujuk kepada ketentuan Pasal 154, 159 dan 196 KUHAP yang tidak bisa ditafsirkan lain.
Selain itu, tuturnya, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur persidangan dihadiri tiga orang hakim dibantu panitera serta mewajibkan penuntut umum dan terdakwa untuk hadir.
Dikatakannya kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan juga sudah diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, ucap Kaspudin, sidang online secara konstitusional tidak dibenarkan jika hanya didasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2020.
“SEMA tersebut tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya tertanggal 23 Maret 2020,” ujarnya.
Kemudian dengan Nota Kesepahaman antara Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian dan Ditjen Pemasyarakatan tanggal 13 April 2020, serta Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
“Karena berdasarkan norma hirarki hukum dan sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, berada di bawah norma Undang-Undang yang level dan derajat hukumnya sangat tinggi,” kata mantan Komisioner Komisi Kejaksaan ini.(muj)