JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanuddin mengingatkan jajarannya untuk tidak mengabaikan kewenangan yang melekat dan sangat luas yang tersebar di berbagai macam peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional.
Apalagi, kata Jaksa Agung, dengan telah disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menjadi Undang-Undang Kejaksaan yang baru.
“Karena terlalu sempit jika kewenangan tersebut hanya dilihat dari kaca mata KUHAP, sehingga terlalu terpaku dengan satu kewenangan semata yaitu penuntutan,” kata Jaksa Agung disela-sela pengarahannya kepada peserta Rapat Kerja Kejaksaan, Selasa (7/12).
Oleh karena itu dia meminta untuk melakukan introspeksi dan melakukan yang terbaik dengan apa yang menjadi amanat undang-undang. Selain diharapkannya perubahan undang-undang mampu memulihkan dan menjaga marwah Kejaksaan.
“Juga akan memperkuat kedudukan institusi Kejaksaan. Baik dari sisi organisasi dan kewenangan. Sehingga kita dapat mempergunakan kewenangan yang melekat pada diri kita,” tuturnya.
Dia pun meminta jajarannyabenar-benar mencermati undang-undang baru tersebut dan segera menyiapkan sarana serta regulasi turunan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut.
“Sehingga kebaruan yang diatur dalam undang-undang yang baru bisa segera diimplementasikan,” ujarnya seraya mengingatkan untuk sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat atas kaidah-kaidah baru yang terkandung dalam aturan tersebut.
“Agar masyarakat paham jika kita bukanlah sekadar sebagai lembaga penuntutan, dan kewenangan Jaksa bukan hanya ada yang tercantum dalam KUHAP semata,” katanya.
Terkait dengan Undang-Undang Kejaksaaan yang baru, dia pun menyampaikan beberapa poin yang perlu diperhatikan jajarannya. Antara lain:
Pertama, kedudukan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini semakin mempertegas penerapan asas single prosecution system bahwa kewenangan penuntutan harus tunggal. Sebelum adanya Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, ketentuan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi di NKRI hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Akan ada banyak hal dan kajian yang dapat kita lakukan melalui penegasan kedudukan Jaksa Agung ini.
Ke dua, Jaksa Agung berwenang menerapkan penggunaan denda damai hanya diperuntukan tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan atau tindak pidana ekonomi lainnya. Denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
Ke tiga, kedudukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana militer (JAM Pidmil). Dengan dicantumkannya JAM Pidmil pada Undang-Undang Kejaksaan akan semakin memperkuat kedudukan JAM Pidmil. “Saya harap JAM Pidmil dapat segera menorehkan prestasi dalam penyelesaian perkara-perkara koneksitas.”
Ke empat, arah penegakan hukum yang lebih mengedepankan keadilan restoratif. Kebijakan hukum pidana Indonesia telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif. Melalui Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi. Prinsip keadilan hukum akan selalu menjadi hal yang utama dalam setiap upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan cara menimbang antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, serta menyeimbangkan yang tersirat dan tersurat berdasarkan Hati Nurani. “Saya tidak menghendaki para Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam Hati Nurani,” ujarnya.
Ke lima, kewenangan melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana. Melalui undang-undang ini, Kejaksaan memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyadapan. Penyadapan tidak hanya diperlukan dalam tahap penyidikan saja, melainkan juga pada tahap penuntutan, eksekusi, dan pencarian buron. Hati-hati dan jangan disalahgunakan dalam menggunakan kewenangan ini karena terkait dengan hak privasi. Di samping itu, kita akan menambah satu pusat lagi yaitu pusat pemantauan (monitoring center) yang akan menunjang pelaksanaan tugas penyadapan.
Ke enam, pengembangan kesehatan yustisial. Permasalahan kesehatan rohani dan jasmani tersangka atau terdakwa sering dijadikan alibi untuk menunda proses penegakan hukum. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk menunda-nunda pemeriksaan. Oleh karena itu, Kejaksaan wajib menyelenggarakan kesehatan yustisial dalam bentuk pembangunan atau tata kelola rumah sakit Adhyaksa yang dapat mendukung penegakan hukum secara efektif dan efisien.
Ke tujuh, kewenangan dalam pemulihan aset. Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak. Keberadaan Pusat Pemulihan Aset memiliki legitimasi yang kuat melalui undang-undang ini.
Ke delapan, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 bahwa Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melakukan pengamanan terhadap peredaran barang cetakan harus melakukan penyitaan atau tindakan hukum lain melalui proses peradilan. Mengingat perkembangan teknologi, maka tidak hanya barang cetakan namun juga harus diperluas kepada berbagai bentuk objek multimedia. Setiap tindakan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang dilakukan oleh Kejaksaan harus melalui proses pengadilan baik melalui penetapan dan/atau putusan oleh Pengadilan.
Ke sembilan, kewenangan intelijen penegakan hukum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka kewenangan intelijen tidak hanya untuk kepentingan Kejaksaan, melainkan juga untuk kepentingan negara dalam proses penegakan hukum.
Ke sepuluh, perlindungan Jaksa dan keluarganya serta Jaksa dapat dilengkapi dengan senjata api. Perlindungan Jaksa ini akan memberikan keamanan dan kenyamanan Jaksa beserta keluarganya terhadap adanya ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda. Untuk penggunaan senjata api, harus dilakukan secara selektif mungkin. Ketidakcakapan Jaksa dalam menggunakan senjata api sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan membahayakan orang lain serta institusi.
Ke sebelas, status Jaksa sabagai pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki kekhususan. Jaksa memiliki karakteristik khusus yang tidak dapat dimiliki oleh PNS. Jaksa harus dipandang sebagai profesi hukum, sebab selain harus memiliki keahlian dan keterampilan hukum, Jaksa juga harus berperilaku sesuai dengan standar minimum profesi Jaksa, kode etik profesi, dan doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa.
Ke dua belas, syarat usia menjadi Jaksa paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun. Usia muda untuk menjadi Jaksa ini sebagai penyesuaian dari dunia pendidikan yang menghasilkan lulusan muda. Hal ini sekaligus untuk memberikan kesempatan karir yang lebih panjang.
Ke tiga belas, pengembangan karir Jaksa. Di sini saya memberikan perhatian kepada tata kelola Jaksa Fungsional dalam mengembangkan karirnya. Kita selama ini terfokus terhadap penataan jabatan struktural, tanpa melihat penataan jabatan fungsional. Jabatan fungsional, khususnya para Jaksa memiliki peranan penting dalam proses penyelesaian perkara. Melalui manajemen yang baik, maka para Jaksa akan ditempatkan sesuai dengan kompetensi dan kapabilitasnya.
Ke empat belas, kewenangan penggunaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) khusus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang. Saya minta hal ini dapat dipersiapkan sarana dan infrastruktur yang dibutuhkan dengan matang, termasuk tata kelola pengawasannya guna menghindari penyalahgunaan, dan saya minta pergunakan kewenangan ini dengan penuh arif dan bijaksana, sehingga dapat menunjang performa dan kinerja jajaran adhyaksa.
Ke lima belas, kewenangan mengajukan peninjauan kembali. Wacana yang berkembang selama ini yang mengatakan jika Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali adalah keliru. Melalui undang-undang ini mempertegas jika Jaksa dapat melakukan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti, akan tetapi tidak diiikuti oleh suatu pemidanaan.(muj)