JAKARTA (Independensi.com) – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) memberi apresiasi kepada Jaksa Agung Burhanuddin karena melalui tim jaksa penuntut umum (JPU) kasus PT Asabri berani menuntut salah satu terdakwanya yaitu Heru Hidayat dengan tuntutan hukuman mati.
“Bahkan salah satu pertimbangan JPU yang menjadi pemberatan pidana terdakwa bisa menjadi terobosan. Apalagi jika sampai diamini atau dikabulkan oleh hakim yang menyidangkan kasus Asabri,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Selasa (7/2).
Boyamin menyebutkan terobosan Tim JPU yaitu mempertimbangkan perbuatan Heru Hidayat yang mengulangi perbuatannya terkait korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan dilanjutkan di PT Asabri sebagai pemberatan pidana.
“Karena jika bicara pemberatan pidana adalah dalam keadaan tertentu seperti karena bencana dan pengulangan atau residivis. Yaitu sehabis orang melakukan korupsi dan dipenjara dan kemudian setelah keluar penjara orang itu korupsi lagi,” ujarnya.
Dia mencontohkan seperti Dicky Iskandardinata dalam kasus Bank BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang sempat dituntut hukuman mati. “Karena Dicky sebelumnya pernah dihukum dalam kasus korupsi Bank Duta.”
Meski kemudian Dicky, kata dia, hanya divonis 20 tahun penjara dalam kasus Bank BNI cabang Kebayoran Baru. “Tapi nggak apa-apa karena sudah ada dasar hukumnya yaitu pengulangan atau berulang-ulang,” ucap Boyamin.
Sementara, tuturnya, Tim JPU telah memperluas makna perbuatan Heru sebagai pengulangan perbuatan korupsi besar di dua tempat berbeda menjadi pemberatan pidana dalam pertimbangannya.
“Boleh saja jaksa memperluas makna. Begitupun dengan hakim bisa memperluas atau mempersempit makna. Meski yang boleh menemukan hukum sebenarnya hakim,” ucapnya.
Menurut Boyamin kini tinggal menunggu sikap hakim mewadahi atau tidak tuntutan Tim JPU yang lebih berani dan lebih maju menuntut mati mengingat juga korupsi kini semakin merajalela.
Selain itu, kata dia, hukuman 10 sampai 20 tahun penjara maupun seumur hidup nampaknya belum membuat jera. “Sehingga mungkin harus dengan hukuman mati baru jera,” ucapnya seraya berharap dengan adanya tuntutan hukuman mati bisa menjadi solusi untuk pemberantasan korupsi yang lebih baik lagi.
Seperti diketahui dari tujuh terdakwa kasus Asabri yang dibacakan tuntutannya oleh Tim JPU di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/12) hanya terdakwa Heru Hidayat yang dituntut hukuman mati.
Sedangkan enam terdakwa lainnya Adami Damiri, Sony widjadja, Jimmy Sutopo, Bachtiar Effendi, Hari Setianto dan Lukman Purnomosidi dituntut hukuman antara 10 tahun hingga 15 tahun penjara.
Terdakwa Heru Hidayat selain dituntut mati juga dituntut Tim JPU untuk membayar uang pengganti sebesar Rp12,643 triliun. Yang jika tidak dibayar maksimal dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi kerugian negara.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan persnya, Selasa (7/12) mengatakan sebelum menuntut hukuman mati ada sejumlah pertimbangan dari Tim JPU mengenai pemberatan pidana atas perbuatan dari terdakwa Heru Hidayat.
Diantaranya perbuatan yang dilakukan terdakwa juga merupakan perbuatan mengulang karena telah melakukan perbuatan korupsi dalam kasus Jiwasraya dan Asabri.
“Dimana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan yaitu kasus Jiwasraya sejak tahun 2008 hingga 2018 dan Asabri sejak tahun 2012 hingga 2019,” ucap Leo mengutip pertimbangan JPU.
Terkait dakwaan tidak menyebut pasal 2 ayat (2), menurut Tim JPU, frasa “Keadaan tertentu” sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan.
Hal tersebut, tutur Leo, dicantumkan secara tegas dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi…”
Oleh karena itu, kata Leo, dengan tidak dicantumkannya pasal 2 ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana.
“Karena keadaan tertentu berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa Heru Hidayat sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati,” ucap Leo.(muj)