Holding BUMN Ultra Mikro Lebih Banyak Mudaratnya

Loading

 

JAKARTA.(Independensi.com) Rencana Kementerian BUMN membentuk holding BUMN Ultra Mikro dinilai tidak tepat. Bahkan lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya.

“Kebijakan holding BUMM ini tidak tepat untuk dilakukan karena bisa berdampak negatif bagi kepentingan negara dan bisa mengesampingkan kewenangan rakyat,” kata anggota akomisi Ix DPR-RI Anis Byarwsti dalam diskusi virtual, yang diselenggarakan Forum Jurnalis Ekonomi dan Bisnis (FORJES), Kamis (8/4/2021).

Sebagaimana diketahui, Kementerian BUMN mendorong terbentuknya Holding BUMN Ultra Mikro yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), dan PT Pemodalan Nasional Madani (Persero).

Menurut Anis, pembentukan holding ultra mikro akan hanya membuat kapitalisasi atau aset BRI menjadi besar, tapi disisi lain membuat PT Pegadaian dan PT PNM menjadi anak usaha BUMN yang kehilangan peran.

Menurut Anis yang juga anggota dewan dari PKS, dilihat berdasarkan latar belakang mengapa holding ultra mikro dibentuk adalah karena keinginan Kementerian BUMN agar para UMKM bisa naik kelas.

Alasan yang disampaikan Kementerian BUMN seakan-akan permasalahan yang dihadapi UMKM hanya sebatas pendanaan. “Padahal kendala itu banyak, bukan hanya masalah keuangan saja. Masalah di SDM-nya, akses pemasarannya serta jejaring dan teknologinya,” kata dia.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyarankan BRI membeli bank-bank komersial untuk memperbesar skala perusahaan ketimbang melakukan holding dengan PT Pegadaian dan PT PNM.

Holding ultramikro dianggap tak akan memberi nilai tambah bagi perusahaan. BRI itu untuk menjadi ujung tombak financial inclusion lebih baik mengambil alih bank-bank komersial, seperti Bank Muamalat, Bank Bukupoin, dan bank-bank lainnya supaya konsolidasi perbankan terjadi.

Menurut Faisal, Kementerian BUMN harus memiliki kajian yang jelas ihwal rencana holding ultramikro. Sebab, rencana rencana tersebut justru disinyalir bakal membawa mudarat bagi masyarakat, khususnya Pegadaian.

Selain itu, holding ultramikro memiliki risiko karena dilakukan terhadap tiga entitas yang memiliki karakteristik sangat berbeda. BRI, misalnya, memiliki tugas melayani segmen UMKM yang sudah terbuka terhadap akses bank dan segmen korporasi. Sementara itu, PNM melayani perusahaan yang relatif baru dan belum memiliki akses terhadap perbankan sehingga memerlukan jasa modal ventura.

Sedangkan Pegadaian sebagai perusahaan pelat merah memiliki tugas membantu masyarakat yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memberikan solusi jangka pendek.

“Keinginan Kementerian BUMN untuk melakukan holding justru bertentangan dengan ide untuk memajukan usaha kecil dan menengah secara total. Karena seolah-olah persoalan UMKM hanya keuangan, khususnya akses terhadap kredit, ujar Faisal.

Faisal mengatakan aksi korporasi ini dikhawatirkan membuat Pegadaian semakin sulit menyentuh masyarakat setelah holding terbentuk.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kemungkinan terjadinya holding tersebut cukup besar, lantaran rencana ini ada di tangan pemerintah.

Menurut Piter, holding BUMN ultra mikro akan memiliki dampak bagi perusahaan BUMN itu sendiri. “BRI bisa menggunakan likuiditasnya yang besar maka PNM bisa menyakinkan bahwa kreditnya lebih mudah dan lebih banyak.

Tetapi yang menarik adalah ini bukan persoalan penambahan perusahaan saja, tetapi yang diharapkan adalah keberadaan pegadaian dan PNM sekarang sudah diterima oleh masyarakat,” ucap dia. (hpr)