Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation. (Ist)

Tolak Tambang Mas, Panggilan Generasi Masa Depan Pulau Sangihe

Loading

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina*

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menghadiri beberapa forum internasional, sejak akhir Oktober sampai awal November 2021. Pertama pertemuan di kawasan ASEAN, KTT G20 di Roma Italia dan Conference of Parties ke-26 (COP26) World Leaders Summit atau KTT Perubahan Iklim yang akan diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, tanggal 1-2 November 2021.

Isu perubahan iklim merupakan isu utama yang dibahas di KTT G20 Roma, yang sekaligus Indonesia menjadi Presidensi KTT G20 tahun 2022. Sedangkan di Glasgow, selain membahas perubahan iklim, juga Indonesia mendapat kehormatan untuk menyampaikan deklarasi dari forum negara kepulauan dan pulau kecil yang tergabung dalam The Archipelagic and Island States Forum (AIS Forum).

Kepeloporan Indonesia dalam forum negara kepualaun dan pulau kecil, terasa sebagai ironi, karena tidak memperlihatkan adanya komitmen yang sejalan dengan semangat dalam melindungi pulau kecil. Memang, ada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menunjukkan kemauan untuk melindungi pulau kecil, tetapi UU sebagus apapun menjadi sia-sia jika tidak diikuti dengan kemauan dan komitmen untuk melindungi pulau kecil.

Ketika para pimpinan pemerintahan dari seratus lebih negara berkumpul untuk membicarakan perubahan iklim, lingkungan hidup dan sebagainya, tetapi nan jauh di utara Indonesia, warga yang menghuni Pulau Sangihe justru tidak melihat adanya komitmen untuk menjaga pulau kecil dan lingkungan.

Pulau Sangihe memiliki luas sekitar 73.680 hektar (736,8 km2), sementara izin pertambangan yang diberikan mencapai 42.000 hektar. Artinya, hampir separuh dari luas Pulau Sangihe. Kegiatan pertambangan ini mengacu kepada Keputusan Menteri ESDM Nomor: 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe.

Padahal, dalam UU mengenai pesisir dan pulau kecil sangat tegas melarang adanya penambangan di pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km2 atau 200 ribu hektar. Untuk itu, sangat mengherankan kalau semua pengambil kebijakan di negara ini, terutama Menteri ESDM begitu mudah memberikan izin penambangan.

Ironisnya, 70 persen saham atau pemilik saham mayoritas merupakan perusahaan asing. Mungkin saja dari Kanada, Inggris ataupun Australia. Jadi, sangat aneh ketika negara-negara maju itu mengkhawatirkan perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan sebagainya, tetapi di belakang layar pengusahanya menjadi aktor utama perusakan lingkungan.

Ketika negara maju tidak menunjukkan komitmen nyata untuk menghentikan perusakan lingkungan di Indonesia dan negara berkembang lainnya, maka sebenarnya Indonesia dan negara berkembang apakah perlu menghadiri forum seperti itu? Perusahaan raksasa global mengekploitasi sumber daya alam dimana-mana, yang berkontribusi atas kerusakan lingkungan, tetapi Indonesia dan negara berkembang memikul tanggung jawab besar menjaga paru-paru dunia.

Tambang emas di Pulau Sangihe membuktikan perusahaan asing memiliki kontribusi untuk mengeksploitasi sumber daya alam, dengan merusak lingkungan, termasuk mengancam kelangsungan Pulau Sangihe. Kerusakan Pulau Sangihe merupakan ancaman nyata bagi kehidupan anak, cucu dan generasi masa depan Pulau Sangihe.

Untuk itu, perlawanan menghentikan tambang mas di Sangihe merupakan bentuk nyata tanggung jawab generasi masa kini untuk mewariskan tanah leluhur kepada generasi mendatang, sebagaimana generasi lalu mewariskan Pulau Sangihe kepada generasi masa kini.

Jadi, sangat tepat sekali apa yang disampaikan Ratu Elizabeth dalam acara Resepsi Malam COP26 pada 1 November 2021. Ratu Elizabeth antara lain mengungkapkan kalau dirinya sangat bersyukur karena sekitar 70 tahun mengenal pemimpin besar dunia dan memahami sedikit mengapa menjadi pemimpin istimewa.

“It has sometimes been observed that what leaders do for their people today is government and politics. But what they do for the people of tomorrow — that is statesmanship”. Kira-kira begitu pandangan Ratu Inggris terhadap kepemimpinan dewasa ini.

Kalau diterjemahkan bebas, kurang lebih berarti “Kadang-kadang diamati bahwa apa yang dilakukan para pemimpin untuk rakyatnya saat ini adalah pemerintahan dan politik. Tapi apa yang mereka lakukan untuk orang-orang masa depan — itulah kenegarawanan”.

Mungkin saja pernyataan Ratu Elizabeth ini sangat tepat dengan situasi yang dihadapi Pulau Sangihe saat ini dan mungkin di berbagai tenpat lain, dimana alamnya dieksploitasi sedemikian rupa. Dengan kata lain, ketika pemimpin dari berbagai level tidak memikirkan nasib generasi masa depan, maka sebenarnya mereka sekadar mengelola politik dan pemerintah.

Dalam konteks Pulau Sangihe, tentu akan membuktikan, kenegarawanan para pengambil kebijakan, apakah negarawan atau negarawan sejati seperti harapan Ratu Elizabeth di hadapan para pemimpin dunia di Glasgow, Skotlandia belum lama ini. Sebab, kriteria negarawan sejati Ratu Elizabeth, yakni bagi mereka yang bekerja bagi generasi masa depan.

Jujur saja, ketika menyimak video Ratu Elizabeth, sebagai orang keturunan Pulau Sangihe, saya seperti mendapat tambahan vitamin, bahwa apa yang dilakukan orang Sangihe untuk menolak tambang emas merupakan panggilan sejarah, untuk memastikan generasi Sangihe mendatang akan tetap mendapatkan warisan lingkungan hidup yang nyaman dan damai.

Sebab, pengalaman wilayah tambang dimanapun, sebenarnya hanya mewariskan masalah ketimbang kemakmuran bagi rakyat sekitar. Ada banyak tempat, dimana kekayaan alam dikeruk sedemikian rupa, tetap masyarakat tetap berada dalam kemiskinan. Kalau seperti ini, maka rakyat kecil harus berkorban untuk kepentingan para penambang yang sekadar mencari untung sesaat dan setelah itu pergi ketika selesai mengeruk sumber daya alam.

Pulau Sangihe itu bukan sekadar pulau kecil, tetapi juga menyimpan potensi risiko bencana karena keberadaan gunung api bawah yang masih aktif dan satu gunung api aktif, Gunung Awu di Pulau Sangihe. Untuk itu, dampak kerugian rakyat yang tidak bisa dihitung dengan dolar dan rupiah tidak akan sebanding dengan emas yang ditambang di Pulau Sangihe.

Setelah kembali dari COP26 Glasgow, kita menantikan bukti nyata dari komitmen Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM untuk menghentikan tambang emas di Pulau Sangihe, karena itu berkaitan dengan nasib generasi masa depan di Pulau Sangihe.

Sangat tepat pernyataan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson tentang KTT Pemimpin Dunia dan COP26 di House of Commons pada 3 November 2021, “This is the moment when we must turn words into action” (Inilah saatnya kita harus mengubah kata-kata menjadi tindakan”.

Presiden, Wakil Presiden, para menteri sudah hampir pasti merupakan negarawan, tapi membutuhkan satu komitmen untuk menjadi negarawan sejati dengan menjawab panggilan sejarah untuk menyelematkan generasi masa depan. Rakyat Pulau Sangihe tentu sangat menantikan sikap kenegarawanan sejati, bukan sekadar negarawan. Semoga!

*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation.