Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana

36 Buronan Kasus Korupsi Senilai Rp 53 Triliun Berkeliaran di Luar Negeri

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, sejak tahun 1996 terdapat 36 buronan kasus korupsi di Indonesia yang berkeliaran di luar negeri. Para buronan tersebut mengakibatkan Negara mengalami kerugian hingga mencapai Rp 53 triliun.

“Berdasarkan data ICW, sejak 1996 sampai hari ini masih ada 36 buron kasus korupsi yang masih berkeliaran di luar negeri. Teman-teman tahu berapa kerugian keuangan negara yang diakibatkan 36 buronan kasus korupsi ini sekitar Rp 53 triliun,” katanya, dalam acara seminar nasional polemik penegakan hukum kasus Djoko Tjandra dalam perspektif hukum pidana, Jumat (6/11/2020).

Beberapa buron yang belum tertangkap di antaranya buronan kasus BLBI, yaitu Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, yang mana nilai kerugian kasus tersebut mencapai Rp 4,58 triliun. Selain itu, masih ada Harun Masiku, yang masih menjadi buron.

“Kasus BLBI kerugian negaranya Rp 4,58 triliun itu belum juga ditangkap oleh KPK. Dari kasus korupsi besar sampai kasus korupsi yang sebenarnya angkanya tidak terlalu signifikan, yaitu siapa, Harun Masiku. Sampai hari ini kan tidak mampu, bukan tidak mampu, tapi tidak mau diungkap oleh KPK,” kata Kurnia.

Oleh karena itu, pemerintah disarankan memperbanyak perjanjian hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA) dengan negara lain yang diduga menjadi tempat persembunyian koruptor atau aset kasus korupsi. Sebab, salah satu kendala menangkap buron adalah ketika Indonesia belum memiliki perjanjian MLA dengan negara lain.

“Sejauh ini MLA kita kalau tidak salah belum terlalu banyak. Maka dari itu, kadang menjadi kendala penegak hukum untuk dapat mendeteksi aset hasil kejahatan atau ingin menyita dan lain-lain, juga perjanjian ekstradisi, kita kan tidak terlalu banyak mempunyai perjanjian tersebut,” ujarnya.

Selain itu, ICW mendorong aparat penegak hukum menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan aparat penegak hukum negara lain sebagaimana Bareskrim Polri dengan Kepolisian Diraja Malaysia. ICW juga meminta agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU perampasan aset hal itu agar dapat memperkuat pemberantasan korupsi.

“Ini sudah masuk di Prolegnas DPR sejak tahun 2012, jadi sudah 8 tahun undang-undang ini tidak pernah dibahas, tapi kita tidak lagi heran melihat pembentuk undang-undang kita. Mereka bukannya memperkuat pemberantasan korupsi dengan mengundangkan RUU Perampasan Aset, yang mereka lakukan justru menggembosi KPK dengan Undang-Undang KPK,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Kurnia juga meminta agar Presiden Jokowi mengevaluasi aparat penegak hukum. Hal itu agar insiden pelarian Djoko Tjandra tak terulang.

“Siapa yang harus dievaluasi oleh Presiden Jokowi? Pertama sudah pasti kepolisian, kedua Kejaksaan Agung, ketiga Badan Intelijen Negara, Imigrasi pun seperti itu. Kalau tidak ada evaluasi, praktik Djoko Tjandra itu akan berulang lagi di tahun-tahun mendatang,” ujarnya.

ICW meminta agar ada perbaikan pada penegakan hukum dan adanya keberpihakan pemerintah terkait pemberantasan korupsi. Selain itu, ICW meminta agar KPK mengusut oknum yang diduga terlibat kasus Djoko Tjandra, karena ICW menduga ada beberapa kejanggalan seperti alasan Djoko Tjandra yang percaya jaksa Pinangki setelah melihat fotonya memakai seragam kejaksaan, dan CCTV di ruangan Pinangki yang diduga terbakar ketika gedung Kejagung terbakar.

“ICW mendesak agar KPK segera menerbitkan surat perintah penyelidikan terhadap oknum-oknum lain yang sempat diduga mempunyai keterkaitan dengan perkara Djoko Tjandra,” ungkapnya.