Oleh Bachtiar Sitanggang
KALAU tulisan sebelumnya berjudul “Kisah Kasih RS PGI Cikini” (Independensi.com 14/06/2021) masih mengingatkan banyak pihak untuk mengenang betapa besar jasa dan pertolongan dari rumah sakit yang mengedepankan SENTUHAN KASIH itu, sejak tahun 1958.
Tulisan berikut ini dengan judul “Salam Mesra Buat RS PGI Cikini” sengaja dibuat agak sentimentil, sebab rumah sakit ini “meringankan penderitaan” telah menyentuh jiwa, raga dan bahkan iman banyak orang, sebab rumah sakit ini mengemban tugas panggilan sebagai karya nyata Ilahi menyembuhkan orang-orang sakit.
Dengan misi Kristiani mewujud-nyatakan Kasih Tuhan menyambung banyak nyawa manusia.
Sebagai seorang yang terpaut perasaan dengan RS PGI Cikini memiliki kesan unik dengan seorang hamba Tuhan, dalam dialog via WA beliau mengemukakan beberapa hal kurang lebih demikian.
“….PGI sudah tahu pendiriannya, … kuat menghadapi hujatan orang. Akan tetap akan melakukan apa yang sudah menjadi keputusan (keinginan) nya, karena menurut info yang melakukan negosiasi adalah orang-orang yang ahli dalam bidang BOT”, dengan menyebut nama-nama terkemuka di bidangnya.
Yang membuat terkesima adalah, kutipan yang dikemukakan hamba Tuhan ini ”Ya.. seperti yang dikatakan dalam Alkitab …….. mulai sekarang apapun yang direncanakan manusia akan terlaksana”, sebagaimana “Saat Tuhan mengacaukan bahasa mereka. Kitab Kejadian… Kisah menara Babel. Kejadian 11”, jelas beliau.
Dalam kaitan dengan BOT RS PGI Cikini tambahnya, “Saya memahami ayat itu bahwa mereka sudah merencanakan dengan detail dan keinginan yang kuat. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar.
Tapi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ALLAH sendiri, bahwa apapun yang direncanakan manusia.. pasti terlaksana. Itulah yg terjadi.. Dan nanti diujung, kita akan melihat apakah itu sesuai kehendak Tuhan atau tidak.
Saya meng”ya”kan saja, karena pemahaman saya terbatas mencerna BOT RS PGI Cikini dengan “Menara Babel” serta “pengacauan bahasa mereka”.
Pada awalnya saya merasa paham, ketika komunikasi via WA itu berlangsung akhir Juni lalu, saya berharap “Kisah Kasih RS PGI Cikini” itu akan terus belangsung, ternyata yang terjadi sebaliknya, dan sebab “apapun yang mereka rencanakan ternyata dapat terlaksana” tidak seperti Kejadian 11:6 yang saya bayangkan.
Menurut si Bapak Pendeta ini, “Itu sesuai dengan keadilan Tuhan. Semua akan dicerai beraikan..Semua kelompok kejahatan akan dicerai beraikan..
Saya mencoba memahami dan berkata, Ya, mengacu pada kejadian menara Babel, barangkali tidak keliru bila dikatakan sebagai akibat dari “kehendak” atau “perbuatan” manusia yang tidak dikehendaki Allah, apa bisa seperti itu Pak?
Jawab beliau: “Iya betul pak. Keinginan manusia memang bisa terlaksana.. Tapi juga harus mau terima konsekuensinya kalau itu TIDAK selaras dan seirama dengan kehendak Tuhan. Dan itu ngeri..”, tambahnya.
Dari dialog di atas, saya mencoba menelusuri status RS PGI Cikini, mulai dari Surat Perintah KSAD selaku Penguasa Perang Pusat No. : SP/PePerPu/027/1958 sebagai berikut:
Berdasarkan atas pertimbangan, seperti yang tercantum dalam Surat Perintah Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No.: SP/PePerPu 010/1958 tanggal `11 April 1958, ialah telah agak redanya keadaan dan sambil menunggu petunjuk-petunjuk Dewan Menteri, di mana dalam hubungan ini perlu dihubungkan dengan tindakan penyelesaian selanjutnya di bidang hukum perdata menurut petunjuk Menteri Kehakiman, maka perlu diadakan penertiban kembali terhadap tindakan Penguasa Perang Daerah Djakarta Raya yang bersandarkan pada surat Perintah Penguasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat No. SP/PM/077/1957 tanggal 10 Desember 1957, mengenai pengawasan dan atau penguasaan, terhadap rumah sakit Tjkini yang tidak bersifatkan “bedrijf” itu, melainkan bersifat sosial.
Dalam surat tersebut tercantum jelas: Memerintahkan Kepada: Ketua Penguasa Perang Daerah Djakarta Raya. Untuk: 1. Menyerahkan Pengawasan dan/atau peguasaan atas Rumah Sakit “Tjikini” kepada Dewan Geredja-Geredja di Indonesia (Komisi Kesehatan dan Sosial), dalam hubungan ini kepada Curatorium atas Rumah Sakit itu yang diwakili oleh Dr. J. Leimena dan Dr. H. Sinaga yang telah ditunjuk oleh Dewan diatas. 2. Melaporkan kepada Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat sesudah dilaksanakan. Surat tersebut tertanggal 22 – 2 – 1958 dengan ditandatangani KSAD selaku Penguasa Perang Pusat H Nasution Jenderal Mayor.
Mengingat menggeloranya ke-tidak setuju-an warga masyarakat terutama para sivitas hospitalia RS PGI Cikini atas tindakan PGI dan Yayasan Kesehatan PGI Cikini yang mem-BOT-kan RS PGI Cikini tersebut, saya mencoba bertanya kepada diri sendiri serta bagaimana mengurangi tensi perdebatan itu agar mereda terutama tidak menghilangkan kewajiban azasi PGI atas tugas panggilanya di bidang kesehatan serta tidak menyulitkan tokoh-tokoh gereja di kemudian hari.
Menyimak Surat Perintah di atas ada beberapa pertanyaan yang muncul di benak saya yaitu: Sesuai Surat Perintah di atas, Rumah Sakit Tjikini yang sekarang RS PGI Cikini yang dikelola Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) melalui Yayasan Kesehatan RS PGI Cikini, yang pada awalnya (sejarahnya) diserahkan oleh Penguasa Perang Pusat adalah PENGAWASAN dan atau PENGUASAAN Rumah Sakit sebagai kegiatan sosial dan tidak bersifat usaha yang mencari untung atau komersial.
Apakah kewenangan Pengawasan dan atau Penguasaan itu dapat diidentikkan dengan kepemilikan?
Konsekwensinya, barangkali, kalau DGI (sekarang PGI) tidak mampu lagi MENGAWASI dan atau MENGUASAI karena terbukti “merugi” terus menerus, apa tidak sebaiknya (sesuai dengan sejarahnya) dikembalikan saja kepada Pemerintah Republik Indonesia?
Dengan status sebagai pengawas dan penguasa sebagaimana surat perintah di atas, apakah PGI sah menurut hukum mem-BOT-kan aset Negara yang tujuannya adalah untuk kegiatan sosial dan bukan untuk mencari untung/komersial (tidak bersifatkan “bedrijf” melainkan berrsifatkan sosial)? Dengan mem-BOT-kan apakah tidak sama dengan mencari untung?
Mudah-mudahan tidak ada pihak yang mengidentikkan tindakan pem-BOT-an “aset Negara” yang diserahkan kepada DGI sebagai tindak pidana “penggelapan” yang dilakukan pengurus PGI sekarang, sebab benda tidak bergerak itu diserahkan Pemerintah untuk di-AWASI dan atau di-KUASAI bukan diMILIKi. Mem-BOT-kan aset pihak lain apalagi Pemerintah, apakah diperbolehkan?
Sebagaimana informasi yang menyebutkan bahwa Yayasan Kesehatan RS PGI Cikini telah men-sertifikat-kan hak atas tanah RS tersebut, timbul pertanyaan apakah pen-sertifikat-an itu sah atau apakah sepengetahuan Pemerintah RI?
Apakah hak untuk meng-AWASI dan atau meng-KUSAI sama dengan meMILIKi? Itulah sekedar perenungan yang tidak perlu dijawab, tentu sudah melalui kajian para ahli-ahli BOT seperti yang dikemukakan Pak Pendeta di atas.
Mengikuti perkembangan yang semakin “seru” tentang perjalanan dan sejarah RS PGI Cikini, yang jelas akan memalukan, sebab menyerahkan urusan rumah tangga sendiri kepada pihak lain. Sejarah akan mencatat bahwa pimpinan gereja di Indonesia telah menyerahkan “kewajiban Kesulungan” atas tugas panggilannya melalui RS PGI Cikini kepada pihak lain.
Mungkin, nama harum mewangi dan dharma bakti serta kasih rumah sakit yang berusia 123 tahun ini tidak lagi akan bersinar terang, minimal seusia di-BOT-kan. BOT adalah hal yang sah tetapi mem-BOT-kan keahlian para dokter dan perawat serta peralatan, mungkin baru pertama kali ini terjadi, dan “Salam Mesra Buat RS PGI Cikini”, mahkotamu akan diperdebatkan di Pengadilan”.
Penulis adalah wartawan senior, pemerhati hukum dan masalah sosial, tinggal di Jakarta