Media Gathering Adara Relief Internasional, di Jakarta, Rabu (23/3/2022).

495 ribu Warga Palestina Dapat Perlakuan Rasis di Pengungsian Lebanon

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Penderitaan warga Palestina seakan tak kunjung usai. Bahkan kini, ratusan ribu pengungsi Palestina di Lebanon tak terjangkau layanan kesehatan dan pendidikan, akibat krisis yang melanda Lebanon sejak Oktober 2019. Kehidupan sosial dan ekonomi mereka pun amat mengkhawatirkan akibat minimnya penghasilan yang diperoleh dan adanya pembatasan jenis pekerjaan.

Dengan bekerja sebagai tenaga serabutan, pengungsi Palestina hanya bisa mengantongi penghasilan setara Rp.25 ribu per hari dari total kebutuhan dasar Rp.250 ribu.

“Ada 495 ribu warga Palestina kini mengungsi di Lebanon. Mereka mendapatkan perlakuan yang rasis seperti pembatasan hak ekonomi, hak bekerja dan hak pendidikan,” kata Sheikh Dr. Mahmoud Ahmad Samhoun, Executive Manager of Al-Imam Al Shatiby Association pada Media Gathering Adara Relief Internasional, di Jakarta, Rabu (23/3/2022).

Chairman of the Board of Directors of Al Imam Al-Shatebi Association Sheikh Shady Al Sheikh memberikan sambutan pada acara Media Gathering Adara Relief Internasional, di Jakarta, Rabu (23/3/2022).

Hadir Sheikh Shady Al Sheikh, Chairman of the Board of Directors of Al Imam Al-Shatebi Association dan Mohammad Saleh Abo Tayoun Al-Shatiby, Coordinator at South East Asia.

Sheikh Mahmoud Ahmad mengatakan, dari jumlah tersebut, sekitar 4000 diantaranya tidak memiliki identitas. Kondisi pengungsi tanpa identitas ini jauh lebih memprihatinkan karena mereka sama sekali tidak bisa mengakses layanan kesehatan apalagi pendidikan.

Menurutnya, perlakuan rasis terhadap pengungsi Palestina tersebut telah terjadi sejak lama. Mereka tidak diperbolehkan membangun infrastruktur dan tidak terakses jaringan seluler. Tidak hanya itu, lebih dari 70 jenis pekerjaan juga tidak boleh dilakukan oleh warga Palestina.

“Menjadi dokter dan jurnalis misalnya, tidak boleh dilakukan warga Palestina di pengungsian Lebanon,” bilangnya.

Larangan membangun infrastruktur tersebut berimbas pada buruknya lingkungan permukiman pengungsi Palestina. Mereka tinggal di bangunan-bangunan atau rumah tak layak huni.

“Selain itu hak pendidikan juga dibatasi. Anak-anak pengungsi belajar dalam ruang kelas yang sangat padat dimana satu kelas bisa diisi sekitar 60 siswa,” tambahnya.

Belum lagi situasi di wilayah pengungsian yang dipagari kawat dan selalu dijaga ketat aparat di setiap sudut. Mereka kondisinya tak jauh berbeda dengan pengungsi di jalur Gaza, sama-sama diblokade, meski bentuk blokadenya berbeda.

Situasi krisis berkepanjangan yang melanda Lebanon juga memicu meningkatnya angka pengangguran pengungsi Palestina. Awalnya angka pengangguran diperkirakan 53 persen dan kini meningkat lebih dari 66 persen.

Sejumlah organisasi non pemerintah (NGO) untuk pengungsi Palestina di Lebanon melaporkan sekitar 53 persen pengungsi Pelestina merupakan kaum perempuan dan anak. Mereka menjadi tulang punggung keluarga selama berada di pengungsian dengan jenis pekerjaan sebagai buruh, pelayan toko, cleaning service dan pengrajin.

Dalam survey yang dilakukan NGO, diketahui bahwa 80 persen pengungsi Palestina ingin segera kembali ke bumi Palestina agar mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Tetapi situasi pendudukan zionis Israel yang belum ada tanda-tanda bakal berakhir membuat warga Palestina di Lebanon hanya bisa menunggu tanpa kepastian.

“Kami warga Palestina ingin segera kembali ke negara sendiri. Anak-anak membutuhkan lingkungan kehidupan yang baik dan aman, membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan,” tambah Mohammad Saleh Abo Tayoun Al-Shatiby, Coordinator at South East Asia.

CEO Adara Relief Internasional, Sri Vira Chandra memberikan sambutan pada acara Media Gathering Adara Relief Internasional, di Jakarta, Rabu (23/3/2022).

Sementara itu, CEO Adara Relief Internasional, Sri Vira Chandra menyampaikan, penjajahan zionis Israel selama 74 tahun di Palestina telah mengakibatkan banyak warga Palestina mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Lebanon, Yordania dan lainnya. Mereka mencari suaka politik setelah mengalami intimidasi yang luar biasa dan tidak manusiawi dari tentara Israel.

“Rumah mereka dirobohkan, sumber ekonomi seperti pertanian dihancurkan, air bersih dibatasi, listrik juga dibatasi, pohon zaitun dicabut-cabuti. Ditambah lagi anak-anak dijadikan tahanan rumah, ada juga yang dibunuh,” terang Sri Vira Chandra.

Ia menjelaskan, Adara terus berkomitmen untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam berbagai bentuk. Misalnya adalah sokongan bahan makanan, pakaian, bantuan pendidikan, dan lainnya.

“Kita ada  4 segmen bantuan yakni emergensi, bantuan untuk kehidupan sehari-hari, bantuan situasional seperti Ramadhan, Idul adha dan musim dingin,” tuturnya.

Untuk memudahkan Adara menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Palestina, Adara telah menjalin kemitraan dengan NGO peduli Palestina di sejumlah negara seperti di Lebanon. Tujuannya agar setiap bantuan yang disalurkan dapat diterima manfaatnya dengan tepat untuk warga Palestina. “NGO ini yang tahu apa kebutuhan pengungsi. Dan kami ada 7 mitra NGO di Lebanon,” tambahnya.

Foto bersama setelah acara Media Gathering Adara Relief Internasional, di Jakarta, Rabu (23/3/2022).

Selain menyalurkan donasi bagi warga Palestina, Adara bekerjasama dengan NGO Lebanon juga menggelar berbagai kegiatan dan aksi yang kemanfaatannya bisa dinikmati masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk kolaborasi adalah wakaf Al Qur’an yang didukung oleh NGO Lebanon.

“Ratusan mushaf Al Quran sudah kita wakafnya ke sejumlah wilayah di pelosok Indonesia seperti Papua, Banten, Sukabumi, Bali dan Mentawai juga Bekasi,” tandas Sri Vira Chandra.

Ia berharap semakin banyak masyarakat Indonesia yang menunjukkan kepedulian bagi warga Palestina yang mengalami penjajahan sejak 1948 lalu. Bagi Sri Vira Chanda, persoalan Palestina bukan lagi persoalan umat Islam, tetapi mereka yang nonmuslim pun mulai menunjukkan keberpihakan pada rakyat Palestina dengan berbagai cara.