BONTANG (Independensi)- Membangun rumah ibadah, bukan perkara mudah bagi umat Buddha di Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim).
Adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah, atau Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, yang membuat umat Buddha Bontang tak bisa mendirikan vihara hingga kini.
Sebagaimana yang diungkapkan sebuah media lokal baru-baru ini, hal itu dikarenakan umat Buddha tak mampu memenuhi syarat minimal jumlah penganut untuk membangun rumah ibadah berdasarkan SKB tersebut. Maklum, umat Buddha di Bontang memang super-minoritas.
Karena itu, bila ingin beribadah bersama-sama atau menggelar puja bhakti, umat Buddha di Bontang mesti ke Samarinda yang bisa dicapai setelah menempuh perjalanan sekitar 110 kilometer, dengan durasi sekitar tiga jam.
Itupun kalau perjalanan mulus. Sebab yang perlu dicatat, jalan trans Kaltim kondisinya memprihatinkan alias banyak kerusakan.
Pilihan lainnya bagi umat Buddha Bontang, adalah pergi ke Vihara yang terdekat, yakni Vihara Sukharama di ibu kota Kutai Timur (Kutim), Sangatta. Itu pun harus memakan waktu tempuh sekitar 1,5 jam.
Tokoh Kristen Bontang, Pendeta Tepanus Igau mengatakan, dia cukup menyayangkan ketika Pemkot Bontang tak memfasilitasi warganya yang ingin beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Termasuk memenuhi kebutuhan umat seluruh agama untuk menjalankan ritual keagamaan di rumah ibadah. Yang mestinya dilakukan pemkot, lanjutnya, bertanggung jawab mengakomodasi setiap kerinduan dan kebutuhan seluruh umat beragama tersebut.
Yang kerap terjadi, SKB dua menteri justru dijadikan dalih menghambat atau mempersulit upaya kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah.
“SKB dua menteri memang sering jadi penghambat dan alasan bagi kaum kecil (minoritas) membangun rumah ibadah. Tetapi sesunguhnya peran pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang menentukan boleh atau tidaknya mendirikan rumah ibadah. Karena UUD 1945, sebagai hukum tertinggi sudah menaungi dan mengamanatkan hal itu,” urainya.
Pendeta Tepanus menegaskan, pada kenyataannya, SKB itu tak ubahnya alat legitimasi kelompok mayoritas mengontrol kelompok minoritas. Kelompok yang seharusnya diayomi, faktanya malah dikontrol.
“Di situ menjadi keliru, sehingga SKB dua menteri itu perlu dipertimbangkan kembali. Agar pemerintah bisa mengambil kebijakan langsung bagi masyarakat yang membutuhkan,” harapnya.
Koordinator Gusdurian Samarinda Muhammad Salim menilai SKB 2 Menteri adalah aturan yang amat kontraproduktif dengan amanah konstitusi. Aturan itu kerap dijadikan senjata kelompok-kelompok tertentu buat melihat Indonesia dalam perspektif mayoritas dan minoritas.
“Apalagi di Indonesia, umat Buddha kan dimasukkan dalam kelompok minoritas,” sebutnya.
Kendati pemerintah daerah punya semacam hak prerogatif buat menerbitkan rekomendasi, praktiknya mereka kerap enggan memberikan. Itu terjadi juga di Bontang.
Padahal, hal ini hanya soal keberpihakan saja. Namun, semua menjadi problem ketika ditimbang berdasarkan kalkulasi politik.
Ketika penguasa daerah menempatkan keberpihakan pada kelompok minoritas, jelas tak terlalu tampak keuntungan politis yang bisa mereka terima. Bila melihat dalam jumlah, akumulasi suara dari kelompok minoritas Buddha di Bontang sangat kurang. Sangat mungkin hal ini menimbulkan pemikiran bagi penguasa, bahwa akumulasi suara buat menjaga posisi tak akan signifikan bila berharap dari umat Buddha.
Justru yang sangat mungkin terjadi, ketika penguasa berpihak pada kepentingan minoritas, hal tersebut berpotensi dijadikan senjata bagi lawan politik yang gemar memainkan isu SARA.
“Mungkin ini jadi kekhawatiran wali kota mau ambil keberpihakan bagi minoritas. Itu soal hitung-hitungan politik lima tahunan,”ujar Salim
Karena itu, bisa juga ditinjau komposisi kelompok dan partai pendukung penguasa di Bontang. Apakah ada yang berpihak pada kelompok minoritas, atau justru ada yang membawa semangat primordialisme agama yang anti kebhinekaan.
Bila memang ada kelompok yang disebutkan terakhir, tentu membuat upaya umat Buddha atau kelompok minoritas lain semakin sukar mendirikan rumah ibadah.
“Makanya penting melihat siapa saja kelompok dan partai pendukung Basri Rase (wali kota Bontang). Karena ini akan bermuara pada kebijakan politik wali kota. Termasuk pada minoritas,” kata pria yang tergabung dalam Jaringan Gusdurian sejak 2015 ini.
Terkait pernyataan Basri dalam Perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2565 BE yang memberikan “lampu hijau” pendirian vihara, Salim cukup mengapresiasi. Namun, yang dibutuhkan umat Buddha di Bontang saat ini bukan sekadar pernyataan, tapi komitmen nyata pemerintah setempat dengan menerbitkan rekomendasi.
“Pernyataan memang bisa direkam, atau dipublikasikan ke media. Tapi kalau tidak ada rekomendasi tertulis, agak repot juga,” tegasnya. (Hiski Darmayana)