Mengimbangi Dinamika Perilaku Digital Ala “Mie Instant”

Loading

Oleh: Dedy Hariyadi Sahrul

JAKARTA (IndependensI.com) – Jika kita cermat mengamati dinamika Media Sosial(Medsos), hampir semua konten yang trending beberapa diantaranya selalu mengundang kontroversi. Nama baru bermunculan dan menjadi terkenal. Baik itu nama asli maupun nama inisial dari pemilik kontennya. Hal ini memberikan pelajaran bahwa untuk menjadi terkenal bisa dengan cara serba ala instan. Walaupun dengan sebuah perspektif negative atau bahkan ektrimnya antisosial. Suatu penggambaran kontradiktif dari realitas kondisi bangsa yang seharusnya tidak terjadi.

Dalam kondisi yang demikian, hal ini tentunya berimbas kepada perilaku masyarakat. Ekses nyata adalah perilaku social dengan model “mie instan”. Tidak sedikit Masyarakat yang minim edukasi dan literasi digital menirukan apa yang ditayangkan. Semisal dari yang sederhana misalnya gaya hidup mewah, Berbusana dengan tanpa batas kesusilaan, bahkan yang memprihatinkan banyak remaja yang kemudian banyak membuat konten yang asocial, pornograpi dan bahkan konten yang melanggar hukum. Minimnya literasi digital dan motivasi pansos dari creator ala mie instan ini benar-benar mempengaruhi pola hidup masyarakat dan dengan serta merta menularlah budaya “mie instan” ini dengan melupakan kerja keras untuk mencapai keberhasilan.

Dalam teori komunikasi suatu pesan akan berhasil mempengaruhi apabila dilakukan berulang-ulang. Melihat marak beredarnya status dan konten di social media yang model “mie instan” ini tentu tidak bisa dibayangkan akibatnya kemudian. Lebih-lebih konten tersebut dibuat dengan kemasan yang bervariasi. Sebut saja, Vlog, Podcast, atau bahkan ala-ala cinematic. Tentu, pesan yang disampaikan akan lebih mudah dan cepat ditangkap dan ditiru.

Penangkapan pesan yang berasal dari model “mie instan” itu kemudian dibangun dalam pola pikir, sikap dan ditiru dalam tingkah laku. Pengaruh yang telah merasuki itu mau tidak mau menghadapkan tanpa pikir panjang dalam memilah dan memilih.

Inilah yang membuat dinamika Sosial Media menjadi rumit! Menghendaki budaya literasi yang belum tertanam untuk menandingi budaya menonton konten “mie instan” yang banyak juga didorong semangat kapitalisme amatlah kecil keberhasilannya. Kapitalisme ibarat peluru yang mengepung dari segala penjuru. Oleh sebab itu, setiap individu harus menghadapinya jika tidak ingin tergilas karenanya. Langkah pemerintah melalui program Literasi Digitalnya tidaklah cukup mampu, apabila tidak pula dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat yang sadar bahwa bahaya negative dari social media begitu nyata dan bakal merusak mentalitas bangsa.

Hubungan satu lawan satu dalam menghadapi kondisi yang demikian itu tak lain adalah memasukkan nilai-nilai tandingan. Nilai-nilai seperti perjuangan keras mencapai cita-cita dalam kondisi sulit semisal karya-karya sinemais tentang remaja yang berjuang keras untuk terus bersekolah walau harus berjualan koran, merupakan nilai yang harus disandingkan dalam budaya “mie instan” tersebut.

*Strategi Memasuki Budaya Populism*

Kini Sosial Media merupakan ikon dari budaya populer. Media berbasis platform digital ini dinilai sebagai cara ampuh menghipnotis massa. Terhadap pengaruh yang ditimbulkannya, seringkali banyak orang yang tidak menyadari. Ketidaksadaran terhadap pengaruh social media tersebut bisa dimaklumi. Alasannya, kondisi masyarakat Indonesia yang belum siap menghadapi cepatnya budaya informasi dan komunikasi. Sementara, masyarakat Indonesia belum berada pada level itu. Seharusnya, tiga level peradaban, seperti diklasifikasikan Alvin Tofler yakni, pertanian, industri dan informasi-komunikasi, harus dilewati satu persatu.

Sehingga, salah satu strategi melawan pikiran “mie instan” ini harus dengan sebuah kolaborasi dari segenap pegiat siber. Pemerintah harus lebih berkeringat lagi dengan banyak membuat program Literasi digital. Namun, lebih banyak lagi melibatkan para Siber kolaborator. Karena pada hakikatnya Literasi digital akan berhasil, jika semua Platform digital dibuat formulasi kolaborasinya satu sama lain. Jika hanya dilakukan sepotong-potong seperti program-program Literasi Digital yang sudah berjalan saat ini, maka semuanya tidak akan optimal. Sebab, setiap platform digital memiliki karakter dan segmen viewernya masing-masing.

Penulis menilai, selain program Literasi Digital, pendampingan secara berkelanjutan juga penting. Banyak program pemerintah dibidang Literasi Digital hanya bersifat kejar tayang. Program selesai, tidak kemudian dilanjutkan dengan pendampingan, baik itu secara kolektif ataupun person to person. Padahal penting sekali membangun komunitas pegiat literasi digital.

Semakin banyak komunitas, semakin efektif dalam membangun kesadaran perilaku anti “mie instan” tersebut. Untuk itu Kolaborasi Pemerintah-Komunitas sangat diharapkan bisa semakin massif. Pemerintah diharap tidak pilih kasih dalam mendukung Komunitas. Dukunglah semua komunitas berdasarkan segmen literasinya masing-masing.

Untuk itu tidak cukup hanya ada program 1000 Startup Digital dan Gerakan nasional Literasi Digital. Sudah waktunya pemerintah juga membuat program nyata “ 1 Juta Komunitas Pegiat Literasi digital. Karena pada hakekatnya melawan konten negative dan ala “mie instan” di social media memang harus dilakukan dari berbagai pihak secara bersama-sama.

Penulis merupakan Kabid Infokom Gerakan Pemuda Islam Indonesia(GPII), Advokat dibidang Cyberlaw, dan Founder Netizen Indonesia Community