Henry D. Hutagaol, S.H., L.LM., Dosen Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.  (Ist)

Quo Vadis Perppu Kebijakan Keuangan Negara & Stabilitas Sistem Keuangan: Kepentingan Negara, Pasar Atau KSSK?

Loading

Oleh: Henry D. Hutagaol, S.H., L.LM.*

JAKARTA (Independensi.com) – Pada 31 Maret 2020 Presiden telah menerbitkan PERPPU 1/2020 tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”.

Pada bagian Pertimbangan, PERPPU tersebut menyatakan bahwa pandemi covid-19 tersebut telah berdampak pada memburuknya sistem keuangan, dengan demikian diperlukan langkah luar biasa untuk penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.

PERPPU ini memberikan dasar bagi pemerintah dalam melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, memperkuat Social Safety Net, melakukan pemulihan perekonomian, dan dilanjutkan dengan “memperkuat kewenangan lembaga di sektor keuangan”.

Namun berbagai LSM mengajukan tanggapan dan komplain terkait PERPPU 1/2020 tersebut. Dan pada tulisan ini, penulis akan khusus membahas PERPPU 1/2020 dikaitkan dengan hukum kenegaraan (Constitutional and Administrative Law).

Pertama, dalam hal “kegentingan yang memaksa”, UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membentuk PERPPU, dan melalui PERPPU tersebut, Presiden (Eksekutif) diberi kewenangan untuk mengenyampingkan berbagai ketentuan UU, dengan tujuan untuk mengatasi situasi kegentingan yang memaksa tersebut.

Kedua, terkait Prinsip legalitas, Legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) dalam menghadapi keadaan darurat harus membuat peraturan dan keputusan dengan berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, setiap peraturan dan keputusan tersebut harus dapat diuji dengan Konstitusi atau peraturan lain, Perlindungan Hukum (Legal Protection) merupakanhak bagi pengambil kebijakan publik, namun Perlindungan Hukum tersebut harus seimbang antara Pengambilan keputusan yang Independen dengan Prinsip Akuntabilitas.

Ketiga, perlu dipertegas “pembatasan waktu pelaksanaan kewenangan” berdasarkan PERPPU 1/2020 tersebut. Penulis berpendapat pembatasan waktu tersebut belum jelas seluruhnya. Perlu untuk diingat, Ketika penanganan kegentingan yang bersifat memaksa (kondisi darurat), Pemerintah akan mengenyampingkan peraturan yang berlaku. Dengan demikian Pemerintah sebaiknya tegas dalam memberi batasan waktu atau paling tidak, parameter berakhirnya “kegentingan yang memaksa” tersebut. Dan lazim jika “kondisi kegentingan tersebut berakhir” maka Pemerintah akan kembali menggunakan UU yang berlaku sebelumnya.

Meskipun dalam praktik, DPR berwenangan untuk mengesahkan PERPPU menjadi UU. Penulis berpendapat PERPPU ini “bias” antara “kewenangan penanganan pandemi covid-19” dengan “upaya perluasan kewenangan KSSK”. PERPPU ini menggunakan pertimbangan pandemi covid-19 yang berdampak berat terhadap ekonomi. Dan berbagai kewenangan yang diterbitkan terkait hal tersebut.

Namun PERPPU 1/2020 hanya tegas mengatur “pembatasan waktu” untuk pandemic covid19. Misalnya pada satu kewenangan, terdapat “Penetapan periode waktu keadaan kahar akibat pandemi covid-19 mengacu kepada penetapan Pemerintah melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana”. Dan dinyatakan bahwa “Setelah masa penanganan pandemi COVID-19” besaran defisit secara bertahap kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari PDB pada “Tahun Anggaran 2023”.

Namun untuk perluasan kewenangan yang lain, masih bias dan belum jelas kapan berakhirnya (atau setidaknya kondisi untuk pengakhirannya). Hal ini berpotensi merugikan masyarakat khususnya pelaku jasa keuangan. Dimana terdapat beberapa kewenangan yang hampir absolut dan berpotensi berdampak berat bagi msyarakat.

Hal ini dicontohkan dengan penguatan kewenangan bagi OJK untuk “memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi”.

Selanjutnya kewenangan disertai ancaman sanksi berupa pidana antara 4 sampai 12 tahun dan denda 10 miliar sampai 300 miliar bagi orang yang abai terhadap perintah OJK tersebut. Bahkan untuk korporasi dapat dikenakan denda paling sedikit 1 triliun rupiah.12 Kewenangan dengan ancaman sanksi berat seperti ini, wajib dipertegas apakah berlaku semasa penanganan pandemic, atau berlaku untuk seterusnya.

Hal ini penting untuk ditegaskan, mengingat ancaman sanksi ini jelas menimbulkan ketidakpastian dan keresahan tersendiri bagi pelaku usaha di jasa keuangan. Jika memang kewenangan tersebut dibutuhkan “dalam penanganan covid-19” dan perbaikan ekonomi, maka setelah pandemi tersebut selesai, idealnya kewenangan KSSK dikembalikan ke posisi kewenangan sebelum pandemi.

Tanpa pembatasan tersebut, PERPPU ini hanya menjadi upaya perluasan kewenangan bagi lembaga. Pembatasan ini lazim disebut sebagai Sunset Provision atau Sunset Clause dalam Public Policy. Keempat, Terkait hal diatas, Legislatif (DPR) harus jeli terhadap proses lanjutan dari PERPPU tersebut. PERPPU memiliki perbedaan keberlakuan dengan RUU. Dimana Ketentuan RUU “belum berlaku” sampai “Legislatif memberikan persetujuan”.

Hal ini berbeda dengan PERPPU, dimana berbagai “ketentuan PERPPU berlaku saat diterbitkan oleh Presiden”, untuk kemudian PERPPU tersebut akan diajukan ke DPR pada masa sidang berikutnya. Jika Legislatif setuju, maka PERPPU tersebut akan menjadi UU dan memiliki ketentuan mengikat sampai dilakukan “Amandemen UU” atau “MK melakukan pembatalan pasal”.

DPR harus jeli dalam memutuskan apakah kewenangan penanganan ekonomi, dengan disertai ancaman sanksi yang sebegitu besar, akan berakhir bersamaaan dengan berakhirnya keadaan pandemi atau terdapat parameter lain? Ini yang membuat PERPPU 1/2020 rentan membawa kepentingan lain. Jangan sampai DPR memberikan “Cek Kosong” (carte blanche), dimana suatu lembaga mendapat delegasi luas untuk menentukan berbagai hal, termasuk pembebanan, persyaratan bahkan pemberian sanksi kepada masyarakat.

Dalam tradisi demokrasi yang dipimpin oleh rakyat, setiap ketentuan yang membebani masyarakat harus sedapat mungkin menggunakan UU. Hal ini merupakan perwujudan dari demokrasi itu sendiri, dimana Rakyat (melalui perwakilannya: DPR) merupakan lembaga yang berwenang dalam menerbitkan ketentuan yang membebani rakyat itu sendiri. Jangan sampai kita membuat solusi yang lebih memberatkan daripada permasalahan itu sendiri (do not let the cure be worse than the problem itself).

*Penulis adalah Dosen Bidang Studi Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.