Benarkah KKB Sama dengan Teroris

Loading

Oleh Dr.H.Suhardi Somomoeljono SH, MH. Akademisi dan Praktisi Hukum

Pemerintah telah menetapkan atau memberi label Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai Teroris. Apakah tidak terlalu terburu-buru Pemerintah RI menetapkan KKB sebagai Teroris.

Persoalannya apakah sesungguhnya yang menjadi motif KKB melakukan perbuatan kriminal bersenjata di tanah Papua. Jika benar tujuannya semata-mata untuk tujuan kemerdekaan Papua maka lebih tepat tindakan kekerasan tersebut dapat dikwalifikasi sebagai bentuk perbuatan sparatisme bukan perbuatan terorisme .

Bukankah dalam perspekrif historika Papua sejak sebelum bahkan setelah Indonesia merdeka sudah di provokasi atau terprovokasi oleh Kerajaan Belanda yang berusaha melepaskan Papua dari Indonesia.

Sehingga masyarakat Papua sebagian merasa berhak memperjuangkan atas kemerdekaannya sendiri. Jika demikian halnya maka sikap batin ketika melakukan perbuatan pidana dibenaknya terbesit bertujuan ingin merdeka (mens rea). Sedangkan kejahatan yang dilakukan atau bentuk perbuatan lahiriahnya tentu bervariasi (actus rea).

Dalam motif bentuk perbuatan seperti itu dibenaknya telah terinternalisir bahwa yang menjadi musuh utamanya KKB tentunya Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian RI (Polri).

Sehingga ada kemungkinan ketika berhasil menembak mati yang dianggap sebagai musuhnya, lebih-lebih yang meninggal seorang Jendral hal tersebut semakin menambah semangatnya untuk bertempur mengingat yang ada dalam benaknya hanya ada satu berjuang untuk merdeka.

Tentu saja sangat berbeda dengan Idiologi Teroris, dimana musuh utamanya adalah umat manusia dibumi yang idiologinya berseberangan dengan idiologi teoris pasti dianggap sebagai musuhnya.

Sehingga bukan hanya TNI dan Polri semata yang menjadi target sasarannya teroris tetapi umat manusia di bumi.Yang membedakan juga siapa sesungguhnya pemimpin teroris itu lazimnya tidak jelas subyek hukumnya.

Berbeda dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan atau KKB siapa pemimpinnya jelas dan siapa yang dianggap sebagai musuhnya juga jelas. Bahkan bagi teroris tempat kejadian perkara (locus delictie) sebagai obyeknya adalah dunia (seluruh wilayah negara di dunia) sedangkan KKB atau OPM obyeknya khusus wilayah Papua.

Sementara teroris itu musuhnya adalah umat manusia siapa saja yang dianggap berbeda idiologi sehingga teroris itu musuh bersama umat manusia.

Berbasis pada teori perbuatan dalam hukum pidana maka menetapkan KKB dan atau OPM sebagai Teroris masih diperlukan kajian yang sangat serius dan mendalam. Jika Pemerintah tergesa-gesa dalam menetapkan politik hukumnya/politik hukum pemidanaannya dapat berakibat merugikan negara dalam upaya melumpuhkan semangat OPM untuk memeperjuangkan kemerdekaan Papua.

Bahkan secara hipotetis dapat di diskripsikan bahwa dengan ditetapkannya sebagai Teroris bisa menjadi pintu masuk (entrance) bagi OPM dan atau KKB untuk membangun simpatisan dunia dengan mengusung issue kejahatan HAM.

Jadi haruslah ekstra berhati-hati mumpung belum terlanjur. Bahwa apapun kita rakyat Indonesia wajib bersatu padu luluhkan hati dan perasaan saudara kita rakyat Papua yakinkan bahwa kita adalah saudara sebangsa dan setanah air bukan musuh.

Bahkan dalam spektrum pemikiran kedepan siapa yang bertanggung jawab jika dalam memberantas Teroris di Tanah Papua kemudian berakibat terjadinya Pelanggaran HAM berat disaat negara kesulitan ekonomi bahkan minus pertumbuhan.

Siapa yang bisa menjamin bahwa Papua tidak akan lepas dari NKRI setelah dinyatakan sebagai Teroris baik yang ditujukan kepada KKB dan atau OPM.

Untuk itu sekali lagi harus berhati-hati mumpung masih belum terlalu jauh. Disisi lain dalam implimentasinya apakah Pemerintah sudah memiliki standarisasi dalam menentukan kretaria untuk membedakan antara KKB dengan OPM .

Saran, criminal justice sistem berdasarkan KUHP dan KUHAP adalah cara yang paling efektif untuk melakukan pemberantasan atas terjadinya kejahatan dalam bentuk kriminal yang dilakukan oleh siapapun tidak pandang bulu baik WNI Penduduk asli Papua maupun WNI Pendatang.

Semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk patuh dan hormat dengan hukum positif yang berlaku. Keberadaan TNI dalam perspektif harmonisasi hukum masih dapat bersinergi dengan Polri dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum (Law Enforcement).

Namun dalam tulisan ini penulis tidak membuat suatu kesimpulan sebagai suatu pembenaran bahwa warga Papua semuanya setuju dgn gerakan KKB maupun OPM.

Asumsi Penulis warga Papua yang tidak sepakat dengan gerakan KKB atau OPM jumlahnya jauh lebih besar sementara KKB atau OPM asumsi penulis adalah kelompok minoritas.