JAKARTA (IndependensI.com) – Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan, perbankan seharusnya mengedepankan asas prudencial banking atau kehati-hatian karena yang dikelola adalah dana masyarakat. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum di internal corporatenya.
“Pada dasarnya di dalam lembaga perbankan dikenal adanya asas prudencial banking dalam mengelola keuangan serta pembiayaan yang melibatkan bank. Jadi sikap bank harus sangat berhati-hati karena menyangkut dana nasabah,” ujarnya kepada wartawan, Senin (9/5/2022).
Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, kata dia, maka penegak hukum seperti KPK maupun Kejaksaan harus turun tangan.
“Bila hal ini dilanggar ketentuan dalam UU Perbankan mengenai prudencial banking ini ada dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, di mana ancaman pidananya minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun (penjara) dan denda maksimum 100 Milyar,” ujar!nya.
Untuk diketahui, pada Selasa, 15 Maret 2022, sejumlah massa melakukan aksi menuntut BNI untuk berhenti mendanai energi kotor industri batu bara dalam mencegah krisis iklim yang bertambah parah.
Dalam sebuah laporan dari lembaga urgewald yang berbasis di Jerman,salah bank pelat merah tercatat saat ini masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. Bank diduga mendanai proyek tidak ramah lingkungan hingga USD 2000 juta selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.
Sementara Pengamat Perbankan, Deni Daruri, mengatakan bahwa adanya petisi tersebut agar BNI menyusun strategi pembiayaan dari black ke green.
“Petisi tersebut bertujuan baik. BNI pun seharusnya menyusun roadmap dan strategi peralihan pembiayaan dari black ke green, untuk memudahkan dan memitigasi berbagai resiko kedepan,” kata Deni kepada wartawan.
Kemudian terkait dengan muculnya dugaan adanya pendanaan perusahaan batubara tanpa agunan, Deni mengatakan bahwa perlu adanya transparansi ke publik, sehingga tidak menimbulkan asumsi.
“Jika publik tahu belakangan akan berpengaruh terhadap citra perusahaan, kinerja ESG perusahaan juga akan menurun dan dampaknya pasti merugikan perusahaan sendiri,” kata dia.
Terkait masalah tersebut, Deni mengatakan sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan yang menjadi acuan LJK (Lembaga Jasa Keuangan) untuk melakukan pembiayaan.
“Namun memang belum ada sanksi ataupun insentif yang diberikan kepada LJK. Perlu adanya pengawasan serta review (sanksi dan insentif) jika ingin pembiayaan berkelanjutan dapat benar-benar berjalan,” ujarnya.