ICW : 51 Pegawai KPK yang Diberhentikan Bukan Teroris

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Indonesia Corruption Watch (ICW) geram dengan diberhentikannya 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Apalagi, menurut ICW, pimpinan KPK menyebut 51 pegawai itu tak bisa dibina dan mendapat nilai merah.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, pernyataan 51 pegawai tak bisa dibina merupakan penghinaan. Menurutnya, 51 pegawai lembaga antirasuah itu bukan teroris.

“Pimpinan KPK menyebutkan bahwa 51 pegawai tidak bisa dibina dan diberi tanda merah. Pernyataan ini bernada penghinaan, seolah-olah menempatkan pegawai KPK lebih berbahaya dibandingkan dengan seorang teroris,” katanya dalam keterangannya, Kamis (27/5/201).

Menurutnya, mereka yang terdeteksi oleh negara masuk dalam kelompok teroris bisa dibina melalui program deradikalisasi. Begitu juga seorang pengguna narkoba masih bisa dibina dengan program rehabilitasi.

“Patut untuk dicermati lebih lanjut, jika seseorang terdeteksi sebagai teroris, masih ada kesempatan pembinaan melalui program deradikalisasi. Selain itu, untuk pengguna narkoba masih ada pula program rehabilitasi,” jelasnya.

Kurnia mengungkapkan, sangat tidak masuk akal bila kumpulan pegawai berintegritas yang mengabdikan diri pada pemberantasan korupsi malah dicap tak bisa dibina dan mendapat nilai merah. Apalagi, sebagian besar pegawai yang dibebastugaskan merupakan penyidik dan penyelidik yang kerap menangani kasus kakap di KPK.

“Sebagian besar yang diberhentikan paksa adalah penyelidik dan penyidik perkara besar, maka muncul pertanyaan di tengah publik. Apa sebenarnya kepentingan di balik pemberhentian ini? Apa pimpinan KPK tidak senang jika lembaga antirasuah itu mengusut perkara besar?” tegasnya.

Dia berpandangan KPK di bawah komando Komjen Pol Firli Bahuri cs merupakan yang terburuk sepanjang sejarah lembaga antirasuah. Menurut Kurnia, pimpinan yang seharusnya menjadi pelindung pegawai malah justru menjadi sutradara di balik pemberhentian paksa 51 pegawai KPK.

Kurnia pun menyinggung soal sanksi pelanggaran etik yang dikenakan kepada Firli Bahuri. Firli dua kali menerima sanksi etik dari KPK. Pertama soal pertemuannya dengan mantan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi. Padahal, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Saat itu Firli belum menjadi pimpinan KPK, melainkan Deputi Penindakan KPK. Firli dijatuhi sanksi etik atas pertemuannya dengan TGB. Namun saat itu Firli ditarik ke institusi Polri sebelum sanksi diberikan.

Setelah Firli kembali ke KPK dan menjadi Ketua KPK, Firli diketahui menerima sanksi etik dari Dewan Pengawas KPK. Firli menerima sanksi etik gaya hidup mewah lantaran menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadinya di Sumatera Selatan.

ICW juga menyinggung dugaan adanya komunikasi antara Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dengan Bupati Tanjungbalai M Syahrial. Komunikasi berkaitan dengan kasus dugaan korupsi di Pemkot Tanjungbalai.

“Bagi ICW yang tidak memiliki wawasan kebangsaan adalah seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua kali pelanggaran etik dan menjalin komunikasi dengan tersangka, bukan justru 51 pegawai KPK,” tuturnya.