Diskresi Lahiriah atau Diskresi Batiniah?

Loading

Oleh: Kopral Jabrik

Istilah diskresi di Indonesia mencuat sejak pesepeda asal Yogyakarta, Elanto Wijoyono, menghadang pawai motor besar yang menerobos lampu pengatur lalulintas di Jalan Ring Road Utara, Perempatan Condongcatur, Yogyakarta, Sabtu (15/8/2015). Ketika itu, petugas polisi menggunakan haknya melakukan diskresi dan membolehkan iring-iringan motor besar menerobos lampu merah di perempatan Condongcatur. Tindakan Elanto mengkritisi diskresi itu mengundang perhatian nasional.

Diskresi bisa bersifat lahiriah, yakni diskresi yang diterapkan oleh petugas atau pejabat guna mengatur kehidupan bermasyarakat. Bisa juga merupakan olah batin, yang bertujuan mendekatkan hubungan orang yang melaksanakan diskresi dengan Allah. Diskresi demikian digolongkan sebagai diskresi batiniah.

Diskresi lahiriah yang kerap dikritik masyarakat antara lain pemberian prioritas kepada mobil pejabat negara, ambulance, pemadam kebakaran dan sebagainya. Termasuk diskresi kepada iring-iringan motor besar. Tindakan petugas polisi yang berdiskresi memprioritas kendaraan tertentu, memang dibenarkan oleh UU. Antara lain berdasarkan Undang-undang Kepolisian No 2/ 2002 tentang Kepolusian Pasal 18 ayat (1); UU No 22/2009 tentang Lalu lintas & Angkutan Jalan Pasal 104 dan Peraturan Kapolri No 10/2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas.

Kebebasan
Pengertian diskresi (discretion atau discretion power, Inggeris) sering disamakan dengan ‘kebebasan bertindak’ atau ‘keputusan berdasarkan penilaian sendiri’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘diskresi’ adalah kebebasan memilih dan mengambil keputusan sendiri dalam menghadapi suatu situasi. Dalam bahasa Inggris dikenal ‘discretion’ atau ‘discretion power’, sedangkan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah diskresi dengan pengertian ‘kebebasan bertindak’ atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri.

Diskresi lahiriah, merupakan salah satu hak pejabat yang menjalankan tugas. Pelaksanaan diskresi tidak boleh dilakukan sembarangan. Pasal 1 angka 9 UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan mengatasi persoalan konkret jika ada hambatan sedangkan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur, tidak lengkap dan/atau tidak jelas. Kewenangan diskresi muncul ketika ada program yang tidak bisa berjalan optimal dan mengarah pada stagnasi akibat ketidakjelasan atau ketidaklengkapan peraturan. Sedang peraturannya (yang di’diskresi’kan) bukanlah dibuat oleh pejabat yang melakukan diskresi.

Dalam UU No. 30/2014 disebutkan secara tegas bahwa tujuan diskresi adalah memperlancar penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan peraturan, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi tertentu. Itulah diskresi lahiriah, yang berhubungan dengan kehidupan duniawi.

Diskresi Ignasian
Hidup adalah rangkaian keputusan yang ditenun dari hari ke hari. Diskresi atau cara memilah dan menimbang agar kita mengambil keputusan yang tepat, diajarkan oleh Ignasius Loyola (23 Oktober 1491- 31 Juli 1556), sejak sekitar 500 tahun yang silam. Ignasius adalah mantan perwira Kerajaan Spanyol, yang bertobat, mengundurkan diri dan memilih menjadi seorang pastor katolik. Ia mendirikan ordo Serikat Yesus dan mengembangkan latihan rohani. Diskresi batiniah adalah salah satu dasar dalam latihan rohani Ignasian.

Diskresi batiniah dilakukan guna menjawab keraguan dalam pengambilan keputusan agar lebih tepat. Diskresi Ignasian adalah pengalaman rohani yang dialami Santo Ignasius Loyola dalam membedakan dorongan roh baik dan roh jahat. Ignasius tidak merumuskan pengambilan keputusan yang sistematik karena persoalan manusia terlalu rumit buat diatasi dengan satu langkah diskresi batiniah yang bisa berlaku umum.

Ignasius mengajak pengikutnya berlatih peka terhadap dorongan-dorongan yang ada dalam diri masing-masing sehingga bisa memilah mana yang dikehendaki Tuhan dan mana yang bukan. Kepekaan terhadap ciri-ciri dorongan baik dan dorongan jahat, membuat seseorang bisa mengenali motivasi yang menggerakkannya, sehingga lebih mudah mengambil keputusan yang tepat.

Pribadi
Diskresi Ignasian bukanlah mengenai apa yang harus kita lakukan, melainkan tentang kita ingin menjadi orang seperti apa. Diskresi Ignasian mengarahkan kita menjadi pribadi yang mengikuti dorongan yang mendekatkan pada Tuhan. Metoda diskresi Ignasian mengajari kita mengembangkan kepekaan rohani agar bisa lebih mengenali bisikan Tuhan.

Dalam pelaksanaannya, diskresi rohani adalah tindakan batin seperti memeriksa, mengenal, melihat, memisahkan, membedakan, memahami, menangkap, mempersepsi dan memperjelas gerakan batin. Artinya diskresi merupakan proses dalam diri kita guna mengenal kehendak Tuhan. Kita dilatih mengenali karakter roh baik dan roh jahat, menanggapi desolasi (kesepian rohani) dan konsolasi (hiburan rohani) dan belajar menentukan kita mendekat atau menjauh dari Tuhan. Latihan rohani Ignasian selalu diiringi atau ditutup retret dengan pendampingan romo katolik.

Retret daring
Pada masa pandemi ini, ada banyak lembaga yang menawarkan latihan rohani Ignasian melalui daring. Ada yang komersial, ada yang membolehkan peserta menyumbang semampunya, ada juga yang gratis. Ada lembaga yang menyebutnya pelatihan, ada juga yang tegas-tegas mengatakan rangkaian webinar berbayar selama belasan minggu itu sebagai pengajaran. Penyelenggaranya mungkin tidak terlalu mahfum perbedaan pengertian antara pelatihan, pengajaran dan pendidikan.

Konon retret dalam latihan rohani Ignasian adalah mandatory. Artinya setiap peserta harus ikut. Dalam pelatihan yang nyata (bukan melalui daring), memang perlu didata secara rinci peserta yang akan mengikuti retret. Karena panitia harus mengatur akomodasi, logistik maupun konsumsi bagi para peserta. Retret secara daring, tentu jauh lebih sederhana sehingga umumnya panitia tidak perlu minta para peserta melakukan pendaftaran ulang.

Ada juga panitia atau pelaksana latihan rohani Ignasian yang tanpa sadar menerapkan gaya diskresi lahiriah. Panitia membuat peraturan sendiri, lalu melakukan diskresi atas peraturan itu sendiri. Kemudian panitia minta dibantu agar dapat berdiskresi guna memutuskan peserta boleh atau tidak boleh ikut retret penutupan latihan. Mirip petugas atau pejabat yang sedang menerapkan diskresi duniawi dan mengatur pihak lain.

Padahal, diskresi Ignasian dipahami sebagai olah rohani dan merupakan tindakan manusia menyangkut relasinya dengan Tuhan. Proses diskresi batiniah adalah pengambilan keputusan dalam dirinya sendiri. Bukan suatu pengambilan keputusan atau tindakan bagi pihak lain, seperti yang biasa terjadi dalam diskresi petugas polisi atau pejabat pemerintah.

Diskresi Ignasian adalah olah rohani yang membawa orang mencapai sikap lepas bebas Ignasian atau kemerdekaan batin. Kisah hidup Ignasius adalah deskripsi tentang pengalaman diskresi dan cara Ignasius bertanya mengenai dirinya sendiri dalam evolusi rohani di ranah pelayanan, pencarian dan penemuan kehendak Allah.

Agere contra
Ignasius Loyola mampu ‘meraba’ masalah dalam pikiran dan hati sesama, lalu memberikan solusi yang pas. Kemampuan itu berasal dari kebiasaannya mengamati dirinya sendiri, sehingga ia bisa merekomendasikan cara menjinakkan pikiran dan hati masing-masing orang. Dalam menjinakkan dan mengambil kendali penuh terhadap diri sendiri, Ignasius memanfaatkan berbagai cara sederhana. Termasuk ‘agere contra’, yang artinya bertindak melawan atau bertindak sebaliknya. Agere contra menyiratkan sikap batin yang menerima kemelaratan, penghinaan, dan cemooh. Metode agere contra ini tersebar dalam Latihan Rohani.

Ignatius menemukan bahwa ‘agere contra’ membawa kebaikan dalam kehidupan pribadinya dan orang-orang yang berolah rohani.

Kebablasan
Diskresi dalam hidup sehari-hari bertujuan agar petugas atau pejabat pemerintah dapat menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang tidak terprediksi. Terlebih ketika dihadapkan pada persoalan yang belum ada aturan perundang-undangannya. Sejatinya aturan adalah acuan atau hukum yang memberi pelaksana (eksekutif atau panitia) kewenangan bertindak.

Dalam pelaksanaannya, petugas atau pejabat pelaku diskresi harus bertindak berdasarkan wewenang dan bukan berdasarkan pada kekuasaan. Penggunaan diskresi harus didasarkan pada kebutuhan agar program terlaksana dan bukan berdasarkan kemauan pribadi pelaku atau pelaksana. Tindakan diskresi mengharuskan pemegang kekuasaan tidak hanya melaksanakan aturan (asas wetmatigheid van bestuur), tetapi juga lebih mengedepankan pencapaian tujuan (doelstelling) dan kebijaksanaan (beleid).

Diskresi duniawi bukan berarti pelaksana atau pemegang kekuasaan bisa sebebas-bebasnya mengeluarkan aturan semaunya. Apalagi jika disusul dengan tindakan sekehendaknya sendiri tanpa dibatasi koridor yang jelas.

Diskresi yang mengatur pihak lain, meski terjadi dalam latihan rohani, bisa digolongkan diskresi lahiriah. Penerapan diskresi lahiriah secara semaunya, yang mengiringi aturan main yang sengaja dibikin longgar, namanya tindakan sewenang-wenang. Atau diskresi kebablasan.***

Bintaro, 5 Oktober 2021

Artikel ini dikutip dari laman FB Kopral Jabrik alias Albert Kuhon, wartawan senior