Helikopter Black Hawk. (Ist)

Taliban Punya Koleksi Alutsista Tercanggih di Dunia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Dunia internasional dibuat terperangah saat kelompok militan Taliban berhasil merebut pemerintahan Afganistan pada Minggu (15/8/2021). Situasi ini membuat Presiden Ashraf Ghani melarikan diri ke Tajikistan dan di saat yang sama segenap pasukan serta konsulat Amerika Serikat (AS) pun hengkang dari seluruh wilayah Afganistan. Para warga negara asing disana berdesakan dengan warga lokal untuk bisa keluar dari Kabul. Warga lokal berupaya dengan segala cara meninggalkan negeri itu. Bahkan ada beberapa warga yang nekat ikut di badan pesawat angkut C-17 Globemaster III Angkatan Udara AS hingga lepas landas di Bandara Kabul dan akhirnya berjatuhan tanpa parasut.

Kondisi Afghanistan hari ini seolah puncak dari 20 tahun perang panjang di negara tersebut. Taliban memerintah Afghanistan dari 1996 sampai intervensi militer AS pada 2001. Pasukan AS masuk ke Afghanistan setelah tragedi 11 September. Sepanjang periode 2011-2020, terjadi setidaknya lima kali perundingan. Kebanyakan gagal membuahkan kesepakatan. Pada Februari 2020, AS dan Taliban menandatangani kesepakatan untuk penarikan pasukan Amerika.

Para pejuang Taliban. (Ist)

Setelah tentara AS meninggalkan negara itu pada Mei dan Juni 2021, Taliban mulai melakukan serangan dan kembali menguasai beberapa distrik di sejumlah provinsi. Hingga akhirnya mengamankan istana Presiden. Milisi ini merangsek di sejumlah kota di Afganistan dari pelbagai penjuru dan  membuat barikade yang sulit ditembus. Kali ini, para tentara dan konsulat AS pergi dari Afganistan dengan tergesa. Karena tidak ada waktu cukup untuk berkemas dan menginventarisir barang-barang yang ada, membuat sumber daya kemiliteran AS yang canggih dan tangguh harus tertinggal. Alhasil, alat utama sistem persenjataan (Alutsista) militer terbaik yang pernah diproduksi AS, kini ada dalam penguasaan Taliban.

Helikopter, pesawat tempur, pesawat kargo, pengangkut pasukan multiguna, mobil Humvee yang ikonik, gudang senjata ringan yang sangat besar, dan sejumlah besar barang-barang militer “diasuh” Taliban. Kondisi ini yang menurut sebagian ahli persenjataan militer sebagai mimpi buruk. Pasalnya, sangat tidak mungkin untuk mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan peralatan canggih tersebut. “Peralatan ini sangat sulit dioperasikan tanpa pelatihan yang tepat dan pemeliharaan yang konstan seperti yang dilakukan AS,” ungkap seorang pengamat militer AS yang enggan disebutkan namanya kepada Reuters.

Kekuatiran ini menjadi perhatian dunia mengingat para milisi Taliban ini memiliki keterbatasan pemahaman bahasa, tulisan dan intelektual. Maklum, seumur hidup mereka lebih banyak berperang dan nyaris tidak sempat memikirkan pendidikan. Taliban sekarang memiliki armada pesawat militer dan persenjataan tercanggih yang ada di muka bumi. “Kami telah melihat pejuang Taliban dipersenjatai dengan senjata buatan AS yang mereka sita dari pasukan Afghanistan. Ini merupakan ancaman signifikan bagi AS dan sekutu kami,” kata anggota Kongres AS, Michael McCaul dari Partai Republik kepada Reuters.

Rekannya dari Partai Republik dan Anggota Kongres Jim Banks, yang pernah bertugas di Afghanistan, mengatakan di Washington  penarikan AS yang tergesa-gesa membuat Taliban memiliki lebih banyak kekuasaan. Dari catatan yang ada, AS menggelontorkan dana untuk peralatan militer senilai lebih dari US$ 85 miliar atau setara Rp 1.190 triliun sejak 2001. Dana tersebut diperuntukkan melatih dan melengkapi persenjataan pasukan Afghanistan, di antaranya US$ 147 juta untuk sekian unit helikopter Black Hawk dan US$ 2 juta untuk sekian unit Humvee.

“Taliban sekarang memiliki lebih banyak helikopter Black Hawk dari 85 persen negara di dunia. Mereka tidak hanya memiliki senjata, tetapi juga memiliki kacamata penglihatan malam (night vision) tercanggih berikut pelindung tubuh, dan persediaan medis,” kata Banks.

Infrastruktur Keamanan

Laporan triwulanan terbaru dari Inspektur Jenderal Khusus AS untuk Rekonstruksi Afghanistan (Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction – SIGAR) pada bulan Juli tahun 2021 mencatat,  AS telah menghabiskan hampir US$ 88,61 miliar untuk membantu pemerintah Afghanistan  membangun sistem dan infrakstruktur  keamanan sejak tahun fiskal 2002. Laporan itu mengatakan, sebagian besar Dana Pasukan Keamanan Afghanistan (ASFF) yang dibuat AS pada tahun 2005 digunakan untuk perawatan pesawat Angkatan Udara Afghanistan (AAF) dan untuk membayar gaji personel pertahanan nasional Afghanistan dan sisanya digunakan untuk bahan bakar, amunisi , pemeliharaan kendaraan, fasilitas dan peralatan, dan berbagai infrastruktur komunikasi dan intelijen.

Laporan SIGAR mengatakan,  Angkatan Udara Afghanistan sampai Juni tahun ini, memiliki 167 pesawat yang siap tempur dari 211 pesawat dalam inventaris totalnya. Semua pesawat jatuh ke tangan Taliban saat kelompok itu menyerbu negara itu, mengambil kendali pangkalan udara di sekitar Afghanistan. Namun, jumlah pasti pesawat yang telah disita Taliban tidak secara jelas dan ada beberapa kemungkinan telah diterbangkan di luar Afganistan.

BBC melaporkan, citra satelit pesawat Kabul dari Juli tahun ini menunjukkan setidaknya 16 pesawat dalam foto terbaru setelah pengambilalihan Taliban. Indikasi keberadaan pesawat itu datang dari negara tetangga Uzbekistan, yang mengatakan, sebanyak 46 pesawat Afghanistan termasuk 24 helikopter, telah mendarat di lapangan terbangnya. The Guardian mengatakan, foto satelit juga menunjukkan 19 dari helikopter itu adalah Mi-17 buatan Rusia, sedangkan sembilan lainnya adalah Black Hawk (UH-60). Laporan lain menambahkan, beberapa pesawat serang ringan A-29 dan C-208 yang juga merupakan bagian dari angkatan udara Afghanistan, kini telah berada di Uzbekistan. Hanya saja itu bukan pesawat yang dikhawatirkan para ahli. Para ahli yakin peralatan canggih tidak lebih dari “mainan” di tangan para milisi maupun juragan perang (Warlord) yang berkuasa. Disisi lain, mereka bisa mengoperasikan helikopter MI-17 Rusia menyusul sistem pengoperasian dan mesin yang kurang canggih.

Howitzer D-30 buatan Rusia. (Ist)

Namun yang membuat para ahli persenjataan militer kuatir, tersebar gambar dan video secara online dari pejuang Taliban berpose dengan Humvee militer AS dengan menggunakan pakaian dan senjata pasukan khusus.  Hal ini membuat para ahli senjata tadi memprediksikan, dengan pengalaman berperang dipastikan seiring waktu akan mahir menangani persenjataan canggih. Belum lagi bakal ada pihak-pihak yang secara profesional “mengajarkan” penggunaan alutsista tersebut, akan meningkatkan semangat juang Taliban. Sebuah informasi intelejen menyebutkan, Taliban menguasai senjata tangguh Howitzer D-30 buatan Rusia. Senjata artileri yang menurut pakar AS adalah salah satu senjata paling berbahaya yang pernah dimiliki Taliban.

Aliansi Utara

Persenjataan para pejuang Taliban bukan tidak mungkin segera digunakan untuk menebus kelemahan di wilayah perang terbuka terutama di Lembah Panjshir, di mana Aliansi Utara yang sebelumnya diasuh Taliban malah bersatu di bawah Ahmad Massoud yang merupakan putra komandan legendaris anti-Taliban. Kemudian ada Amrullah Saleh selaku wakil presiden Afghanistan yang menyatakan dirinya sebagai presiden sementara setelah Ashraf Ghani melarikan diri.

Sejumlah besar senjata jatuh ke tangan gerilyawan yang dikenal melindungi teroris dan bahkan sekarang diduga menjaga hubungan dengan kelompok teror di wilayah sensitif yang penuh dengan perbatasan keropos dan pemberontakan radikal adalah apa yang dilihat sebagai yang terbesar. khawatir ke depan. “Segala sesuatu yang belum dihancurkan adalah milik Taliban sekarang,” kata seorang sumber di pemerintahan AS kepada Reuters.

Pihak AS sendiri berharap  agar senjata itu tidak digunakan untuk melawan warga sipil, diberikan kepada kelompok teror atau bahkan diserahkan ke negara lain seperti, katakanlah, China. “Kami jelas tidak ingin melihat peralatan kami di tangan mereka yang akan bertindak melawan kepentingan kami, atau kepentingan rakyat Afghanistan,” kata juru bicara Pentagon John Kirby. Dia menambahkan, banyak pilihan kebijakan yang dapat dibuat, termasuk melakukan serangkaian serangan kontra intelejen.

Mobil Humvee. (Ist)

Taliban piawai dalam jaringan penyelundupan untuk mengirim obat-obatan dan barang selundupan ke luar negeri. Diduga, cara ini dipakai untuk menyalurkan peralatan baru yang telah diterimanya. Perangkat keras militer AS kemudian dapat berakhir di pasar gelap atau berpindah tangan ke ISIS, al Qaeda, Taliban Pakistan, dan sebagainya. Para ahli mengatakan, Taliban mungkin tak kuasa  untuk tidak membantu kelompok radikal maupun teror menyusul persamaan tujuan serta mekanisme bisnis yang dijalankan. Pasalnya, dengan sumber daya yang dimiliki, Taliban punya posisi tawar yang tinggi. Selain itu mereka juga dipastikan kesulitan secara finansial.

Seorang ahli intelejen yang dikutip  kantor berita AFP mengatakan, senjata-senjata itu dapat “tersebar” ke seantero belahan dunia dan digunakan berbagai kelompok teroris lainnya. Lantas, apa yang bisa dilakukan AS yang dalam hal ini adalah pihak yang paling bertanggung jawab? Sang intel mengusulkan agar pemerintah AS segera berkoordinasi dengan negara tetangga Afghanistan untuk melarang maupun mencegat pengangkutan peralatan ini melintasi perbatasan negara. Semudah itukah yang akan dilakukan?